- Pemerintah Indonesia harus lebih ambisius meningkatkan bauran energi terbarukan, terutama energi surya. Upaya ini untuk memenuhi target Perjanjian Paris, dan memanfaatkan tren peningkatan energi surya global.
- Laporan ISEO 2025 mendapati, tren investasi energi surya di Indonesia meningkat dua kali lipat, dari US$68 juta pada 2021 jadi US$134 juta pada 2023. Meski demikian, pemanfaatan energi surya di Indonesia bergerak lambat, dengan kapasitas terpasang 718 MW sampai Agustus 2024.
- Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves mengatakan, ada rambu-rambu yang harus jadi perhatian dalam proses transisi energi. Misal, jaminan pemenuhan listrik domestik, pemasukan bagi negara, dan terbangunnya industri dalam negeri.
- Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, tren peningkatan energi surya global dapat menjadi peluang bagi Indonesia. Sebab, berbagai negara mengeluarkan dukungan kebijakan, dari segi aliran dana maupun kesiapan ndustry dan pelaku-pelakunya.
Pemerintah Indonesia harus lebih ambisius meningkatkan bauran energi terbarukan, terutama energi surya. Upaya ini untuk memenuhi target Perjanjian Paris, dan memanfaatkan tren peningkatan energi surya global.
Catatan Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), pada 2023 energi terbarukan meningkat sampai 87% di seluruh dunia, dengan kapasitas terpasang 473 GW. Dari jumlah ITU, energi surya menyumbang 73% atau 346 GW.
Perkembangan itu dianggap sesuai target perjanjian paris. Kini, kapasitas terpasang energi surya 1,6 TW dengan harapan mengalami penambahan 1 TW tiap tahun untuk mencapai kapasitas 6,7 TW pada 2030, atau sekitar setengah dari kapasitas terpasang energi terbarukan dunia (11 TW).
Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, tren positif itu menunjukkan energi surya sebagai strategi utama mitigasi di sektor ketenagalistrikan.
“Kalau seluruh dunia komit, kita harusnya melihat kapasitas pemasangan energi surya di atas 1.000 GW tiap tahun hingga 2030,” katanya ketika membuka peluncuran laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025, Oktober lalu di Jakarta.
Menurut dia, tren peningkatan energi surya global dapat menjadi peluang bagi Indonesia. Sebab, berbagai negara mengeluarkan dukungan kebijakan, dari segi aliran dana maupun kesiapan industri dan pelaku-pelakunya.
Laporan ISEO 2025 mendapati, tren investasi energi surya di Indonesia meningkat dua kali lipat, dari US$68 juta pada 2021 jadi US$134 juta pada 2023. Investasi positif energi surya juga tampak pada produksi rantai pasok modul surya yang mencapai 19 GW per tahun.
Meski demikian, pemanfaatan energi surya di Indonesia bergerak lambat, dengan kapasitas terpasang 718 MW sampai Agustus 2024. Padahal, katanya, potensi energi surya Indonesia berkisar antara 3,3-20 TW.
Jumlah itu, terbilang jauh dari target kapasitas energi terbarukan 6,5 GW pada 2025, seperti tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk mencapai target Persetujuan Paris, IESR menilai, Indonesia perlu menambah 9-15 GW energi surya tiap tahun, antara 2024-2030.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR mengatakan, penambahan kapasitas PLTS dapat menarik minat investasi sektor energi terbarukan. Untuk itu, katanya, perlu penguatan insentif dan pelonggaran syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
“Ada peluang global, secara tren, mereka (investor) mulai mengakses pasar-pasar Asia Tenggara. Pada akhirnya sudah banyak tertarik membangun perusahaan manufaktur di Indonesia,” katanya, yang turut menulis laporan.
Penambahan PLTS juga menjadi strategi mengantisipas i potensi kenaikan biaya listrik. Dia perkirakan, sampai 2030, permintaan kebutuhan listrik berada di kisaran 7,5-12 GW. Sedang sumber fleksibilitas yang tersedia hanya dari pembangkit listrik tenaga gas, dengan harga lebih tinggi.
Dia berharap, pemerintah mau mengeksplor potensi ekspor, kembangkan riset dan teknologi energi surya, serta integrasi infrastruktur juga membangun industri bernilai tinggi.
Kebijakan PLTS di Indonesia
Dari sisi kebijakan, pemerintah mempersiapkan 1,89 GW proyek energi surya skala utilitas periode 2024-2027. Angka itu baru 45% dari target rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030, yakni 4,19 GW pada 2027.
Abraham Octama, penulis ISEO 2025 percaya, sejumlah kebijakan dan program yang dilaksanakan dapat menjadi rujukan mengakselerasi penambahan kapasitas PLTS di Indonesia.
Di lingkup PLTS terapung, katanya, ada tiga poin pembelajaran. Pertama, pembangunan PLTS terapung dengan kapasitas besar, berkontribusi menurunkan skala keekonomian. Kedua, PLTS terapung memiliki isu penggunaan lahan lebih rendah dibanding PLTS ground-mounted (berbasis lahan).
Menurut Abraham, 85% PLTS terapung di Indonesia berada di waduk atau bendungan Kementerian Pekerjaan Umum yang memiliki infrastruktur PLTA dan PLTMh. “Hingga bisa akuisisi lebih mudah dan memanfaatkan infrastuktur yang ada.”
Ketiga, ada potensi besar dengan Permen PUPR 7/2023 yang menghapus batasan pemanfaatan 5% dari luas waduk. Berdasarkan analisis IESR, kalau proyek-proyek dalam pipeline ekspansi sampai 20%, maka kapasitas PLTS terapung bisa meningkat 340%.
Di lingkup PLTS atap, kata Abraham, terjadi perubahan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2/2024. Penghapusan batas 15% kapasitas PLTS dan mengganti dengan sistem kuota disebut mendapat penerimaan dari pelanggan komersil dan sektor industri.
Namun, penghapusan sistem net-metering dalam permen itu, membuat pemasangan PLTS atap menjadi kurang menarik bagi pelanggan rumah tangga. Karena, pelanggan tak bisa lagi mengekspor kelebihan listrik. Sebelumnya, dalam Permen ESDM Nomor 26/2021, pelanggan yang mengekpor kelebihan listrik akan mendapat pengurangan tagihan dari PLN.
Selain itu, kata Abraham, IESR menemukan dampak penurunan penghematan 40% dengan kebijakan itu. “Apalagi, jika pelanggan rumah tangga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk batery energy storage atau penyimpanan energi.”
Zainal Arifin, Executive Vice President Energi Baru Terbarukan PLN menilai, variable renewable energy atau energi terbarukan berjeda, seperti energi surya, harus dengan regulasi dan sistem yang fleksibel.
Permintaan masyarakat, katanya, akan bergantung keuntungan dari penggunaan teknologi atau listrik yang bersumber dari energi terbarukan. Karena itu, harga dinamis lebih menarik minat pelanggan.
“Kalau harga mahal saat malam, dia matikan saja listriknya PLN, ambil dari baterai. Saat murah di siang hari, baterainya ngecharge. Itu yang terjadi di open market. Kita tidak perlu mengubah open market.”
Tantangan lain, kata Zainal, perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan seringkali timpang dengan permintaan masyarakat. Di Papua, katanya, potensi pembangunan PLTA 26 GW tidak diikuti tingginya permintaan. Pemanfaatan energi terbarukan tak optimal. juga karena ketidaksiapan backbone (jaringan utama).
“Demand-nya tidak di situ. Sedangkan transmisi backbonenya baru satu jalur. Itu masalah dasar pengembangan energi terbarukan Indonesia.”
Zainal percaya, fleksibilitas itu akan mengalami penyesuaian seiring perkembangan pasar. Dia contohkan, pada 2015, harga PLTS di Kupang dengan kapasitas 5MW kisaran US$25 sen per KWh.
Kini, harga PLTS dengan kapasitas sama US$5 sen per KWh. “Jadi market juga punya cara sendiri. Kami percaya, fleksibiltas itu juga akan diciptakan oleh pelaku usaha.”
Strategi pemerintah
Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves mengatakan, ada rambu-rambu yang harus jadi perhatian dalam proses transisi energi. Misal, jaminan pemenuhan listrik domestik, pemasukan bagi negara, dan terbangunnya industri dalam negeri.
Untuk itu, katanya, pemerintah mengupayakan kerja sama dengan Singapura melalui skema ekspor listrik. “Jika itu terjadi, pertama, kita dapat devisa. Kedua, dapat demand awal, industri akan jadi lebih baik. Begitu permintaannya terbentuk, kita akan terbiasa membangun.”
Transisi energi, katanya, merupakan keharusan bagi Indonesia guna mengantisipasi bergesernya pasar energi di masa depan. Sekaligus, upaya memanfaatkan potensi energi surya Indonesia yang diperkirakan mencapai 3.280 TW.
“Kalau negara lain bertransisi, kita tidak, kita akan kehilangan ekspor dari fosil kita, batubara. Kita punya potensi energi tapi tidak dipakai, malah harus impor bahan bakar. Masuk akal bagi kita untuk transisi energi.”
Haris, Kepala Pusat Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM menambahkan, saat ini pemerintah menyiapkan sejumlah regulasi untuk mengakselerasi transisi energi sektor kelistrikan. Antara lain, revisi PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan proses perampungan rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN.)
Adapun, strategi yang direncanakan meliputi insentif fiskal dan non fiskal untuk memudahkan investasi dan peluang kerja sama dengan sektor swasta untuk penyediaan energi.
*********