- Pasangan suami istri, Nurul Fitri Hidayati dan Sri Widodo di Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah, memilih hidup homestate. Sebuah gaya hidup mandiri kembali ke rumah, memanfaatkan tanah dengan menciptakan lingkungan lestari. Namun keperluan hidup tetap terjaga. Mayoritas kebutuhan makanan berasal dari kebun sendiri.
- Mereka memanfaatkan tanah sempit di pekarangan rumah hingga menghasilkan dan bisa penuhi keperluan pangan sehari-hari. Mereka produksi sendiri pangan dengan cara-cara alami.
- Sampah-sampah rumah tangga pun mereka olah untuk keperluan sendiri maupun dijual. Produk pangan yang mereka konsumsi aman dan sehat bagi tubuh serta alam pun tak makin terbebani karena proses dengan cara-cara alami, tanpa zat kimia berbahaya.
- Nurul Fitri Hidayati, awalnya, kerja di luar negeri dengan gaji tinggi tetapi memutuskan kembali ke tanah air dan menjalankan hidup homestate melalui pertanian mandiri. Setelah menikah dengan Sri Widodo dan mereka mendirikan Yoso Farm.
Matahari terik siang itu. Suasana berubah seketika ketika memasuki sebuah pekarangan rumah di Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Teduh. Pepohonan buah dan sayur-mayur memberikan perlindungan dari terik mentari.
Seorang perempuan berbaju hijau lengan panjang sibuk menerima tamu. Rupanya ada tamu dari Jawa Timur, datang membeli bibit pohon dan pelbagai sarana berkebun.
Sosok pemilik rumah Itu adalah Nurul Fitri Hidayati. Perempuan 36 tahun ini sedang memberikan penjelasan singkat kepada para tamunya.
“Saya pernah bekerja, gaji dolar tapi hati terasa gersang,” kata lulusan sarjana Budidaya Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) itu kepada Mongabay, belum lama ini.
Nurul mengenang saat bekerja di industri landscape di Brunei Darussalam selama dua kali kontrak alias empat tahunan. Industri landscape menyediakan jasa membuat taman di area publik. Dengan begitu banyak tuntutan harus sempurna karena mengejar keuntungan.
Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain pun tak terhindari untuk mencapai tuntutan keindahan. Tanpa peduli dampak buruknya.
“Kayaknya saya akan jadi busuk karena tidak tenang. Value saya dari dulu di lingkungan, kerja dapat duit, kerja di lingkungan tapi mencederai lingkungan. Kalau di landscape industri otomatis mengejar profit,” katanya.
Meski memiliki penghasilan bagus, Nurul merasa tak memiliki nilai sebagai manusia. Hidup berkedok pelestarian alam nyatanya melulu soal estetika dan keuntungan semata. Dua tahun bekerja, dia sudah mulai gundah.
Pulang ke tanah air dan mengikuti pelatihan pertanian di Jakarta, Nurul berupaya menjadi wiraswasta. Karena belum yakin dia kembali ke pekerjaan awal.
Latar belakang keluarganya mayoritas pegawai negeri. Harapan orangtua cukup tinggi agar jadi abdi negara dan aman secara finansial hingga tua. Nurul gigih ingin jalan yang dia yakini. Yang membuatnya merasa bisa jadi manusia seutuhnya.
“Saya wedi (takut menganggur) maka ke Jakarta dulu. Dua bulan untuk menjawab satu pertanyaan kenapa mau masuk ke dunia entrepreneur padahal dunianya belantara yang tumbang banyak. Saya pengen tetap ngujengi (memegang) value saya.”
Akhirnya Nurul kembali ke kampung halaman di Klaten, Jawa Tengah. Dia bercocok tanam di kebun milik ayahnya. Dia dan ayahnya kebetulan memiliki hobi serupa, suka bercocok tanam.
Bersama suami dirikan Yoso Farm
Di kampung halaman, Nurul gigih belajar bercocok tanam. Buku-buku pertanian, perkebunan dan artikel-artikel sejenis dia lahap setiap hari.
Saat itu, usianya 29 tahun dan banyak mengkhawatirkan masa depan. Hidup di desa cukup sulit. Di sana, Nurul bertemu Sri Widodo, pada acara komunitas hijau di Klaten. Ternyata mereka cocok, punya nilai sama, kemudian menikah dan mendirikan Yoso Farm.
“Sing penting visi sama. Value ne podo (sama) untuk peduli lingkungan. Karena untuk peduli lingkungan gak bisa dipaksa,” katanya.
Yoso Farm bertransformasi melalui program pendidikan dan toko, dengan kegiatan pendidikan antara lain, outing class, greenschool, workshop, garden tour maupun magang.
Para peserta outing maupun greenschool dari kalangan masyarakat umum maupun pelajar. Mereka mendapat pengenalan gaya hidup lestari dan homestate. Kemudian ada sesi belajar menanam, budidaya jamur hingga membuat olahan kebun. Termasuk budidaya magot dan cara membuat ecoenzim.
Sebelum mendirikan Yoso Farm, Nurul dan Widodo membuka jasa tukang kebun panggilan. Jasa itu cukup potensial karena banyak orang perlu jasa membuat kebun dan merawat namun tak cukup memiliki waktu.
Mereka bekerja dengan bagus, menanam dari hati. Penghasilan stabil namun lagi-lagi merasa terampas. Kebun milik sendiri tidak terurus dan sibuk mengurus kebun orang. Dengan pertimbangan matang, mereka akhirnya berhenti dan fokus 100% di kebun sendiri.
Yoso Farm berada di tanah orangtua Dodo, panggilan akrab suami Nurul. Tak terlalu luas, atas keterampilan mereka berhasil menyulap jadi sumber penghidupan. Yoso, diambil dari nama ayah Dodo yang kebetulan memiliki arti membangun. Yoso Farm ialah upaya membangun gaya hidup homestate.
“Tagline dari Mas Dodo ya, ‘Lestari Nganggo Ati’, kalau penghijauan asal menanam gak merawat gak pakai hati ya sama saja. Hidup aman itu saat sumber daya terjaga,”
Homestate dan kemandirian pangan
Nurul dan Dodo berkomitmen menjalani gaya hidup homestate. Sebuah gaya hidup mandiri kembali ke rumah, memanfaatkan tanah dengan menciptakan lingkungan lestari. Namun keperluan hidup tetap terjaga. Mayoritas kebutuhan makanan berasal dari kebun sendiri.
“Bikin kesepakatan sama istri, bikin sistem seperti ini, setelah menikah kita berusaha apa-apa gak beli. Pupuk gak beli, pakan gak beli dan makan gak beli,” ujar Dodo.
Awalnya mereka pemetaan terlebih dahulu terutama makanan. Misal, pemenuhan karbohidrat maka tanaman yang ditanam ialah kentang dan labu madu. Lalu kebutuhan protein ada ikan lele dan ayam.
“Kandang ayam saya desain biar ramah lingkungan biar gak bau. Gak butuh maintenance, tiap hari bertelur karena jenis ayam helba kualitas telur banyak,” katanya.
Budidaya magot juga mereka lakukan sebagai sumber protein untuk pakan dari limbah dapur. Sekali langkah, ada tiga poin terselesaikan. Persoalan sampah selesai, pakan ayam dan lele dengan protein tinggi serta pupuk kandang.
“Pupuk dari kandang yang kita fermentasi semua jadi melimpah pupuk. Bisa jual pupuk, media tanam, magot kering basah, telur magot. Orientasi kita rumah cukup dulu baru lebih dijual,” kata Dodo.
Dia menekankan, pentingnya sadar konsumsi. Apa yang manusia makan berdampak kepada lingkungan. Kekhawatiran Dodo banyak makanan kemasan pabrik. Rasanya enak hingga membuat ketagihan.
“Saya maunya istri dan anak saya makan ya real food. Asli. Bikin sendiri. Bahan tahu, mengolah bener. Juntrung bahan kita tahu. Kalau saya yakin peradaban manusia berawal dari rumah tangga. Pengen saya jadikan sebagai lingkup ruang kecil ini sederhana dan gak neko-neko.”
Sudah hampir delapan tahun tekun menjaga dan mengembangkan Yoso Farm. Mereka sudah bisa dikatakan sukses berdaya mandiri dengan sumber daya sendiri. Keresahan belum berarti selesai, masih ada.
Manusia, katanya, meminjam masa depan dari anak cucunya. Kalau bumi tak terjaga, bagaimana nasib generasi ke depan. Harapan mereka tak muluk-muluk.
“Harapannya lebih banyak orang sadar dengan apa yang dikonsumsi karena semua kerusakan dari menungso (manusia). Kalau gak ada menungso mungkin bumi sejahtera. Kerusakan lebih banyak dibikin manusia,” ujar Nurul.
********
Mandiri Pangan dari Halaman Rumah Sekaligus Berkontribusi Jaga Iklim