Dampak Mengerikan Sampah Plastik: Ekosistem Hancur, Manusia Terancam

1 week ago 22
  • Selama bertahun-tahun, seluruh negara di dunia berjuang untuk mengatasi persoalan lingkungan yang serius di wilayah laut masing-masing. Persoalan itu, salah satunya adalah produksi sampah laut, khususnya plastik yang semakin sulit dikendalikan
  • Faktanya, lebih dari 8 juta ton sampah plastik sudah masuk ke laut dan 70 persen di antaranya adalah hasil produksi dari aktivitas manusia yang ada di daratan. Sampah plastik terbawa ke laut melalui sungai dan pantai yang tidak dikelola dengan baik
  • Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap fakta bahwa jenis sampah plastik yang ada di perairan laut Indonesia membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa terurai. Semua sampah tersebut juga mencemari laut dan bisa merusak habitat biota laut
  • Sampah plastik di lautan juga akan semakin berbahaya karena kehadiran mikroplastik yang berukuran kurang dari lima milimeter (mm). Saat ini, partikel plastik itu sudah terdeteksi pada semua sampel air dan sedimen yang ditemukan pada berbagai spesies ikan dan kerang yang dikonsumsi masyarakat

Sampah plastik semakin tak terbendung menyerbu lautan di dunia, tak terkecuali laut Indonesia. Setiap tahunnya, sedikitnya 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut dan lebih dari 70 persen adalah sampah yang berasal dari aktivitas manusia di daratan.

Demikian dijelaskan Pakar Pencemaran Laut dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Reza Cordova belum lama ini di Jakarta. Katanya, sampah plastik yang berasal dari daratan masuk ke laut melalui sungai dan pantai yang tidak dikelola dengan baik.

“Masalah ini mengancam kehidupan laut, ekosistem pesisir, dan kesehatan manusia yang bergantung pada hasil laut,” ucap profesor riset itu.

Mengutip data yang diterbitkan BRIN, dia menyebut bahwa jenis sampah plastik yang ada di perairan laut Indonesia membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa terurai. Semua sampah tersebut juga mencemari laut dan bisa merusak habitat biota laut.

Keberadaan sampah plastik di lautan, juga akan semakin berbahaya karena kehadiran mikroplastik yang berukuran kurang dari lima milimeter (mm). Saat ini, partikel plastik itu sudah terdeteksi pada semua sampel air dan sedimen yang ditemukan pada berbagai spesies ikan dan kerang yang dikonsumsi masyarakat.

Tanpa ragu, dia menyebut kalau mikroplastik adalah bahan yang sangat berbahaya ketika ikan dan plankton mengonsumsinya. Padahal, keduanya adalah bagian dari rantai makanan laut yang akan berakhir di tubuh manusia.

Baca : Upaya Penanganan Sampah Laut: dari Plastik hingga Mikroplastik

Sampah plastik yang mengambang di lautan. Foto : Marco Verch/ CC by 2.0

Teknologi Penanganan Sampah Plastik di Laut

Semua bahaya yang timbul dari sampah plastik di laut tersebut, harus dicarikan solusi bersama. Termasuk, BRIN yang terus melakukan penelitian untuk menemukan solusi penanganan sampah plastik di laut melalui berbagai cara dan teknologi.

Sebut saja, penggunaan teknologi inovatif untuk mendeteksi, mengumpulkan, dan mendaur ulang sampah plastik. Saat ini, BRIN sedang mengembangkan pemanfaatan teknologi penginderaan jarak jauh, sensor bawah air dan kecerdasan buatan untuk memetakan sebaran sampah plastik secara lebih akurat.

Reza menambahkan, langkah lain yang dijajaki BRIN adalah dengan menjalin kerja sama bersama komunitas nelayan dan pemerintah daerah. Kerja sama itu dilakukan dengan fokus pada pembersihan pantai dan edukasi masyarakat.

Menurutnya, pendekatan berbasis komunitas akan menjadi kunci utama dalam menekan jumlah sampah plastik yang masuk ke laut. Hal itu, karena perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah adalah langkah penting untuk jangka panjang.

Tak hanya itu, BRIN juga menindaklanjuti penyebaran sampah plastik di laut melalui regulasi terkait yang sudah ada. Tegasnya, kebijakan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dan penguatan infrastruktur pengelolaan sampah di perkotaan harus segera diimplementasikan untuk mencegah pencemaran laut.

“Masa depan laut kita sangat bergantung pada upaya kita semua untuk menjaga kebersihannya. Laut yang bersih bukan hanya untuk biota laut, tetapi juga untuk keberlanjutan hidup kita sendiri,” pungkas dia.

Untuk itu, BRIN mengajak seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan untuk bersama-sama menangani masalah ini melalui aksi nyata dalam pengelolaan sampah. Melalui penelitian dan inovasi, diharapkan masalah sampah plastik di laut bisa berkurang, sekaligus menjaga laut tetap lestari.

Menarik dibaca :  Teknologi: Sekarang Polutan Mikroplastik di Air dapat Dilacak dengan AI

Sampah plastik yang berada di lautan. Foto : Algalita Foundation CC BY-NC-SA 2.0

Mikroplastik Berbahaya dan Beracun

Bahaya tentang plastik dan mikroplastik bagi kesehatan, juga dikupas secara khusus oleh Greenpeace Australia dan dikutip oleh Greenpeace Indonesia. Mereka menyebut kalau mikroplastik adalah partikel plastik kecil yang dihasilkan dari penguraian benda-benda plastik yang lebih besar.

Bahayanya, partikel-partikel itu sudah berhasil menyusup ke hampir semua aspek lingkungan yang ada di dunia. Tercatat ada lebih banyak bahan kimia dalam plastik lebih dari yang diperkirakan, karena mengandung lebih dari 16.000 bahan kimia.

Ironisnya, banyak di antara bahan kimia pada plastik itu masih belum teruji dan bahkan mungkin beracun bagi kesehatan manusia. Diperkirakan, sedikitnya ada 4.200 atau 26 persen di antaranya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Berdasarkan penelitian yang sudah ada, mikroplastik sudah ditemukan di udara, makanan, organ tubuh dan darah manusia. Partikel jahat itu terus mengancam kesehatan tubuh manusia karena sudah ada pada produksi hingga pembuangan, paparan, dan konsumsi plastik.

“Keberadaan bahan kimia ini dalam produk plastik sehari-hari berarti kita secara terus menerus terpapar dengan zat-zat yang berpotensi berbahaya,” demikian dari laman resmi Greenpeace Indonesia.

Merujuk hasil riset para ilmuwan di dunia, mikroplastik bahkan sudah ditemukan pada tinja manusia, yang menjelaskan bahwa partikel-partikel jahat itu sudah dicerna dan kemudian dikeluarkan oleh tubuh manusia.

Lebih buruk lagi, partikel plastik kecil juga ditemukan dalam paru-paru manusia, darah, plasenta, dan air susu ibu (ASI). Itu menegaskan bahwa paparan mikroplastik dimulai pada tahap perkembangan yang sangat dini, yang berpotensi memengaruhi kesehatan sejak dalam kandungan dan seterusnya.

Pada makanan yang dikonsumsi manusia, mikroplastik juga mendominasi dengan 90 persen paparan, seperti pada garam global yang dijual bebas di pasar. Itu berarti, paparan mikroplastik sudah mengontaminasi dengan jauh pada tubuh manusia.

Perlu dibaca : Mikroplastik, Ancaman Nyata di Kehidupan Kita

sampah mikroplastik. Foto : legacy.4ocean.com

Pangan Laut Terkontaminasi Mikroplastik

Paparan yang tanpa batas, membuat mikroplastik juga sudah mengontaminasi produksi pangan yang berasal dari sumber daya laut. Sebut saja, makanan yang dijual bebas seperti ikan, lobster, dan karang yang diketahui sudah terpapar mikroplastik.

Tak pelak, kontaminasi yang sudah sedemikian jauh itu memicu kekhawatiran yang serius tentang potensi dampak kesehatan dari menelan mikroplastik melalui makanan. Walau jumlahnya sulit untuk diukur, tetapi implikasinya terhadap kesehatan sudah sangat mengkhawatirkan.

Di antara upaya untuk mengurangi produksi sampah plastik di laut adalah melalui kegiatan Bulan Cinta Laut (BCL) yang menjadi bagian dari penerapan ekonomi biru di Indonesia. Kegiatan tersebut diklaim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa membangun sinergitas pengelolaan sampah plastik di laut.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, BCL digelar untuk mengedukasi kesadaran nelayan dan masyarakat akan pentingnya mengelola sampah plastik sejak dari daratan. Kegiatan itu diharapkan bisa mendorong target nasional mengurangi sampah laut hingga 70 persen pada 2025.

Dia yakin, kebersamaan dan komitmen yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengedukasi dan mengampanyekan pengelolaan sampah laut akan berbuah manis menjadi wujud keberhasilan dalam menjaga keberlanjutan laut.

Menurutnya, strategi dan komitmen penanganan sampah laut akan memicu efek berganda pada masyarakat pesisir, terutama nelayan dan para pelaut. Ujungnya, diharapkan akan ada dampak pada perekonomian masyarakat dan lingkungan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo menyebut kalau kegiatan Gerakan Nasional BCL sampai saat ini sudah berhasil mengumpulkan sampah pesisir dan laut sebanyak 1.005,82 ton dengan melibatkan 4.621 Nelayan.

Baca juga : Calon Pengantin Diminta Tes Uji Mikroplastik, Ada Apa?

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Hingga akhir 2024 nanti, diharapkan Gernas BCK bisa diselenggarakan di banyak kota/kabupaten, dari target awal 2024 sebanyak 22 kab/kota. Dia optimis, semua pihak akan mau terlibat, terutama nelayan dan seluruh mitra yang ada di daerah.

Dia kemudian mengutip data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), sejak 2018 hingga 2023, telah terjadi pengurangan masuknya sampah plastik ke laut dengan total 41,68 persen atau 256.613 ton dari baseline data kebocoran sampah laut pada 2018, yakni 615.675 ton.

“Program ini merupakan langkah konkrit dalam melakukan pengelolaan sampah secara berkelanjutan melalui pendekatan pentahelix dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” terang dia.

Tentang target 70 persen pengurangan sampah laut di Indonesia pada 2025, menjadi tindak lanjut dari target pembebasan sampah plastik di laut pada 2040. Target itu dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. (***)

Bulan Cinta Laut 2024 Targetkan Pembersihan 200 Ton Sampah Laut

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|