- Gurita adalah komoditas yang banyak dicari para pecinta makanan boga bahari (seafood). Makanan tersebut banyak dikirim oleh negara penghasil gurita, salah satunya Indonesia yang saat ini menempati urutan nomor tujuh di dunia sebagai negara eksportir
- Selama ini, produksi gurita banyak dilakukan oleh para nelayan dengan menangkap langsung di alam. Cara tersebut, sangat bergantung pada elemen yang mendukung kegiatan tersebut, utamanya adalah alat penangkapan ikan (API)
- Jika API yang digunakan tidak ramah lingkungan, maka ekosistem yang menjadi habitat gurita di laut akan mengalami kerusakan dan berakhir pada penurunan kondisi. Kalau itu terjadi, maka gurita menghadapi ancaman sangat serius
- Untuk mencegah hal tersebut menjadi nyata, Pemerintah Indonesia kini melaksanakan program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP) gurita dan sedang menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) gurita yang diharapkan disahkan 2025
Perairan Indonesia tak hanya rumah bagi banyak sumber daya ikan (SDI) yang menyebar luas ke seluruh pesisir. Namun juga, rumah bagi gurita (octopoda), yaitu hewan moluska dari kelas cephalopoda (kaki hewan terletak di kepala), yang menjadikan terumbu karang di samudra sebagai habitat utama.
Hewan laut tersebut mencakup 289 spesies yang menyebar di seluruh dunia, dengan sepertiganya adalah kelas cephalopoda. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara di dunia yang menjadi produsen bagi biota laut yang populer disebut Octopus spp.
Bersama cumi dan sotong, gurita menjadi komoditas utama andalan ekspor bagi produksi perikanan Indonesia. Ketiganya selalu bersaing dengan komoditas andalan lain seperti tuna cakalang tongkol (TCT) dan rajungan kepiting (BSC).
Sayangnya, walau spesiesnya banyak, sampai sekarang pemanfaataan gurita masih sangat terbatas. Kondisi itu termasuk juga di Indonesia, yang sampai sekarang masih didominasi oleh gurita yang hidup di wilayah perairan di bawah 12 mil laut.
Pemanfaatan gurita sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Tetapi, perkembangan yang signifikan mulai terjadi sejak tujuh tahun terakhir, dengan penanda masa berlangsung pandemi COVID-19 sebagai momen kenaikan yang cepat.
Program Coordinator-Fisheries Yayasan Pesisir Lestari (YPL) Faridz Rizal Fachri menjelaskan kalau perkembangan gurita sampai sekarang masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor. Sementara, untuk kebutuhan pasar dalam negeri masih sangat sedikit.
“Pengelolaan perikanan gurita saat ini belum seperti perikanan secara umum. Tapi inisiatif muncul di beberapa daerah Indonesia. Ada inisiasi oleh nelayan itu sendiri,” ungkapnya saat berbincang dengan Mongabay.
Walau belum ada konsep tata kelola yang bagus dan mapan seperti halnya pada tiga komoditas perikanan andalan Indonesia seperti udang, tuna, dan kepiting rajungan (BSC), namun para pelaku usaha dan para pihak terkait sepakat untuk mengembangkan perikanan gurita lebih serius lagi.
Baca : Gurita, Spesies Berumur Pendek Bernilai Ekonomi Tinggi
Program Perbaikan Perikanan Gurita
Sejak 2022, program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP) Gurita mulai bergulir di bawah koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kegiatan tersebut berjalan dengan fokus di wilayah perairan yang ada di pulau Sulawesi, karena produksi gurita cukup tinggi.
FIP dilakukan secara bersama dengan melibatkan sejumlah LSM yang ada di Indonesia. Tujuannya, agar bisa tercipta tata kelola perikanan gurita yang lebih spesifik, dengan mengacu pada komoditas gurita di Indonesia.
“Nah semangat FIP gurita ini sebagai indung telur utk mendorong tata kelola gurita,” tutur Faridz.
Sebagai komoditas ekspor, perikanan gurita ternyata adalah dijalankan dengan skala tradisional di Indonesia. Salah satu cirinya, adalah nelayan melakukan penangkapan dengan waktu yang singkat atau dikenal dengan sebutan one day fishing.
Biasanya, para nelayan akan berangkat pada pagi hari sekitar jam 06.00 waktu setempat dan kembali di siang hari. Konsep melaut seperti itu, berarti memaksa para nelayan harus membatasi jangkauan dengan tidak melebihi 12 mil laut jauhnya.
Selain one day fishing, kegiatan menangkap gurita juga mayoritas dilakukan para nelayan dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) pancing ulur (line), pemikat (lure), dan tombak (spear). Seluruh API tersebut digunakan di wilayah pesisir dengan Gurita sebagai objek tangkapnya.
Kehadiran FIP kemudian mendorong dimulainya penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita yang akan diberlakukan secara nasional. Naskah RPP saat ini sudah selesai, namun masih menunggu pengesahan oleh KKP.
Sebagai sebuah panduan untuk Indonesia, naskah RPP Gurita menjelaskan di dalamnya bahwa produksi di Indonesia terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 712 yang berpusat di Laut Jawa, 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman).
“Berdasarkan data tersebut, memang konsumsi gurita itu untuk ekspor, dengan tujuan ekspor adalah ke negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa,” terangnya.
Walau banyak diminta untuk pasar internasional, namun Faridz tidak mengelak jika pasar dalam negeri masih rendah pasokannya. Hal itu disebabkan karena berbagai hal, salah satunya karena harga gurita yang tidak murah dan tangkapan yang tidak sebanyak ikan.
Baca juga : Lewat Program Buka-Tutup Laut, Produktivitas Tangkapan Gurita Nelayan Selayar pun Meningkat
Proses Panjang RPP dan FIP
Berbagai pertimbangan yang berkembang di dalam dan luar negeri, menjadi salah satu faktor alasan pembuatan RPP Gurita. Diharapkan, saat sudah disahkan dan berlaku, RPP akan menjadi panduan bagi Indonesia untuk menjalankan tata kelola gurita yang berkelanjutan.
Selain RPP yang tinggal menunggu pengesahan oleh KKP, dia menyebut kalau FIP juga akan menjadi konsep dasar untuk mendukung RPP yang diharapkan. Namun, FIP akan berjalan hanya sampai 2027 atau lima tahun sejak 2022.
Baik RPP ataupun FIP, keduanya akan sama-sama menjalani proses review secara berkala. RPP akan dilakukan review setiap dua tahun sekali sejak disahkan dan diberlakukan. Kemudian, setelah lima tahun habis masa berlaku, RPP juga akan kembali di-review dengan mempertimbangkan banyak hal.
Sementara, FIP akan di-review setelah masa berlaku selesai, juga dengan skala waktu lima tahun. Namun, walau FIP melibatkan Marine Stewardship Council (MSC) untuk sertifikasi, FIP tidak menargetkan nelayan melakukan itu saat lima tahun selesai masa berlaku.
“Prosesnya panjang. Sekarang kita fokus pada tahapan-tahapan dasar dulu untuk bisa mewujudkan tata kelola perikanan Gurita yang berkelanjutan,” jelasnya.
Meskipun sudah jelas arah tujuan dari RPP dan FIP dengan cakupan spesifik, tetapi masih ada tantangan besar yang harus dilewati oleh tim yang terlibat. Tantangan itu, tidak lain adalah bagaimana menerjemahkan naskah RPP Gurita agar bisa dipahami oleh nelayan.
Faridz berharap, kehadiran RPP bisa mengatasi persoalan ketimpangan data dan informasi, sekaligus mengumpulkan data tentang gurita menjadi lebih dalam. RPP juga menjadi harapan untuk menjaga habitat dan praktik penangkapan gurita bisa lebih baik.
Kemudian, nelayan juga secara ekonomi bisa aman untuk menangkap gurita, karena sudah ada pasarnya. Jadi, RPP Gurita diharapkan bisa membumikan lebih baik lagi di dalam dan luar negeri. Terakhir, RPP juga diharapkan bisa mempromosikan gurita dari Indonesia di pasar internasional.
“Selama ini, gurita dari Indonesia itu disebutnya Octopus saja. Padahal, ada tiga jenis gurita yang diekspor dari Indonesia,” jelasnya.
Selain gurita biru (day octopus/Octopus cyanea) yang berukuran besar, ada juga dua gurita berukuran kecil yang juga diekspor. Keduanya adalah webfoot octopus (Octopus membranaceus) dan baby octopus (Octopus spp.).
Baca juga : Selamatkan Ekosistem dan Ekonomi, Desa Sinaka Terapkan Jeda Tangkap Gurita
Keunikan Gurita
Di sisi lain, tidak semua daerah pesisir di Indonesia juga bisa mengembangkan gurita sebagai produksi perikanan. Hal itu, karena gurita bergantung pada kondisi ekologi tertentu yang ditandai dengan ekosistem terumbu karang dan padang lamun.
“Kalau daerah itu tidak punya terumbu karang dan padang lamun, gurita tidak bisa hidup. Makanya, gurita banyak hidup di perairan Sulawesi, dan atau perairan pulau-pulau,” sebut Faridz.
Akan tetapi, ada data statistik yang unik tentang gurita di Indonesia. Meski sumber tangkapan ada di perairan Indonesia Tengah, namun data jumlah tangkapan justru didominasi oleh DKI Jakarta melalui Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman.
Menurutnya, data tersebut kemungkinan muncul karena sebagian besar hasil tangkapan gurita didaratkan di pelabuhan tersebut dan melakukan ekspor ke negara tujuan dari pelabuhan yang sama. Selain DKI Jakarta yang masuk WPPNRI 712, ada juga WPPNRI 571 yang juga produksinya tinggi.
“Setelah didiskusikan, ini kemungkinan karena ada potensi spesies yang beda. Selain gurita besar, ternyata ada juga yang berukuran kecil yang laris di pasaran. Namun, yang kecil ini mayoritas untuk pasar dalam negeri,” ucapnya.
Gurita berukuran kecil itu dikenal dengan sebutan baby octopus dan bisa ditemukan pada perairan yang berlumpur. Setelah data dan fakta itu terungkap, ruang lingkup gurita kemudian menjadi diperluas lagi ke berbagai perairan. Diharapkan, itu juga bisa memperpendek jarak informasi dan data gurita.
Mengingat habitat gurita yang ada di Indonesia mayoritas ada di peraian pesisir, maka keberadaannya tidak akan bersinggungan dengan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang memberlakukan aturan wilayah perairan minimal 12 mil laut.
Meski demikian, dia berharap PIT bisa berdampak positif pada perikanan Gurita yang didominasi oleh perikanan skala kecil. Sebabnya, karena PIT akan melibatkan kapal perikanan dengan ukuran besar yang dikendalikan oleh pelaku usaha bermodal besar.
“Nelayan ini menjadi aktor utama dari perikanan gurita. Jadi, saya berharap mereka bisa berkembang untuk sejahtera ekonominya,” terangnya.
Baca juga : Cipo dan Si Manis, Alat Tangkap Gurita Unik dari Kampung Bajo Kalumbatan
Menuju Perikanan Berkelanjutan Gurita
Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana mengemukakan bahwa FIP menjadi salah satu upaya perwujudan praktik dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia, serta perwujudan kebijakan penangkapan ikan terukur yang menjadi prioritas KKP.
Menurut dia, perikanan gurita adalah salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia dan pengelolaannya harus dilakukan dengan tata kelola yang menjunjung tinggi prinsip tanggung jawab dan berkelanjutan.
Itu berarti, perikanan gurita harus melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan (SDI) dengan tidak hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan generasi yang sekarang saja. Namun juga, fokus untuk generasi yang akan datang. Untuk melaksanakan kegiatan FIP, KKP memilih lokasi WPPNRI 713, 714, 715, dan 716.
“Program ini dilakukan untuk mendukung pertumbuhan pasar global untuk makanan laut yang berkualitas tinggi dan berasal dari sumber yang bertanggung jawab atau responsibly sourced,” jelasnya.
Dalam melaksanakan kegiatan FIP Gurita, KKP menggandeng lembaga non Pemerintah lokal seperti Yayasan Pesisir Lestari (YPL), Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI), dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP). Selain itu, terlibat juga komunitas-komunitas lokal di Sulawesi, bersama dengan peneliti/akademisi dan kalangan industri, terutama eksportir.
Program tersebut akan berjalan hingga 2027 mendatang, dengan harapan perikanan Gurita sudah mencapai tahapan yang diinginkan, yaitu berkelanjutan dan bermanfaat secara ekonomi untuk nelayan dan pelaku usaha.
Peneliti Kelompok Riset Perikanan Krustasea (Udang, Kepiting, Rajungan dan Lobster) dan Kekerangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Duranta Diandira Kembaren pada 2023 menyebut kalau jumlah tangkapan per unit usaha penangkapan (CPUE) gurita terus berfluktuasi dan cenderung menurun jika dilihat dari penggunana alat tangkap.
Sementara, berdasarkan selektivitas ukuran tangkap, gurita juga ada kecenderungan menurun sejak 2021. Di antara sebabnya, adalah karena pendataan yang belum bagus, sehingga memicu ketidakjelasan kondisi di alam.
Di sisi lain, penelitian gurita juga menjadi sesuatu yang baru di Indonesia. Hal itu, mendorong pendataan hasil tangkapan dan biologi gurita perlu dilakukan secara terus menerus. Selain itu, peran aktif seluruh pemangku kepentingan gurita juga diharapkan ikut berkontribusi agar bisa mewujudkan perikanan gurita yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. (***)
Laut Rusak, Gurita Menghilang: Nestapa Nelayan Teluk Totikum di Ujung Tanduk