Cipo dan Si Manis: Harapan Baru Alat Tangkap Gurita Ramah Lingkungan

19 hours ago 8
  • Kelompok nelayan gurita di Desa Lobuton, Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, melakukan pendataan tangkapan gurita secara berkala untuk mengukur tingkat populasi gurita yang semakin berkurang
  • Kelompok nelayan membentuk satu sistem tabungan bersama untuk mengantisipasi keuangan di kala masa tangkapan gurita menurun
  • Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banggai Kepulauan kini telah mempersiapkan serangkaian rencana untuk meningkatkan kualitas hidup nelayan gurita dengan melakukan perbaikan perikanan gurita (Fishery Improvement Project/FIP) menuju berkelanjutan melalui Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (KP3L)
  • Cipo dan si manis, alat tangkap gurita tradisional diusulkan kepada pemerintah untuk dilegalkan sebagai alat tangkap ramah lingkungan yang sah, sebagai pijakan regulasi pengelolaan gurita yang berkelanjutan
  • Artikel ini merupakan artikel ketiga tentang kondisi nelayan gurita di Totikum Selatan. Artikel pertama bisa dibaca disini dan artikel kedua disini

Jasdin B. Budia (33 tahun) adalah seorang juru catat Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kuitta Sangkudang di Desa Lobuton, Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan,  Sulawesi Tengah.

Hari itu di pertengahan Oktober lalu, dia menimbang seekor gurita dewasa grade A seberat 3 kg dinilai seharga Rp156.000. Gurita itu setoran dari tangkapan Agung Mujur —semujur namanya— satu dari 10 anggota kelompok yang berhasil mendapatkan tangkapan gurita jantan. Dia menangkap gurita setelah 12 jam terombang-ambing arus pasang surut air laut sejauh bermil-mil.

Budia dilengkapi selembar kertas berisi diagram berisi gradasi warna: abu-abu gelap, krim, coklat muda, merah, dan merah tua, yang disandingkan tepat di samping tubuh gurita di wadah timbangan. Kertas itu digunakan sebagai instrumen untuk mengidentifikasi kualitas tangkapan gurita berdasarkan warna.

Dia sangat teliti mengidentifikasi gurita. Data yang terkumpul dituliskan pada lembar jurnal harian berjudul landing profiling survey.

Dalam kurun dua hari, data menunjukan nelayan menangkap gurita menggunakan alat tangkap cipo, dengan durasi melaut selama 6 sampai 12 jam dalam sehari. Rata-rata kualitas tangkapan gurita terbanyak dengan berat di bawah 2 kg.

Penggunaan cipo menandakan gurita ditangkap di kedalaman laut atau di area laut yang keruh dengan jarak pandang yang terbatas untuk melihat pergerakan gurita di antara tebing-tebing karang. Berbeda dengan alat tangkap si manis, yang digunakan di laut dangkal yang masih jernih sehingga penglihatan nelayan bisa menjangkau sampai dasar laut.

Pendataan tangkapan gurita secara berkala untuk mengukur tingkat populasi gurita yang semakin berkurang.

Baca : Laut Rusak, Gurita Menghilang: Nestapa Nelayan Teluk Totikum di Ujung Tanduk

Warna gurita tangkapan nelayan yang ditimbang didata sesuai dengan lembar diagram warna untuk menentukan kualtas gurita. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

Data terkumpul akan menjadi bahan evaluasi bersama antara sesama anggota kelompok nelayan gurita lain dibawah binaan Yayasan LINI yang telah bertahun-tahun mendampingi masyarakat nelayan Totikum Selatan untuk mengelola perairan laut mereka, khususnya tangkapan gurita yang menjadi mata pencaharian utama nelayan Lobuton.

Sejak September lalu, nelayan gurita KUB Kuitta Sangkudang dan satu kelompok nelayan serupa lainnya di Lobuton sedang mempersiapkan diri menyambut musim utara yang berlangsung selama enam bulan di periode September hingga Februari. Musim utara mendatangkan banyak gurita yang berburu hewan-hewan laut sumber makanan utamanya yang terbawa arus deras dari utara dan terjebak di perairan Teluk Totikum Selatan.

Di masa persiapan itu, Yayasan LINI menyalurkan alat pelengkap berburu kepada nelayan berupa mouci, terbuat dari batang baja putih seukuran sumpit yang runcing, digunakan untuk menusuk  kepala gurita, mencegah untuk tidak mengeluarkan cairan tinta dari dalam tubuhnya agar tidak berpengaruh pada menurunnya kualitas penimbangan gurita di pengepul.

“Kualitas gurita yang ditusuk lebih bagus daripada yang dipukul,” kata Budia. Ada pihak perusahaan penampung baru yang menginginkan gurita dalam proses penangkapannya tidak dikeluarkan tintanya.

Dalam satu tahun terakhir, nelayan gurita telah menyepakati satu bentuk pengelolaan keuangan untuk mengatasi masa-masa krisis nelayan ketika melewati masa paceklik dengan di kala jumlah tangkapan gurita turun drastis, yaitu di periode musim angin selatan pada bulan Maret – September.

Setiap anggota KUB rutin menyisihkan uang dalam bentuk tabungan simpanan pokok sebesar Rp50.000, simpanan wajib Rp5.000, uang pangkal Rp10.000, dan sumbangan sukarela sesuai kemampuan anggota kelompok. Kini, total kas yang terkumpul sebesar sebesar Rp2.000.000.

Baca juga : Kisah Nelayan Totikum Selatan Kembalikan Populasi Gurita yang Menurun Drastis

Nelayan menunjukkan mouci yang terbuat dari batang baja putih runcing, digunakan untuk menusuk kepala gurita agar tidak mengeluarkan cairan tinta dari dalam tubuhnya. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

Kata para nelayan, gurita di sini bagus, namun sesampainya di penampungan besar di Kabupaten Luwuk, gurita didinginkan menggunakan balok es dan ditaburi garam. Cara pengepakan seperti itu membuat gurita mereka ditolak pasar internasional. Pasar internasional menginginkan gurita yang telah didinginkan dikemas dengan cara dipress menggunakan kemasan plastik.

Untuk memastikan kebenaran informasi itu, Mongabay Indonesia telah dua kali mendatangi Indotropic Fishery, salah satu perusahaan besar yang bergerak dalam bisnis bidang pengolahan dan pembekuan ikan karang dan gurita, yang berlokasi di Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah. Tidak ada respon dari pihak Indotropic. Upaya konfirmasi Mongabay Indonesia tidak direspon.

“Kami akan hubungi,” kata security Indotropic Fishery yang bertugas pada 21 Oktober 2024.

Pengelolaan Gurita Berkelanjutan

Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Banggai Kepulauan mengaku belum memiliki data akurat tentang tangkapan jumlah dan nilai tangkapan nelayan gurita di Banggai Kepulauan.

“Saya sempat kaget dengan data yang diberikan bahwa untuk wilayah Sulawesi, gurita terbaik ada di Banggai Kepulauan,” kata Ferdy Salamat, Kepala DKP Banggai Kepulauan, kepada Mongabay Indonesia usai menandatangani peta area tangkapan gurita yang perlu dilindungi pada Peresmian Wilayah Buka Tutup Penangkapan Gurita di Totikum Selatan.

Katanya, pemerintah Banggai Kepulauan tidak merasakan secara langsung hasil dari gurita selama ini. Keuntungan dari gurita dinikmati daerah-daerah yang menjadi daerah transit, contohnya Sulawesi Selatan, yang memiliki pelabuhan ekspor.

Salamat mengaku ‘hasil gurita kami diklaim’ sebagai hasil dari Sulawesi Selatan dan pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) pusat melalui BKN Jakarta.

Untuk mengantisipasi hal itu tidak berlanjut, DKP Banggai Kepulauan telah mempersiapkan serangkaian rencana untuk meningkatkan kualitas hidup nelayan gurita dengan melakukan perbaikan perikanan gurita (Fishery Improvement Project/FIP) menuju berkelanjutan.

DKP Banggai Kepulauan berkolaborasi dengan stakeholder terkait membentuk Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (KP3L). Lembaga ini merumuskan rencana aksi terhadap beberapa kebijakan di semua sektor unggulan perikanan, diantaranya gurita, salah satu komoditi ekspor yang sangat menjanjikan untuk menyejahterakan nelayan.

Baca juga : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita

Nelayan menurunkan cipo, umpan untuk menangkap gurita di kedalaman laut Teluk Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

KP3L sudah mulai menyusun rencana untuk mensertifikasi pengepul atau pengusaha-pengusaha di sektor gurita yang ada di Banggai Kepulauan, demi mendapatkan pengakuan asal-usul gurita. Cara itu diyakini dapat membuat harga gurita stabil, tidak naik turun secara sepihak.

Sebagai langkah awal, KP3L akan melakukan pendataan jumlah nelayan gurita yang tersebar di 133 desa pesisir. Dan akan dilanjutkan pada apa yang menjadi kebutuhan alat tangkap yang memenuhi standar ekspor.

Salamat mengusulkan, “Pemerintah seharusnya berpihak kepada dimana sumber daya alam itu diperoleh,” menyambut kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait produksi perikanan gurita yang akan diberlakukan tahun 2025.

 Perikanan gurita salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia, dan KKP melalui FIP berusaha mewujudkan penerapan/praktik dan tata kelola perikanan gurita menjunjung tinggi prinsip tanggung jawab dan berkelanjutan. Banggai Kepulauan masuk dalam agenda kegiatan FIP karena berada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 716  yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera.

Program tersebut diagendakan berjalan hingga 2027 mendatang, dengan harapan perikanan gurita sudah mencapai tahapan yang diinginkan, yaitu berkelanjutan dan bermanfaat secara ekonomi untuk nelayan dan pelaku usaha.

Penangkapan Gurita Ramah Lingkungan

Sementara, masalah paling mendasar pada persoalan gurita adalah menurut Seafood Watch List, produk gurita Indonesia termasuk dalam kategori ‘untuk dihindari’ atau ‘merah’. Artinya, produk gurita belum dianggap berkelanjutan.

Risandi Dg Sitaba, Koordinator Program LINI di Banggai Kepulauan, mengatakan bahwa sebagian besar nelayan gurita sudah tidak melakukan tindakan  ilegal untuk menangkap gurita. Mereka menangkap gurita menggunakan alat tangkap ramah lingkungan dan menggunakan ketinting, yaitu sampan tradisional dengan mesin penggerak berkapasitas rendah.

“Mereka tidak menggunakan bom atau setrum (listrik),” katanya.

Baca juga : Cerita Nelayan Desa Sinaka Tangkap Gurita dengan Cangkang Kerang

Nelayan menunjukkan si manis, alat umpan gurita yang digunakan oleh masyarakat Bajo di Desa Kalumbatan, Totikum Selatan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Alat tangkap ini dinilai ramah lingkungan yang sudah banyak digunakan nelayan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Tetapi pembeli di luar negeri memiliki aturan standar yang mempertanyakan legalitas gurita yang diterima. “Siapa yang tangkap, dalam sebulan dapat (tangkap) berapa, alat tangkap apa yang digunakan, perahunya apa, siapa kaptennya, namanya siapa” lanjutnya mengutip pertanyaan yang kerap dilontarkan pembeli mancanegara terhadap gurita yang bersumber dari Indonesia.

Pertanyaan itu dinilai kontras dengan regulasi penangkapan ikan di Indonesia, dimana legalitas tingkat terendah hanya mengakui kapal dengan PAS Kecil.

“Makanya kami dari LINI mendampingi nelayan untuk mendapatkan dokumen kapal itu,” tambahnya, agar kedepannya tidak mengulang kejadian gurita tangkapan mereka diterima negara pengimpor tetapi dilabeli sebagai produk ilegal.

Selama ini gurita dari Indonesia dikirim ke perusahaan di Cina yang memiliki legalitas untuk melakukan pengemasan yang selanjutnya dipasarkan ke negara-negara lain.

Belum lagi tuntutan internasional yang mengharuskan menerapkan ekolabel untuk menjaga kestabilan harga. Namun katanya, pengurusan untuk mendapatkan ekolabel banyak sekali ‘tetek bengeknya.’

Satu-satunya yang mudah adalah mendapatkan dokumen kapal PAS kecil, karena para nelayan gurita ini sudah menerapkan cara tangkap yang ramah lingkungan.

Dia mencontohkan, jumlah nelayan tuna di Indonesia yang menggunakan standarisasi dokumen PAS terdata dengan baik. Sementara pasar ekspor tuna dan gurita hampir mirip.

Penyebabnya, karena pemerintah tidak mengakui cipo dan si manis sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Sementara, penerapan standar legalitas alat tangkap nelayan yang ramah lingkungan dikembalikan kepada negara masing-masing.

Yayasan LINI berkomitmen perjuangkan legalitas dua alat tangkap tersebut dalam dalam Rencana Perikanan Pengelolaan (RPP) Gurita.

Kata Sandi, cara paling mudah untuk menjaga kestabilan harga gurita adalah “Negara harus mengakui chipo dan si manis sebagai alat tangkap ramah lingkungan.”

Baca juga : Sukses Tingkatkan Produksi Gurita, Nelayan Selayar Kembali Buka-Tutup Kawasan

Panen gurita nelayan Torosiaje. Pelan-pelan nelayan mulai merasakan dampak positif dari pengelolaan perikanan berkelanjutan ini, hasil tangkapan pun menjanjikan bahkan masuk kualitas ekspor. Foto: Japesda

Regulasi Alat Tangkap Gurita  

Pakar perikanan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Luwuk, Erwin Wuniarto, melihat sebagian besar nelayan telah lama meninggalkan gancu dan beralih menggunakan cipo dan si manis, yang katanya alat tangkap yang sangat ramah lingkungan, hanya menyasar gurita dewasa yang memenuhi bobot kualitas ekspor untuk keluar dari sarangnya. Sayangnya, minimnya pengetahuan nelayan terhadap budidaya perikanan kelautan membuat nelayan hanya berfokus pada kuantitas, bukan kualitas tangkapan.

Wuniarto memperkirakan populasi gurita yang berkurang di perairan Banggai Laut membuat nelayan gurita berlomba-lomba  berburu gurita berpindah ke area tangkapan di wilayah lain. Sehingga penting untuk mengatur pola tangkap dan berburu nelayan gurita, karena nelayan sudah tahu harga gurita mahal.

“Penting bagi pemerintah meregulasikan alat tangkap ini (cipo dan si manis) dengan kebijakan yang standar dua kilogram untuk menjaga keberlangsungan gurita,” kata Wuniarto, di tengah tingginya permintaan internasional namun jumlah barang terbatas, menjadi penyebab harga gurita naik.

Regulasi itu dapat menjadi cikal bakal acuan KKP dalam mengatur kuota dan kualitas tangkapan nelayan gurita menyesuaikan kualitas dan harga standar ekspor di tingkat pengepul.

Dampak positifnya, mendukung upaya pelestarian gurita melalui sistem buka tutup sementara yang telah dirintis para kelompok nelayan gurita  seperti yang diterapkan pada area fishing ground di wilayah Totikum Selatan. Dalam satu kali siklus reproduksi, gurita betina menghasilkan banyak telur yang akan ditempelkan di terumbu karang.

“Kalau gurita tidak dibeli, hancur masyarakat di sini,” pungkasnya. (***)

Indonesia Bermimpi Miliki Tata Kelola Gurita Berkelanjutan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|