- Pernyataan para pejabat Indonesia menuai kontroversi. Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, Indonesia tidak terjebak dalam skenario kesepakatan iklim Perjanjian Paris atau Paris Agreement terkait transisi energi. Ucapan senada juga muncul dari Pernyataan mereka ini muncul tak lama setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, resmi menarik negaranya dari perjanjian tersebut pada 27 Januari 2026. Sontak, berbagai kalangan mengkritik keras penyataan mereka.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) sebut pernyataan Hasyim Djojohadikusumo bahwa porgram Just Energy Transition Partnership (JETP) gagal tak akurat dan berdasar data. Catatannya,total $230 juta telah dikucurkan dalam bentuk hibah dan TA untuk 44 program. Selain itu, ada juga US$1 miliar dalam bentuk ekuitas dan pinjaman di 8 proyek dan sebagainya.
- IESR sebut Indonesia ‘bunuh diri ekonomi’ jika terus pertahankan PLTU batubara. Berdasar penghitungannya, total penghematan dari subsidi listrik dan biaya kesehatan diperkirakan mencapai US$34,8 miliar dan US$61,3 miliar.
Pernyataan para pejabat Indonesia menuai kontroversi. Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, Indonesia tidak terjebak dalam skenario kesepakatan iklim Perjanjian Paris atau Paris Agreement terkait transisi energi. Ucapan senada juga muncul dari Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Bidang Iklim dan Energi. Pernyataan mereka ini muncul tak lama setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi menarik negaranya dari perjanjian itu pada 27 Januari 2025. Sontak, berbagai kalangan mengkritik keras penyataan mereka.
Hadir dalam acara di stasiun televisi, Bahlil menyoroti sikap Amerika Serikat yang sebelumnya jadi pelopor Paris Agreement, justru menarik diri dari perjanjian itu. “Saya juga bingung. Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur dari Paris Agreement. Padahal dia salah satu yang memelopori. Karena itu, kita jangan terjebak,” kata Bahlil.
Sejauh ini, Indonesia masih berkomitmen terhadap aksi iklim global. Namun, Bahlil bilang, bila transisi energi tidak akan buru-buru. Energi fosil, terutama batubara, masih perlu untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.
Presiden Prabowo, katanya, memintanya mendorong kemandirian energi. Bukan mengganti semua basis energi ke energi terbarukan. Tanpa dana internasional, Indonesia enggan mempercepat transisi energi dan menghentikan operasional PLTU.
Pernyataan tak jauh beda disampaikan Hashim Djojohadikusumo dalam acara ESG Sustainable Forum 2025 yang dipantau secara daring, 31 Januari lalu. Hashim membandingkan emisi karbon antara Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat, katanya, menghasilkan sekitar 13 ton karbon per kapita per tahun, sedangkan Indonesia ‘hanya’ 3 ton.
“Kalau AS tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhinya? Ini adalah masalah keadilan. Indonesia 3 ton, AS 13 ton, tapi Indonesia yang disuruh menutup pusat-pusat tenaga listrik berbasis fosil. Rasa keadilannya di mana?”
Indonesia rentan terdampak krisis iklim
Berbagai kalangan pun sontak mengkritik pernyataan dua pejabat yang dinilai memberi sinyalemen untuk mengikuti jejak Amerika Serikat itu. Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyebut, pernyataan kedua pejabat ini sebagai sesat pikir.
“Trump itu seorang climate crisis denier, dia menolak krisis iklim benar-benar terjadi. Masalahnya, Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak krisis iklim, seperti banjir, kebakaran hutan, dan bencana hidrometeorologi. Saya tidak tahu Bahlil lupa atau pura-pura tidak tahu,” kritik Iqbal.
Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2023, tercatat 5.400 bencana hidrometeorologi terjadi di Indonesia. Jumlah ini, katanya, meningkat 38,39% dibanding tahun sebelumnya.
Dia bilang, pernyataan Bahlil dan Hashim mencederai komitmen Indonesia dalam upaya menurunkan emisi dan program bursa karbon yang baru pemerintah luncurkan, sekalipun program ini juga dinilai problematik.
Pemerintah, sebetulnya punya cukup infrastruktur untuk mengatasi krisis iklim. Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan punya direktorat khusus mengatasi perubahan iklim. Di sektor energi juga Indonesia layak untuk menjual penyerapan karbon karena sudah membangun beberapa pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, kalau Indonesia keluar dari Paris Agreement, dapat merusak integritas negara dalam perjanjian internasional, bahkan mengganggu hubungan dengan negara-negara yang selama ini memberikan pendanaan untuk aksi iklim, seperti Norwegia, Kanada, dan Uni Eropa.
“Indonesia punya dua jalur komitmen emisi, upaya sendiri dan bantuan luar negeri. Kalau kita keluar dari Paris Agreement, mana ada negara-negara seperti Norwegia, Kanada, atau Uni Eropa yang mau membantu kita? Ini bisa berdampak pada pendanaan aksi iklim, bahkan merusak hubungan luar negeri kita.”
Iqbal menyebut, pernyataan Bahlil dan Hashim semakin mengukuhkan bahwa pemerintahan Prabowo adalah rezim ekstraktif yang lebih mementingkan eksploitasi sumber daya alam ketimbang keberlanjutan lingkungan. Padahal, sebagai negara yang paling rentan, Indonesia harusnya lebih serius menangani dampak perubahan iklim.
Novita Indri, Juru kampanye energi fosil dari Trend Asia menyampaikan kritikan serupa. Menurut dia, pernyataan kedua pejabat itu menunjukkan minimnya pemahaman pemerintah akan urgensi mengatasi krisis iklim.
“Seharusnya, Bahlil menyadari betapa anti-sains dan kontroversial langkah Trump saat menarik AS dari Perjanjian Paris. Jangan malah meniru dan terjebak dalam race to the bottom. Ini seharusnya mendorong kita untuk meningkatkan mitigasi dan adaptasi, bukan mundur.”
Dua pekan sebelum keputusan mundur dari Perjanjian Paris, AS dilanda kebakaran terbesar dalam sejarahnya, dengan 57.635 hektar. Seharusnya, peristiwa itu bisa dipahami bahwa dampak krisis iklim bukan mitos.
Sebagai negara kepulauan tropis, kata Novi, jauh lebih rentan terhadap bencana dampak krisis iklim, seperti badai, banjir, kekeringan, hingga krisis pangan.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa selama Januari 2025, Indonesia mengalami 165 banjir, 13 cuaca ekstrem, dan 18 tanah longsor. Sebanyak 635.336 jiwa terdampak dan terpaksa mengungsi. Semua bencana ini memiliki korelasi erat dengan krisis iklim yang makin memburuk.
Pendanaan alternatif
Mundurnya AS dari Perjanjian Paris memang berpotensi melemahkan komitmen global terhadap pendanaan transisi energi, termasuk bagi negara berkembang seperti Indonesia. Namun, menurut Novita, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah dekarbonisasi.
“Sedari awal, pendanaan JETP memang buram dan lebih banyak berbasis utang, yang berpotensi membebani Indonesia. Justru kita harus mencari sumber pendanaan alternatif dari dalam negeri,” ujar Novita. Salah satu sumber yang diusulkan adalah peningkatan pungutan produksi batubara.
Produksi batubara Indonesia pada 2024 mencapai lebih dari 833 juta ton dan diperkirakan melebihi 900 juta ton pada tahun-tahun mendatang. Potensi penerimaan negara dari peningkatan pungutan produksi batu bara bisa mencapai $23,58 miliar per tahun—angka yang lebih besar dari komitmen JETP.
Novita juga menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh bergantung pada kepemimpinan AS dalam isu transisi energi. Justru, hilangnya kepemimpinan AS membuka peluang bagi negara lain untuk mengambil peran lebih besar dalam kolaborasi iklim global.
“Perjanjian Paris bukan sekadar dokumen teknis tentang emisi, tetapi komitmen global untuk menyelamatkan umat manusia dari dampak krisis iklim. Mundur dari perjanjian ini adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina, menyebut pernyataan kedua pejabat serampangan dan menyesatkan. Kendati Indonesia menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibandingkan AS, bukan berarti dampak krisis iklim bisa diabaikan begitu saja. “Ini adalah masalah global yang mempengaruhi masa depan kita semua.”
Linda bilang, krisis iklim telah berdampak nyata pada produktivitas pertanian Indonesia, terutama tanaman pangan yang semakin terancam oleh cuaca ekstrem dan bencana alam. “Jika Menteri ESDM menyepelekan hal ini, artinya ia tidak memikirkan dan tidak mendukung rencana Presiden dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.”.
Bhima Yudistira, Direktur Eksekutif Celios, mengakui, keluarnya AS dari kesepakatan Paris akan berdampak siginifikan terhadap pendanaan transisi energi di Indonesia. Program Just Energy Transition Partnership (JETP) terancam tidak berjalan mulus, atau bahkan bubar.
Dia katakan, Indonesia sedang membutuhkan dana besar, terutama dari internasional untuk membangun 71 gigawatt pembangkit energi terbarukan dan mempercepat pensiun PLTU batubara. Dengan kata lain, keluarnya AS akan menjadikan Indonesia kehilangan salah satu donor terbesarnya dalam program ini.
Bhima menyarankan Indonesia untuk mencari pendanaan potensial lain untuk membiayai transisi energi, misalnya ke Timur Tengah. “Timur Tengah terbukti membantu pembangunan PLTS di Waduk Cirata yang skalanya cukup besar dan akan diekspansi. Jadi mencari partner baru selain AS dan China juga sangat mendesak, dan Timur Tengah jadi salah satu pilihannya.”
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, pernyataan Hasyim yang menyebut JETP gagal tak akurat, keliru dan tidak berdasar data. Hal yang harus dipahami, kata IESR, pendanaan JETP tidak diberikan dalam bentuk bantuan tunai, melainkan melalui berbagai skema dari masing-masing negara IPG (International Partnership Group). Antara lain, hibah, bantuan teknis (technical assistance/TA), ekuitas, atau pembiayaan proyek.
Hingga 2024, berdasar data IESR, total $230 juta telah dikucurkan pendonor IPG dalam bentuk hibah dan TA pada 44 program. Sedangkan sekitar $97 juta untuk 11 program masih dalam proses persetujuan. Selain itu, ada juga USD1 miliar dalam bentuk ekuitas dan pinjaman di 8 proyek dan sebagainya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa meminta pemerintah tak gamang melakukan transisi energi. Menurutnya, kesepakatan JETP tidak bersandar pada AS semata lantaran IPG terdiri dari banyak negara dan lembaga pendanaan internasional.
“Transisi energi adalah prasyarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, seperti diamanatkan dalam RPJPN 2025-2045 dan merupakan satu dari 13 transformasi super prioritas yang dilakukan pemerintah,” kata Fabby dalam rilisnya.
Dia menilai, mempertahankan energi fosil dan tetap mengoperasikan PLTU batubara berisiko menjadikan Indonesia ‘bunuh diri ekonomi’. “Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi, menekan biaya penyediaan energi, serta mengurangi subsidi karena mengabaikan kesempatan membangun pembangkit energi terbarukan dengan skala yang lebih besar.”
Kajian IESR menyebut, penghematan dari subsidi listrik dan biaya kesehatan diperkirakan mencapai US$34,8 miliar dan US$61,3 miliar. Penghematan tersebut 2-4 kali lipat dibanding dengan potensi kerugian akibat aset mangkrak, biaya penghentian pembangkit, transisi pekerja, serta kerugian penerimaan negara dari batubara.
******
Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas