Pesantren An-Nur Jawab Krisis Sampah TPA Piyungan

9 hours ago 2
  • Pesantren An-Nur, Sewon, Bantul tak gelisah meski TPA Piyungan tutup. Sejak Mei 2023, mereka mengolah sampah secara mandiri. 
  • Omah Tarbiyah Atasi Perubahan Iklim (Obah Apik) Pesantren An-Nur mengolah sampah rata-rata 400 kg per hari. Ada sistem pilah daur ulang, sedangkan sisanya yang tak bisa terolah akan dibakar.
  • Pengelolaan sampah Obah Apik menghasilkan cuan, baik dari rongsok, maggot, ternak serta pembayaran sampah warga sekitar.
  • Para santri Pesantren An-Nur terlibat aktif, mulai dari edukasi pilah sampah hingga kreasi barang bekas. 

Sejak 1 Mei 2024, tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan resmi tutup. Tak bisa beroperasi maksimal, warga Yogyakarta, Sleman dan Bantul pun harus mengelola sampahnya sendiri. Banyak warga kelimpungan, sampah menumpuk di sudut kota atau di depo-depo sampah. Tapi Pesantren An-Nur di Ngrukem, Kabupaten Bantul, tetap tenang—kini mereka sudah bergantung pada TPA.

Deretan sampah plastik berjemur di bawah terik sinar matahari. Ada kresek dan plastik makanan yang siap untuk dibakar. Ini residu yang tak dapat didaur ulang. Dengan tungku sederhana, para santri Pesantren An-Nur membakarnya dengan pengawasan ketat. Abu sisa pembakaran akan menjadi pupuk organik. 

“Yang dibakar itu sampah-sampah yang belum bisa di daur ulang, seperti pakaian bekas, plastik makanan, kresek, pembalut, pampers dan sejenisnya,” ujar Aswal Askah, karyawan Omah Tarbiyah Atasi Perubahan Iklim (Obah Apik) Pesantren An-Nur. Sedangkan, sampah organik dan sampah yang dapat didaur ulang, mereka akan memilah dan menjualnya. 

Sampah residu yang tak bisa diolah di Obah Apik akan dibakar. Pembakarannya dilakukan dengan hati-hati dan jauh dari pemukiman. Foto: Bernardino Realino Arya Bagaskara/ Mongabay Indonesia

Sejak Mei 2023, Pesantren An-Nur mendirikan Obah Apik—sebuah unit pengelolaan sampah mandiri. Ini sebuah inovasi akibat macetnya pengangkutan sampah ke TPA Piyungan yang sempat menyebabkan gunungan sampah. Anis Sulkhan Fadlil, Koordinator Obah Apik Pesantren An-Nur mengatakan kehadiran Obah Apik menjadi awal dari jawaban Pesantren An-Nur atasi masalah sampah di TPA Piyungan.

Sebelumnya, sampah dari 2.500 santri yang tinggal di pesantren menggantungkan nasib pada Dinas Lingkungan Hidup. Mereka berlangganan seminggu tiga kali. Sampahnya diangkut dan berakhir di TPA Piyungan. Kala itu, Fadlil menyadari cara itu ternyata kurang efektif.  

“Sistemnya di sana cuma open dumping, cuma ditumpuk aja. Itu kan jadi bom waktu kayak dulu di Bantargebang,” tegas Fadlil. Empat bulan setelah Obah Apik terbentuk, mereka bercerai dengan DLH dan memilih untuk mengelola sampah secara mandiri. Ini menjadi cerita awal kesuksesan Obah Apik.  

Proses pemilahan sampah ala santri Pesantren An-Nur

Proses pengelolaan sampah pesantren An-Nur terbagi dalam tiga bagian. Pertama, hulu menjadi tempat produksi sampah dari komplek para santri. Kedua, hilir menjadi lokasi pengelolaan dan bank sampah. Ketiga, transporter. Yakni, tim yang menghubungkan antar keduanya. 

Tiap asrama di kompleks pesantren memiliki tempat sampah terpilah sesuai jenis sampahnya. Ini menjadi upaya edukasi dan mempermudah proses pengangkutan. “Bukan buanglah sampah pada tempatnya, tapi pilahlah sampah sesuai jenisnya,” tegas Fadlil.

Aswal Askah, karyawan Obah Apik pesantren An-Nur, Yogyakarta melakukan pemilahan sampah organik untuk pakan ternak dan pupuk. Foto: Bernardino Realino Arya Bagaskara/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Tebar Janji Kelola Sampah di Pilkada Yogyakarta

Ada 13 titik pengambilan sampah. Tiap hari, transporter bertugas mengangkut dan membawa ke lokasi pengelolaan. Rata-rata ada 400 kg per hari sampah yang dihasilkan, mulai dari sampah organik, anorganik ataupun rongsok. 

“Per hari paling sering 300, paling tinggi 600 atau 800 kg” jelas Alan Budi Kusuma, santri yang turut mengolah sampah di Obah Apik. 

Pada tahap pengelolaan, sampah organik diolah menjadi pakan maggot dan ternak. Sedangkan, barang rongsok seperti botol plastik, botol kaca, tutup plastik, besi, kawat, sendok besi dan berbagai jenis plastik lainnya mereka pilah dan jual. 

Sisanya, sampah yang tak dapat diolah akan dibakar dalam tungku. “Ini menjadi cara sementara, hingga dapat menemukan solusi yang lebih tepat,” ujarnya. Dia bilang setidaknya ada sekitar 50% sampah yang berakhir di pembakaran. 

Alan bilang ada perubahan yang sangat signifikan dalam pengelolaan sampah para santri. Sebelum ada program bank sampah, sampah mereka itu membludak, tak terurus. “Pas ada gebrakan sampah mandiri, kita yang mengurangi sampah. Sampahnya berkurang, unit pengelolaan terawat, dari segi keuangan jalan terus,” ceritanya. 

Obah Apik mengolah 300 kilogram sampah per hari. Tak hanya dari pesantren An-Nur, tapi juga warga sekitar desa Ngrukem, Sewon, Bantul. Foto: Bernardino Realino Arya Bagaskara/ Mongabay Indonesia

Sampah menjadi berkah Pesantren An-Nur

Tak hanya kebersihan bagi lingkungan pesantren, Alan mengatakan pengelolaan sampah ini juga memberikan keuntungan ekonomi. Pendapatan dari pemilahan sampah rongsok saja, mereka bisa meraup untung Rp 4 juta per bulan. 

Keuntungan lainnya juga berasal dari ternak maggot dan mentok melalui pakan sampah organik. “Sistem kayak gini tuh ternyata bisa ada penghasilannya, dari maggot, dari mentok ternyata kayak gini tuh ada bisa menghasilkan cuan.” jelasnya. 

Selain itu, mereka juga mencari peluang pembuatan pupuk dari sampah organik basah. Meski masih tahap percobaan, Alan berharap ini bisa menjadi sumber pendapatan lainnya.

Pupuk organik, salah satu produk olahan sampah organik dari Obah Apik. Ini memberikan manfaat ekonomi bagi pesantren An-Nur, Yogyakarta. Foto: Bernardino Realino Arya Bagaskara/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Masalah Sampah Yogyakarta Sudah Lama dan Tak Pernah Usai

Keberkahan Obah Apik ternyata tak hanya dirasakan oleh para santri tapi juga masyarakat sekitar. Fadlil bilang Pesantren An-Nur juga diminta membantu pengelolaan sampah rumah tangga hingga bisnis catering sekitar pesantren. Mereka bisa membawa sampahnya ke Obah Apik. 

Obah Apik tidak menerapkan iuran langganan sampah bagi warga, tapi sistem reward dan punishment. Sehingga, pembayaran sampah tergantung kondisi dan volume sampah yang disetor. Jika sampah terpilah, maka volumenya semakin kecil dan bayarannya semakin rendah. Sebaliknya, jika tak terpilah maka harganya juga akan berbeda. Semakin mahal. 

Sistem ini menjadi upaya Obah Apik mengedukasi bagi masyarakat sekitar dan bisnis kecil. Pendapatan itulah yang menjadi salah satu pemasukan untuk membayar para karyawan. “Tidak hanya bicara menyelesaikan (sampah) isu internal, tapi dia (Obah Apik) juga bisa berkontribusi secara eksternal,” jelasnya. 

Ada 2.500 santri yang tinggal di Pesantren An Nur, Sewon, Yogyakarta. Sejak Mei 2023, mereka mengelola sampah secara mandiri. Foto: Bernardino Realino Arya Bagaskara/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Komunitas Wayang Sampah, Sebarkan Isu Lingkungan Lewat Seni

Edukasi sampah bagi santri

Wakil Ketua Pondok Bidang Kebersihan, Syaiful Islam merasa praktek pengelolaan sampah ini telah membangun kepedulian sampah para santri. Sejak adanya Obah Apik, para santri lebih teliti terhadap sampah, terutama mengenai plastik. 

“Misalnya untuk jajan itu nanti enggak boleh pakai plastik, misalnya harus pakai waton sendiri,” sebut Syaiful. 

Para santri biasa menggunakan totebag saat belanja di luar pesantren untuk menghindari plastik. Selain itu, mereka menganjurkan kiriman paket barang dengan menggunakan kardus. Ini menjadi upaya mengurangi keberadaan plastik di lingkungan pesantren. 

Pesantren An-Nur juga mendorong para santri untuk berkarya. Jika ada santri yang menghasilkan karya dari barang bekas, maka itu bisa dijual sebagai keuntungannya. Harapannya, ada pelatihan daur ulang untuk meningkatkan nilai jual sampah untuk para santri. Tujuannya agar sampah dapat memiliki nilai manfaat.

(*****)

Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|