- Proyek Strategis Nasional (PSN) pangan di Merauke, Papua Selatan terus jadi sorotan. Komnas HAM baru mengeluarkan rekomendasi dan mendorong pemerintah untuk evaluasi proyek pangan dan energi di Merauke ini untuk memastikan partisipasi masyarakat adat.
- Natasha Devanand Dhanwani, peneliti Yayasan Pusaka memperkirakan, setidaknya terdapat 2000 personil tentara yang tergabung dalam 5 Batalyon Penyangga Daerah Rawan (PDR) di wilayah Papua. Di samping itu, kajian mereka mendapati, sejumlah posisi strategis dan teknis ditempati pejabat atau purnawirawan TNI.
- Komandan Kodim Merauke Letkol Inf Johny Nofriady, membantah bahwa pelibatan militer di Merauke akan mengintimidasi masyarakat lokal. Dia mengatakan, tentara-tentara yang diterjunkan murni untuk membantu pembukaan lahan untuk pangan.
- Sepanjang Mei-Desember 2024, Yayasan Pusaka mencatat kawasan PSN Merauke telah kehilangan hutan, kerusakan tanah dan rawa seluas lebih dari 6.000 hektar, serta menyebabkan banjir hebat di daerah ini. Sejumlah perusahaan, juga disebut telah lakukan pembukaan lahan skala besar.
Proyek Strategis Nasional (PSN) pangan di Merauke, Papua Selatan terus jadi sorotan. Komnas HAM baru mengeluarkan rekomendasi dan mendorong pemerintah untuk evaluasi proyek pangan dan energi di Merauke ini untuk memastikan partisipasi masyarakat adat.
Organisasi masyarakat sipil pun menyuarakan kritik atas proyek yang melibatkan TNI ini. Mereka menilai kondisi ini akan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan melegitimasi kerusakan lingkungan yang justru berisiko memperparah krisis pangan masa depan.
Surat Komnas HAM yang Mongabay terima, menyatakan, ada risiko pelanggaran HAM dalam PSN Merauke. Meliputi hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas ketahanan pangan, hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta hak atas rasa aman.
Selain merekomendasi evaluasi PSN Merauke ini, Komnas HAM juga menekankan perlu kebijakan lebih jelas untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam menghadapi ekspansi investasi di Merauke.
Surat bernomor 189/PM.00/R/III/2025 yang diterbitkan 17 Maret 2025 itu untuk Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke. Komnas HAM menilai kedua pemerintah daerah itu belum optimal melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan dan pelaksanaan PSN Merauke.
Surat itu menyorot dua hal penting. Pertama, proyek ini secara hukum bertentangan dengan beberapa regulasi nasional yang mengatur pengelolaan dan perlindungan masyarakat adat. Seperti Undang-undang Nomor 41/ 1999 tentang Kehutanan yang mengharuskan izin dan konsultasi dalam pemanfaatan hutan adat. Dalam pelaksanaannya, PSN Merauke tidak memerhatikan prosedur itu.
Juga, UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. PSN Merauke tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses itu.
“Proyek ini juga tidak selaras dengan standar yang ditetapkan Konvensi ILO Nomor 169 tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan Tribal,” tulis surat itu.
Meski belum meratifikasi, tapi Komnas HAM menilai setiap kebijakan yang berdampak pada masyarakat adat harus memerhatikan prinsip itu.
Kedua, ada konflik regulasi dalam sistem perizinan tanah. Ketidakjelasan status kepemilikan hak ulayat serta pemetaan lahan yang hanya partisipatif oleh perusahaan membuka peluang penyalahgunaan hak guna usaha (HGU). Ini berisiko merugikan masyarakat adat yang turun-temurun mengelola dan bergantung pada lahan untuk kehidupan mereka.
Komnas HAM menilai, perlu pendekatan lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia dalam proses perizinan dan implementasi proyek, agar hak-hak masyarakat adat terjamin.
Dalam surat itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi pada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam pelaksanaan proyek, melakukan pemetaan tanah ulayat dengan partisipasi masyarakat, pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat, meningkatkan transparansi dalam proses penetapan HPK dan HPL, serta memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat.
Uli Parulian Sihombing, Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM menyatakan, Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada dua pihak yaitu KATR/BPN dan Pemerintah Papua Selatan serta Kabupaten Merauke.
“Aduannya soal dugaan pelanggaran hak warga atas tanah ulayat, tentu yang berwenang menyelesaikannya adalah KATR/BPN,” katanya.
Untuk rekomendasi ke Pemerintah Papua Selatan dan Pemerintah Merauke, katanya, guna memastikan ada langkah-langkah penghormatan, dan perlindungan masyarakat adatnya.
Rekomendasi kepada KATR/BPN antara lain, melakukan pemetaan hak ulayat, melibatkan masyarakat adat dalam keputusan tata ruang dan konsesi tanah. Juga, menghentikan pembebasan tanah sepihak, dan merevisi kebijakan terkait HGU dan konsesi perusahaan.
Sedangkan rekomendasi Pemerintah Papua Selatan dan Kabupaten Merauke, antara lain, memastikan keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan proyek, pemetaan tanah ulayat secara partisipatif, menerbitkan regulasi perlindungan wilayah adat. Juga, meningkatkan transparansi dalam penetapan kebijakan di wilayah adat seperti penetapan kawasan hutan, dan memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat.
Teddy Wakum, Direktur LBH Papua Merauke menyatakan, PSN Merauke tidak hanya harus evaluasi tetapi juga setop sementara. Menurut dia, sudah terjadi pelanggaran HAM karena PSN Merauke.
“Komnas HAM terlalu berhati-hati dan takut untuk menyatakan terjadi pelanggaran HAM. Bahasanya semua masih berpotensi pelanggaran HAM, padahal jelas-jelas sudah terjadi.”
Saat ini, LBH Merauke mendampingi masyarakat adat dengan tanah diambil sepihak oleh pemerintah.
Pemerintah, katanya, harus mempertimbangkan Papua sebagai daerah otonomi khusus.
“Hak masyarakat adat diatur dalam UU Otsus. Masa peraturan presiden dan permenko diikuti, padahal UU Otsus ada. Peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atas. Dalam hierarki UU, UU dulu baru peraturan lain di bawahnya.”
Gubernur maupun Wakil Gubernur Papua Selatan belum merespon upaya wawancara rekomendasi Komnas HAM ini. Uli Parulian menyatakan, akan terus memantau respon pemerintah.
“Kami akan meminta informasi kepada Pemprov Papua, Pemkab Merauke, dan KATR/BPN, serta memantaunya melalui sumber-sumber lainnya termasuk media.”

Pelibatan militer
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, organisasi yang aktif mendampingi masyarakat adat di Papua, dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2024, menyebut, keterlibatan militer di PSN Merauke berlangsung dalam berbagai arena.
Misal, pada 2 Oktober 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto meresmikan lima Batalyon Infanteri (Banif) Penyangga Daerah Rawan (PDR) di wilayah Papua, dua di antaranya ditempatkan di Papua Selatan.
Kala itu, Panglima TNI menyatakan, pembentukan batalyon itu khusus mendukung keamanan dan pembangunan di daerah rawan. Juga, dalam tugas dan peran mendukung ketahanan, keamanan dan mendorong pembangunan masyarakat.
Natasha Devanand Dhanwani, peneliti Yayasan Pusaka, dalam diskusi “Membincang Situasi Papua Terkini” memperkirakan, setidaknya terdapat 2.000 tentara yang tergabung dalam lima Batalyon itu.
Kajian Pusaka mendapati, sejumlah posisi strategis dan teknis ditempati pejabat atau purnawirawan TNI. Dia contohkan, Letjen (Purn) TNI Muhammad Herindra, yang saat itu menjabat Wakil Menteri Pertahanan, menjadi penanggung jawab pembangunan jalan dan infrastruktur pendukung swasembada pangan.
Dalam tingkat yang lebih teknis, katanya, Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah pimpinan Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramdhani, mengerahkan kekuatan militer dalam program optimalisasi lahan pertanian dan cetak sawah.
Natasha bilang, keterlibatan militer makin luas dan mendalam hasil dari normalisasi operasi militer selain perang. Saat bersamaan, pemerintah terus membingkai narasi pangan sebagai masalah vital yang berkaitan persoalan bangsa dan negara.
“Hal ini menciptakan rasa takut yang mengintimidasi bagi orang atau marga, berefek pada penghancuran kendali masyarakat atas tanah mereka, dan menciptakan subjek yang patuh,” katanya Maret lalu.
Faisal Irfani, dari The Gecko Project mengatakan, pembentukan lima batalyon baru jadi pendorong investigasi liputan bertajuk “Fear and Raides in Papua”. Investigasinya menemukan, pengiriman ribuan tentara ke Merauke dominan usia muda, rentang 17-21 tahun, dan tidak punya pengalaman menangani proyek pangan.
Selain itu, katanya, berdasarkan penuturan warga, banyak tentara di berbagai titik dan bersenjata lengkap. Mereka menilai kehadiran tentara sebagai cara untuk membungkam protes-protes masyarakat setempat.
“Ini pertunjukan kekuatan negara terhadap warganya sendiri di Papua,” katanya dalam satu diskusi.
Letkol Inf Johny Nofriady, Komandan Kodim Merauke, membantah pelibatan militer di Merauke akan mengintimidasi masyarakat lokal. Dia mengatakan, tentara-tentara yang mereka terjunkan murni untuk membantu pembukaan lahan untuk pangan.
“Saya mengerahkan mahasiswa, saya mengerahkan petani. Belum tentu ada yang mau ke hutan. Siapa yang mau ke sana? Yang mau ke sana dan digerakkan memang pasukan (TNI),” katanya dikutip dari BBC Indonesia.
Johny merasa, warga tidak mempermasalahkan kehadiran TNI. Penolakan, lebih karena ketidakmengertian tentang pelaksanaan program PSN.

Ketidakadilan PSN
PSN Merauke terbagi dalam tiga proyek. Pertama, optimalisasi lahan (oplah) melalui mekanisasi pertanian, pembuatan saluran irigasi, pemberian alat mesin pertanian (Alsintan). Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Pertanian (Kementan), pemerintah daerah, TNI dan petani, mengelola proyek ini pada lahan seluas 40.000 hektar, dan akan diperluas hingga 100.000 hektar.
Kedua, proyek cetak sawah baru Kemenhan dan Kementan kelola seluas 1 juta hektar. Ketiga, proyek pengembangan tebu dan bioetanol melibatkan 10 perusahaan, dengan lahan seluas 637.420 hektar.
Bagi Natasha, PSN di Merauke bentuk ketidakadilan ekstraktivisme atau perampasan sumber daya alam dalam volume besar dan tinggi. Penguasa modal terus dapat keuntungan, sedangkan masyarakat rugi.
Sepanjang Mei-Desember 2024, Yayasan Pusaka mencatat, PSN Merauke kehilangan hutan, kerusakan tanah, dan rawa seluas lebih dari 6.000 hektar, serta menyebabkan banjir hebat.
Sejumlah perusahaan juga sudah membuka lahan skala besar. PT Global Papua Abadi, misal, membuka sekitar 3.108 hektar hutan dataran rendah di Distrik Tanah Miring dan Jagebob. Kemudian, PT Murni Nusantara Mandiri membuka 105 hektar di sekitar Distrik Jagebob.
Dia bilang, PSN di Merauke turut menggusur dan merusak sekitar 18 dusun tempat berburu, mencari makan, kampung lama dan tempat sakral warga Kampung Wanam.
“Apa yang dimaksudkan di sini, bahwa deforestasi yang digambarkan di peta itu bukan tempat kosong.”

Tak berbasis kebudayaan
Cahyo Pamungkas, Profesor Riset pada Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang hadir dalam diskusi itu mengatakan, pentingnya evaluasi proyek PSN di Merauke, yang tidak berdasarkan pendekatan kebudayaan dan antropologi.
Dia bilang, antara 1951-1953, Pemerintah Belanda menggagas proyek beras di Kumbe. Mereka justru lebih dahulu datangkan antropolog untuk bikin kajian awal. Setelah itu Pemerintah Belanda mengumpulkan dan mendengar pendapat tokoh-tokoh masyarakat tentang rencana proyek beras di lahan seluas 5.000 hektar.
“Jadi dia (Pemerintah Belanda) mendengar, ada dialog. Sedangkan di PSN dan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estated) tidak ada dialog. Sehingga, ke depan, proyek PSN perlu dievaluasi.”
Menurut dia, prinsip FPIC atau persetujuan awal tanpa paksaan, seturut hasil konvensi ILO, harus mendasari proyek pembangunan yang berdampak pada masyarakat adat.
“Masyarakat adat harus memberikan persetujuan, diminta berdialog dan memberikan persetujuan secara sukarela bahwa tanahnya akan dimanfaatkan oleh korporasi.”
Ketentuan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) juga mengingatkan hak masyarakat adat. Serta UUD 1945 Pasal 18B yang menyatakan ‘negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI’.
Cahyo juga mengingatkan pentingnya mendorong pengesahan UU Masyarakat Adat serta perda menyangkut pemetaan masyarakat hukum adat, tanah adat dan ulayat di Papua. Dia juga mendorong kodifikasi hukum adat dalam bentuk peraturan kampung.
“Karena hukum adat ini kan living law, hukum yang ada dalam kehidupan sehari-hari tapi tidak dikodifikasi. Sehingga masyarakat adat tidak punya pijakan.”
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, tidak ada analisis kredibel membuat proyek PSN di Merauke berisiko mengulangi kegagalan food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng).
“Di Kalteng, karena tidak ada analisis kredibel terkait kesesuaian lahan, sehingga militer pendekatannya adalah hutan dibuka saja. Apa yang terjadi di Merauke sama saja,” katanya ketika Mongabay, hubungi Rabu (9/4/25).
Menurut dia, keseluruhan proses pengadaan lahan untuk program pangan berkaitan erat dengan kesehatan ekosistem. Artinya, praktik pembukaan hutan skala besar, justru akan menimbulkan krisis iklim dan menurunkan produksi di masa depan.
Arie meragukan narasi pemerintah bahwa PSN Merauke sebagai solusi untuk antisipasi krisis pangan.
“Justru pertanian berbasis komunitas dan yang dikembangkan dengan pengetahuan lokal lebih terbukti menjawab kemandirian pangan.”

*****
Cetak Sawah Merauke, Klaim Hadapi Krisis Pangan Malah Ancam Sistem Pangan Lokal