- Kabupaten Kepulauan Mentawai dikenal sebagai salah spot utama penghasil gurita di Sumatera Barat (Sumbar). Namun, belakangan, hasil tangkapan turun drastis diduga akibat tangkapan berlebihan. Nelayan pun sepakat terapkan buka tutup dan beralih mencari teripang karena harganya lebih mahal.
- Idris, salah satu pengepul gurita di Sinaka, Pulau Simatapi ungkap, pada 2024, ia bisa mendapat 500-600 kilogram gurita dari para nelayan. Tetapi awal tahun ini, angkanya turun hingga rata-rata hanya mendapat 80-200 kilogram. Ia pun berpotensi merugi karena biaya pengiriman sama.
- Yuafriza, Program Manager Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat YCMM mengatakan, penerapan jeda tangkap sangat penting untuk mendukung praktik perikanan berkelanjutan. Sebab, metode tersebut memberi kesempatan bagi sumber daya ikan untuk berkembang biak secara sempurna.
- Harfiandri, peneliti perikanan Universitas Bung Hatta sebut, ada dua jenis gurita yang menjadi tangkapan nelayan di Mentawai. Yakni, gurita batu hitam dan pasir putih yang satu ekornya bisa mencapai 7 kilogram. Sebagai komodatas perikanan paling dicari setelah udang, sangat penting untuk menjaga keberlanjutannya.
Produksi gurita Desa Sinaka, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) terkenal sejak lama. Belakangan, hasil tangkapan nelayan turun drastis kemungkinan dampak penangkapan berlebih (overfishing). Para nelayan pun putuskan terapkan jeda tangkap gurita ini.
Idris, pengepul gurita di Sinaka, Pulau Simatapi merasakan betul penurunan tangkapan gurita. Berbeda dengan awal 2024, awal 2025, gurita dari para nelayan turun drastis. Selama tiga bulan, dia hanya dapat 80-200 kilogram setiap bulan. “Padahal, tahun lalu bisa 500-600 kilogram setiap bulannya,” katanya.
Pada Januari, 80 kilogram gurita dia tampung dari para nelayan. Sedikit bertambah di bulan berikutnya sekitar 100 kilogram lebih. Jumlah yang terlalu sedikit padahal ada enam nelayan yang bermitra dengannya.
Idris pun tak tahu pasti apa yang menyebabkan hasil tangkapan para nelayan turun. Namun, dia menduga karena penangkapan berlebih atau ekosistem rusak. “Ya mungkin setok berkurang karena penangkapan jalan terus, tidak ada berhenti-berhentinya.”
Penurunan tangkapan gurita membuat pendapatan Idris pun turun. Sebab, gurita yang dia kirim jauh lebih sedikit, meski biaya operasional sama. Untuk mengatasi itu. gurita-gurita dia kumpulkan terlebih dulu sembari menunggu tambahan. Setelah seminggu, tepat saat persediaan es batu juga menipis, dia mengirim ke Pelabuhan Sikakap untuk bawa ke pasar di Kecamatan Pagai Selatan.
Sarti, pengepul lain di Dusun Korit Buah ungkap hal sama. Dia tak tahu ihwal apa yang sebabkan tangkapan gurita turun drastis dalam beberapa bulan ini. Sebagai pengepul, dia juga menanggung biaya operasional para nelayan dan baru bayar saat mereka kembali melaut.

Dampak cuaca?
Sutrisno, nelayan Sinaka cerita, cuaca buruk, seperti hujan terus menerus juga ikut menyebabkan tangkapan gurita turun. “Kadang malam sampai pagi hujan, kita sudah tidur, kadang pagi sampai sore hujan terus,” katanya.
Karena tangkapan gurita sedikit, dia pun terpaksa mencari sualo atau teripang sesekali. Apalagi, harga pun terbilang mahal. Untuk satu kilogram teripang kering, kata Sustrisno, harga bisa Rp750.000-Rp1.200.000.
Sutrisno biasa mendapat gurita dengan jumlah besar. Dia bilang, pada 2018, saat harga gurita Rp65.000 per kilogram, bisa mendapat Rp500.000 setiap hari.
Kala itu, hampir semua nelayan berlomba menangkap gurita. Hasil tangkapan biasa mereka simpan dalam cold box untuk kemudian kirim ke Sikakap. Proses pengiriman memakan waktu sekitar dua jam. Dari Sikakap, gurita-gurita itu kirim ke sejumlah tempat, seperti Padang, Sumatera Utara (Sumut) sampai Jakarta.
Putra juga ceritakan hal serupa. Selama beberapa bulan ini, hanya bisa menangkap enam sampai sembilan gurita setiap bulan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, hasil segitu hanya dalam sehari melaut.
Jertianus, Ketua Kelompok Nelayan Sinaka menduga, tangkapan gurita awal tahun ini turun tak lepas dari massifnya penangkapan tahun lalu. Kebetulan, selama enam bulan terakhir 2024, perairan Sinaka buka kembali setelah musim jeda tangkap. Buntutnya, para nelayan cenderung berlomba menangkap gurita.
Bahkan, gurita-gurita masih kecil turut ditangkap. “Enam bulan terakhir di 2024 tangkapan lumayan banyak. Sekarang mungkin masih kecil-kecil. Padahal, pengepul juga tidak terima yang kecil.”

Terapkan jeda tangkapan
Kekhawatiran berkurangnya tangkapan gurita sejatinya nelayan rasakan sejak lama. Karena itu, pada 2023, para nelayan Desa Sinaka sepakat memberlakukan jeda tangkap di perairan Pulau Betumonga dan Pulai Soumang mulai tahun ini.
Catatan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), selain Dusun Sinaka dan Korit Buah, para nelayan gurita itu banyak tersebar di Dusun Mangka Ulu, Mangka Baga, Matotonan, Boriai, Kosai Baru, Kosai Batsagai dan juga Mabolak.
Yuafriza, Program Manager Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat YCMM mengatakan, penerapan jeda tangkap sangat penting untuk mendukung praktik perikanan berkelanjutan. Sebab, metode tersebut memberi kesempatan bagi sumber daya ikan untuk berkembang biak secara sempurna.
Saat inisiatif itu mulai, nelayan sempat merasa keberatan tetapi, melalui serangkaian diskusi dan edukasi, bisa memahaminya. “Mereka akhirnya paham pentingnya melakukan pengelolaan perikanan untuk keberlanjutan. Mereka juga mulai punya kesadaran untuk mengelolanya secara partisipatif atau bersama-sama,” katanya.
Meskipun begitu, penutupan area tangkap bukan tanpa tantangan. Pasalnya, meski sudah ada Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) Si Jagokoat, pengawasan terkendala sarana dan prasarana yang belum memadai.
Yuafriza mengatakan, kegiatan ini menghadapi tantangan dalam hal pengawasan. Desa sudah memiliki kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) sijagokoat tetapi sarana prasarana patroli belum memadai karena belum ada kapal patroli. ”Sehingga, kegiatan pengawasan belum berjalan maksimal.”
Harfiandri Damanhuri, peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta mengatakan, ada dua jenis gurita jadi sasaran tangkap nelayan di Mentawai, gurita batu hitam dan pasir putih.
Gurita batu hitam memiliki tentakel lebih besar, sedang pasir tentakel lebih kecil dan lebih panjang. Meskipun, kedua jenis gurita ini, berat satu kilogramnya bisa mencapai tujuh kilogram. “Saat saya di Tuapeihat menemukan satu ekor itu tiga sampai empat kilo [gram] per ekor dan panjang sampai 80 sentimeter,” katanya.
Mentawai, katanya, memiliki banyak pulau kecil, terutama di sisi selatan menjadi habitat penting bagi gurita. Sebab, gurita sebagai spesies yang menyukai daerah berpasir,sampai kedalaman hingga 70 meter. Ia juga kerap dijumpai di daerah dengan banyak batu karang.
Makanan famili octopodidae ini adalah udang-udang kecil, kerang-kerang kecil atau kepiting-kepiting kecil. “Dia menarik mangsanya dengan tentakelnya.”

Harfiandri bilang, satu gurita bisa hidup sampai 1,5 tahun. Jadi, nelayan harus sabar jeda tangkap setidaknya sampai enam bulan baru bisa panen.
“Nelayan harus memberikan kesempatan mereka untuk bertelur, tumbuh remaja dan menjadi dewasa. Pada bulan ketujuh nelayan bisa panen.”
Kebijakan jeda tangkap ini, bagus untuk menjaga ekosistem gurita.
Gurita menjadi makanan laut nomor tiga paling dicari setelah ikan dan udang. Pasar komoditas ini tembus hingga luar negeri, kendati pun tidak ada angka pasti berapa volume ekspor komoditas ini dari Sumbar.
Bayu Sisyara, penyuluh perikanan Kecamatan Pagai Selatan, mengatakan, gurita banyak di pesisir timurKkepulauan Mentawai terutama di perairan Desa Makalo dan Sinaka.
“Sedangkan di pesisir barat, lebih terekspose dengan lobsternya,” katanya.
Meskipun begitu, Desa Sinaka lebih potensial karena banyak pulau kecil yang menjadi spot sarang dan penyebaran gurita untuk berkembang biak.
Sebagian besar gurita tangkap manual menggunakan tombak. Namun, ada juga praktik penangkapan tak ramah dengan minyak atau air sabun. Sedangkan pancing, baru mulai populer dua tahun belakangan ini.
*****
Cerita Nelayan Desa Sinaka Tangkap Gurita dengan Cangkang Kerang