Proyek Patimban Bebani Warga Pesisir Jawa Barat

1 day ago 10
  • Pembangunan Pelabuhan Internasional Patimban (PIP), Kabupaten Subang, Jawa Barat kian menambah beban para nelayan dan warga pesisir daerah itu. Di Indramayu, misal, para nelayan asal Desa Ujung Gebang yang sebelumnya terdampak operasional PLTU batubara kini harus merasakan dampak berlipat.
  • Sarjani (45), salah satu tokoh asal Desa Ujung Gebang katakan, mengatakan, pembangunan PIP memperberat kehidupan nelayan setempat. Mereka belum pulih dari dampak PLTU saja belum pulih, kini ditambah lagi dengan proyek pelabuhan.
  • Orang-orang Patimban dari dulu sebagian besar adalah petani dan nelayan yang jarang merantau jauh ke luar daerah. Kehadiran proyek PIP sedikit menyebabkan warga kehilangan akses atas lahan dan sumber daya laut. Sementara uang pengganti yang didapat, tak cukup membeli lahan baru. 
  • Penelitian oleh Irfan Hudori yang dipublikasikan 2021 lalu menunjukkan dari 356,23 hektar lahan untuk area backup pelabuhan, 209,23 hektar merupakan sawah; 113,13 tambak; 18,62 ladang dan sisanya lain-lain. Lahan-lahan itu menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 1.387 buruh tani. 

Pembangunan Pelabuhan Internasional Patimban (PIP), Kabupaten Subang, Jawa Barat kian menambah beban para nelayan dan warga pesisir daerah itu. Di Indramayu, misal, para nelayan asal Desa Ujung Gebang yang sebelumnya terdampak operasional PLTU batubara kini harus merasakan dampak berlipat.

Sarjani,  tokoh asal Desa Ujung Gebang mengatakan, pembangunan PIP memperberat kehidupan nelayan. “Dampak PLTU saja belum pulih, kini ditambah lagi dengan proyek pelabuhan ini,” katanya kepada Mongabay, belum lama ini. 

Sebelumnya, bersama warga dan para nelayan, Sarjani protes pembangunan PLTU Indramayu I  berkapasitas 3 X 330 megawatt (MW). Mereka khawatir, pabrik setrum bertenaga batubara itu berdampak buruk terhadap nelayan dan petani. Warga alami sesak napas dan pendapatan nelayan turun.

Sarjani bilang, pembangunan PLTU dengan cerobong asap raksasa itu mulai dibangun tahun 2007 dengan mengambil luas lahan sekitar 83 hektar. Lokasi berada di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, tetangga Desa Ujung Gebang. Setelah berdiri, warga mulai merasakan dampaknya. 

Di darat, tepatnya di  permukiman, warga banyak alami gangguan pernapasan. Sedangkan di laut, hasil tangkapan nelayan menurun lantaran perairan tercemar oleh ceceran batubara dari kapal. Nelayan juga harus melaut lebih jauh karena lalu lalang kapal angkutan energi berbahan fosil itu. 

“Banyak jaring nelayan rusak karena kena ceceran batubara di laut. Jadi, mereka  terpaksa bergeser lebih jauh setelah ada PLTU dan membuat biaya solar semakin bertambah.”   

Perkampungan nelayan di muara Ujung Gebang, Indramayu. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia.

Penelitian Walhi Jabar tahun 2017 mengonfirmasi cerita Sarjani. Banyak anak di sekitar PLTU I alami Inspeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) diduga karena efek debu halus dari cerobong (fly ash) PLTU. Akibatnya, oran tua harus mengeluarkan biaya lebih untuk berobat ke puskesmas atau klinik.

Selain di permukiman, paparan fly ash juga mencemari lahan pertanian warga. Banyak tanaman kelapa mati sejak PLTU berdiri. Saat kemarau, debu beracun juga kerap menghujani rumah-rumah warga hingga lantai berwarna hitam pekat. 

Protes warga kian meluas bersama para buruh tani dan nelayan udang rebon di Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol. Mereka membentuk gerakan Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). 

Pada 2017, Jatayu bersama LBH Bandung menggugat PLN karena lahan pertanian produktif akan terdampak  pembangunan PLTU Indramayu II  berkapasitas 2 X 1.000 MW dengan dukungan Japan International Cooperation Agency (JICA). Warga pun menang, meski tiga orang alami  kriminalisasi karena memasang bendera Indonesia terbalik. 

Kendati demikian, mereka tak patah arang. Warga dengan dominiasi para buruh tani itu menduduki lahan seluas 270 hektar yang sebelumnya sudah  PLN bebaskan. “Para buruh tani itu rata-rata tak memiliki lahan, maka mata pencaharian satu-satunya hanya bergantung dari lahan pertanian tersebut,” ujar Sarjani.

Mereka menanami kembali lahan dengan berbagai komoditas, seperti,  padi, bawang merah, dan aneka sayuran holtikultura hingga sekarang. Begitu juga nelayan udang rebon, mereka beraktivitas seperti biasa di bibir pantai. Pembangunan PLTU II pun terhenti. 

Meski pembangunan PLTU II berhenti, ancaman kembali datang. Kali ini, dari proyek PIP yang terbangun sejak 2018 dan kemungkinan menelan biaya hingga Rp43,2 triliun itu. Bersama Sarjani, Mongabay berkeliling melihat lebih dekat bagaimana bentang di area yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa itu telah berubah. 

Tampak deretan bangunan semi permanen tempat istirahat para pekerja bertebaran di sana-sini. Pagar dari seng dan baja ringan mengitari komplek, lengkap dengan petugas jaga di pintu portal. Hilir mudik kendaraan para pekerja proyek kerap menerbangkan debu jalanan yang menyeruak. 

Proyek Pelabuhan Internasional Patimban (PIP), Jawa Barat. Foto milik interport.

Alih fungsi lahan

Pesisir Patimban, sejak dulu adalah tempat wisata yang murah. Pantai bersih acapkali menjadi jujugan warga membuang penat untuk berwisata. Semenjak proyek PIP itu mulai, lambat laun kawasan itu mulai berubah.

Deretan toko-toko baru, rumah makan, kafe, kost-kostan hingga rumah-rumah baru juga banyak. Di sepanjang jalan, hilir mudik kendaraan material dan para pekerja proyek.

Masih banyak warga mengunjungi pantai tetapi  tak sebanyak dulu. Pun demikian dengan para pedagang, tak seperti sebelumnya. Sebabnya, proyek pelabuhan di tengah laut menjadikan ombak yang datang makin deras. 

Untuk mencegah hempasan ombak, para pedagang terpaksa memasang karung berisi material, tepat di pinggir pantai. Seperti Tursi, penjual gorengan di Pantai Patimban, lakukan. Tetap saja hempasan ombak begitu keras acapkali menjadikan dagangan basah kuyup. 

“Dulu, air tidak sampai sini. Setelah ada pemecah ombak di tengah, jadinya air malah naik kesini terus,” kata perempuan 57 tahun ini.

Tak hanya warung tempatnya jualan, jalan di pinggir pantai pun kini turut tergerus. 

Sejak ada penangkal ombak tiga tahun silam, arus laut menjadi makin deras menghantam daratan. Sebelum ada tumpukan batu pemecah ombak itu, ada lebih 50 warung berdiri di sepanjang pesisir pantai, tersisa 20-an warung karena dihempas gelombang. 

Tursi sudah mendengar kabar rencana pembangunan PIP itu dari dulu, bahkan ketika orang tuanya masih ada. Ia yang waktu itu berjualan di sisi barat kena gusur hingga kemudian pindah ke timur. “Digusur untuk jalan,” terang ibu tiga anak ini. 

Seturut ingatannya, sebelum ada proyek pelabuhan ini, pantai banyak tanaman kelapa tetapi  kini tak ada lagi karena terdampak proyek. Tursi bilang, dapat ganti rugi warung Rp30 juta dan luas tanah 800 meter dapat Rp225 juta. 

Di tempat barunya sekarang, Tursi berjualan sekitar 10 tahun lebih bersama suaminya. Kadang anaknya bantu. Saat awal menempati area itu, Tursi  membayar  Rp2.000.000 untuk tanah 4,5 meter yang memanjang ke belakang. 

Sepengetahuan Tursi, banyak sawah dan kebun warga yang telah dibebaskan untuk kepentingan pelabuhan Rp300.000-320.000 per meter. Sedangkan tambak, Rp150.000- Rp200.000. Proses pembebasan masih menyisakan sebagian.

Pembangunan Pelabuhan Patimban memicu perubahan arus gelombang di sekitar. Tampak pedagang di Pantai Patimban memasang karung penahan ombak. Foto: Toto Sudiarjo/Mongabay Indonesia.

Orang-orang Patimban dari dulu sebagian besar adalah petani dan nelayan. Mereka juga jarang merantau jauh ke luar daerah. Kehadiran proyek PIP menyebabkan sebagian warga kehilangan akses atas lahan dan sumber daya laut. Sementara uang pengganti, tak cukup membeli lahan baru. “Banyak yang akhirnya kerja di proyek,” katanya.

Tursi pun sempat didatangi petugas yang mendata para pedagang. Dia hanya dapat pilihan antara minta ganti rugi atau tetap berdagang di sana. Kalaupun harus pindah, akan ada tempat baru untuk berdagang, meski belum jelas lokasinya. 

Dia tak mau ambil pusing. Dia  hanya ingin berdagang dengan tenang. “Pengennya sih tetap dagang, soalnya kalau ganti rugi mau dimana lagi dagangnya, gak ada lagi.” 

Penelitian Irfan Hudori rilis 2021 menunjukkan, dari 356,23 hektar  area backup pelabuhan, 209,23 hektar merupakan sawah; 113,13 tambak, 18,62 ladang, sisanya lain-lain. Lahan-lahan itu menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 1.387 buruh tani. 

“Sebelum adanya alih fungsi lahan, kehidupan masyarakat di Patimban cukup solid dan erat. Tetapi, kemudian berubah setelah alih fungsi untuk pelabuhan. Masyarakat cenderung lebih profit oriented.” 

*****

Nelayan Pesisir Jawa Barat Terhimpit Proyek Pelabuhan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|