- Upas bukan sembarang tumbuhan. Orang Eropa punya gambaran mengerikan tentang pohon dengan nama latin Antiaris toxicaria ini. Terutama, bagi mereka yang hidup pada abad ke-18. Mereka menyebutnya, pohon racun di Pulau Jawa.
- Gambaran mengerikan ini sampai mengilhami karya seni dan sastra. Ada sebuah lukisan berjudul The “Upas, or Poison Tree, in the Island of Java” (1820) karya Francis Danby.
- Namun, ilmu pengetahuan berkembang dan akhirnya mitos berganti logos. Manusia kini tahu kandungan racunnya dan upas terus menjadi bahan kajian bagi kesejahteraan manusia.
- Beberapa senyawa kimia dari tumbuhan tersebut berpotensi sebagai obat, sekaligus pestisida. Masih adanya kandungan fitokimia pada bagian yang biasanya dibuang, seperti kulit kayu atau daun, seharusnya dimanfaatkan. Selain bernilai secara ekonomi, sekaligus juga lingkungan karena bisa digunakan sebagai bahan pestisida alami.
Upas bukan sembarang tumbuhan. Pohonnya tinggi, bisa jadi peneduh. Batangnya dapat dijadikan papan dan buahnya bisa dimakan. Tapi getahnya sangat beracun. Orang Eropa bahkan punya gambaran mengerikan tentang pohon dengan nama latin Antiaris toxicaria ini. Terutama, bagi mereka yang hidup pada abad ke-18.
“Ada pohon racun di Pulau Jawa, yang kabarnya, gara-gara limbahnya, telah memusnahkan penduduk negeri itu sejauh 12 atau 14 mil di sekitar tempat tumbuhnya,” tulis sebuah artikel di London Magazine, 1783. Artikel berdasarkan laporan seorang dokter, NP Foersch, yang ditugaskan ke Jawa oleh perusahaan Belanda.
Laporan itu menambahkan, semua hewan yang hidup di air, darat, maupun udara mati akibat limbah pohon racun itu. Semua jenis sayuran juga mati. Tanah di sekitarnya menjadi tandus, dihiasai kerangka manusia dan hewan.
Baca: Pisonia, Pohon Pembawa Kematian Bagi Ribuan Burung

Gambaran mengerikan ini sampai mengilhami karya seni dan sastra. Ada sebuah lukisan berjudul The “Upas, or Poison Tree, in the Island of Java” (1820) karya Francis Danby. Seniman Inggris itu menggoreskan dampak keberadaan pohon upas pada sebuah lukisan cat minyak berukuran sekitar 160×235 cm.
Sementara Erasmus Darwin, kakek dari Charles Darwin, menulis puisi berjudul “The Botanic Garden” (1798). Di dalamnya ada bait yang berbunyi “Di mana lautan kaca memantulkan senyum sumringah, mengelilingi pantai hijau pulau kelapa Jawa… Upas ganas bertahta, pohon hydra pembawa maut.” Hydra dalam mitologi Yunani adalah ular berkepala banyak.
Namun ilmu pengetahuan berkembang dan akhirnya mitos berganti logos. Manusia kini tahu kandungan racunnya dan upas terus menjadi bahan kajian bagi kesejahteraan manusia.
Foto: Ubi Hutan Sebagai Bahan Pangan di Samar Kilang

Senyawa beracun
Upas merupakan tanaman dari Genus Moraceae yang memiliki racun pada getah kulit kayunya, mengutip tulisan Lydia Natalia Endewip dan Mimin, di Warta Kebun Raya, terbitan Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI (2019). Nama lokal lainnya, ipuh ipoh, ancar, juga basuoh.
“Penelitian mengenai kandungan racun Antiaris toxicaria mulai dilakukan pada 1811, yang diawali dari ketertarikan Raffles. Dia kemudian meminta Dr. Thomas Horsfield, seorang naturalis asal Amerika di Surakarta, untuk membuat laporan awal pohon ini,” tulisnya.
Pohon upas termasuk pohon peluruh, yaitu akan meluruhkan daunnya pada waktu tertentu. Tingginya sekitar 25-50 m, dengan diameter batang hingga 40 cm. Kulit kayu berwarna abu-abu kecokelatan. Getahnya berwarna putih, kuning, hingga kecokelatan jika terpapar udara.
Daunnya berbentuk oval hingga bulat memanjang. Permukaan daun bagian atas kasap karena ada bulu-bulu kasar. Sementara bagian bawah lebih halus. Saat anakan, daun berwarna cokelat kemerahan, dengan ujung tumpul hingga meruncing. Bunga jantan dan betina ada dalam satu pohon.
Buahnya bulat berwarna kemerahan, dengan satu biji di dalamnya. Panjangnya sekitar 1,5 cm. Uniknya, meski getahnya mematikan, buahnya bisa dimakan. Di alam, buah upas terutama menjadi makanan burung, kelelawar, dan monyet. Mereka turut menyebarkan biji tanaman ini.
Baca: Ikan Beracun Ini Ternyata Memiliki Nilai Ekonomi Tinggi

Masih mengutip tulisan Lydia, ada dua senyawa khusus yang terdapat pada getah dan biji upas. Masing-masing merupakan racun yang meningkatkan kekuatan output jantung dan laju kontraksi, serta menyebabkan kegagalan pemompaan jantung yang bisa berujung pada kematian.
Menariknya, saat dicobakan pada sel kanker manusia, kedua senyawa tersebut mampu meracuni sel-sel kanker. Baik sel kanker leukimia, usus, maupun servik.
Di Afrika, masyarakat lokal memanfaatkan getah upas untuk mengobati luka, eksim, dan kusta. Di Asia Tenggara, rebusan kulit kayunya dimanfaatkan untuk pengobatan kanker, pengurang rasa sakit, obat cacing, dan hepatitis. Sementara rebusan daun dan akarnya, mengobati penyakit saraf seperti epilepsi.
Masyarakat secara tradisional menggunakan getah yang mengandung racun untuk berburu. Caranya, getah dioleskan ke mata panah atau sumpit. Selain itu, getah juga digunakan untuk meracuni ikan di sungai.
Baca juga: Mengenal Belalang Setan, Serangga Beracun yang Penting untuk Lingkungan

Bahan baku obat herbal
Sementara itu penelitian yang dilaporkan Tjatjuk Subiono, dosen Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur bersama tim pada 2022, menemukan adanya kandungan alkaloid, saponin, tanin, phlobatanin, flavonoid, dan terpenoid pada daun, kulit kayu, dan akar pohon upas.
“Dalam proses pemanenan kayu A. toxicaria, daun, ranting, kulit kayu, dan akar hanya menjadi limbah yang berserakan di lantai hutan. Di negara-negara tujuan ekspor, serasah tanaman ini masih sangat bernilai sebagai bahan baku berbagai obat herbal,“ tulis Tjatjuk Subiono, mengemukakan alasan penelitiannya waktu itu.
Beberapa senyawa kimia dari tumbuhan tersebut berpotensi sebagai obat, sekaligus pestisida. Masih adanya kandungan fitokimia pada bagian yang biasanya dibuang, seperti kulit kayu atau daun, seharusnya dimanfaatkan. Selain bernilai secara ekonomi, sekaligus juga lingkungan karena bisa digunakan sebagai bahan pestisida alami.
Sebelumnya, penelitian yang dilaporkan Tjatjuk Subiono dan tim pada 2017 menemukan ekstrak kasar dari getah upas yang berpotensi sebagai biorodentisida. Percobaan pada tikus, pemberian getah dengan kadar 5-50 mg per kg sangat mematikan atau sangat beracun. Ini menggambarkan efektivitas getah upas sebagai racun tikus.
Dengan memanfaatkan limbah tumbuhan ini, petani dapat mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia yang merusak tanah. Sementara industri, bisa menghasilkan produk ramah lingkungan.