- Di Sumatera Selatan, perempuan memegang peranan penting dalam pengelolaan hasil lahan basah—mengolah, menjual, dan menjaga pengetahuan kuliner lokal berbasis ikan dan tanaman rawa.
- Kerusakan lahan basah akibat industrialisasi (seperti perkebunan sawit) menyebabkan berkurangnya populasi ikan lokal, mengancam penghidupan dan budaya masyarakat, khususnya perempuan.
- Ikan-ikan seperti belida, lais, gabus, dan toman makin langka atau dilindungi. Akibatnya, masyarakat beralih ke ‘ikan sampah’ yang kurang bernilai dan tidak layak konsumsi.
- Kuliner khas seperti pempek, pekasem, dan pindang semakin sulit diproduksi karena bahan baku seperti ikan dan sagu semakin langka akibat rusaknya lahan basah.
Seorang ibu di Sumatera Selatan menjadi potret nyata bagaimana peran perempuan sangat kuat dalam menopang ekonomi keluarga melalui pemanfaatan hasil lahan basah. Ia menghidupi tiga orang anaknya dengan berdagang ikan.
Setiap pagi, ia membuka lapak di pasar untuk menjual hasil tangkapannya. Ikan-ikan yang tidak terjual tidak serta merta dibuang, melainkan diolah kembali menjadi produk bernilai, seperti ikan asin, ikan asap, atau difermentasi menjadi pekasem.
Kisah ini mencerminkan betapa eratnya hubungan antara lahan basah, hasil perikanan, dan peran perempuan. Di Sumatera Selatan, dasar pengetahuan dan ekonomi dari ekosistem lahan basah berada di tangan perempuan.
Ketika lahan basah mengalami kerusakan, yang hilang bukan hanya sumber pangan, tetapi juga kekuatan perempuan sebagai penjaga ekonomi keluarga dan pelestari tradisi kuliner lokal.
Jika ingin bicara secara lebih dalam, kerusakan lahan basah sejatinya adalah bentuk penghancuran peradaban. Bukan hanya menghancurkan warisan masa lalu, tapi juga mengancam keberlangsungan hidup generasi yang akan datang.
Sebab pengetahuan lokal—khususnya di wilayah seperti Sumatera Selatan -sangat dipengaruhi oleh budaya bahari, yaitu budaya yang tumbuh dari kedekatan dengan air, pesisir, dan sungai. Saat pengetahuan berbasis lahan basah ini musnah, dampaknya sangat nyata.
Membicarakan lahan basah dan bagaimana masyarakat lokal bergantung pada ekosistemnya, program Bincang Alam mendalaminya melalui diskusi bertajuk ‘Menjaga Lahan Basah, Melestarikan Cita Rasa Kuliner Ramadhan’ yang diadakan pada 27 Maret 2025, mengundang Taufik Wijaya, seorang pemerhati budaya dan lingkungan hidup Sumatera Selatan.
Berikut adalah rangkuman diskusi, yang tata bahasanya telah disesuaikan guna penulisan artikel ini.
Mongabay: Apa yang menjadi panganan tradisional lokal bagi masyarakat Sumatera Selatan?
Taufik Wijaya: Masyarakat yang tinggal di lahan basah Sumatera Selatan, mereka hidup terhubung dengan daratan dan perairan. Jadi ikan dan beberapa sejumlah tanaman yang ada di lahan basah itu menjadi sumber pangan. Dari pengolahan ikan dan beberapa tanaman di lahan basah seperti aren, sagu, kelapa, beragam itu menjadi kuliner.
Saat terjadi akulturasi dengan para pendatang dari Tiongkok, Timur Tengah, India, dan Eropa keberagaman itu melahirkan beragam kuliner yang khas dan inovatif. Pindang menjadi contoh makanan yang sangat bercita Asia Tenggara. Ada rasa pedasnya seperti di Vietnam, Thailand.
Jadi daerah seperti Palembang dan Asia Tenggara itu makanannya sangat terbuka dan tema soal hubungan dengan lahan basahnya sangat besar.
Ikan-ikan yang banyak bisa dibuat ikan sale (ikan asap), ikan asin, terus di fermentasi jadi pekasem dan beragam kuliner yang salah satunya adalah pempek.
Pempek itu bahan baku awalnya menggunakan sagu. Sagu itu kan tanaman budidaya yang memang banyak dulu di Sumatera Selatan. Saus yang dipakai juga menggunakan tanaman lokal seperti gula aren.
Tapi dalam perjalanan ke sini, ketika ditemukan tepung tapioka misalnya, dan harganya lebih murah, dan sagu sudah jarang dan sudah tergantikan.

Mongabay: Seperti apa bentuk ekosistem lahan basah yang ada di sekitar Sumatera Selatan khususnya di Palembang?
Taufik Wijaya: Lahan basah berupa daerah kawasan rawa, gambut, sungai, danau dan mangrove. Jadi dari pesisir pantai sampai ke daerah yang ada air. Yang disebut lahan basah adalah kawasan yang minimal satu tahun tergenang air, seperti rawa gambut atau yang selamanya terendam air seperti sungai atau danau.
Jadi masyarakat yang tinggal di lahan basah ini juga mengenal daratan. Kalau di Sumatera Selatan kita sebut sebagai daerah talang. Daratan-daratan itu membentuk delta-delta kadang seperti pulau-pulau kecil diantara rawa itu atau ditengah-tengah sungai.
Di pulau-pulau inilah yang biasanya pinggirannya dijadikan masyarakat sebagai tempat pemukiman. Tapi lahan basahnya juga dijadikan sumber kehidupan dan sarana transportasi.
Berdasarkan bukti arkeologi di Sumatera Selatan ini sudah berlangsung jauh sebelum abad Masehi, sejak Bangsa Astronesia. Hubungan masyarakat dengan lahan basah ini melahirkan banyak tradisi budaya, teknologi perkapalan, arsitektur, rumah panggung, termasuk juga kuliner panganan tadi.

Mongabay: Seperti apa masyarakat lokal Sumatera Selatan menggunakan dan mengolah bahan baku lokal?
Taufik Wijaya: Ini foto seorang Ibu di Desa Bangsal. Ibu ini sedang nangkul ikan, dimana dulu ikan yang di dapatkan segar-segar, bervariasi dan lebih besar. Ikan ini bukan hanya untuk dimakan, tapi juga dijadikan bahan baku untuk kerupuk kemplang.
Dengan kondisinya dan bentang alam di Bangsal yang saat ini sudah rusak karena banyak kebun sawit, ikan-ikannya yang tersisa adalah ‘ikan-ikan sampah’.
Ibu ini dari kecil hidupnya sangat tergantung dengan lahan basah. Dia bukan hanya memiliki kemampuan menangkul namun bisa menggunakan alat tangkap yang lain. Ketika lahan basah berubah, berubah pula penghidupannya, bukan hanya ekonomi tapi juga sumber pangan.

Foto di atas ini, ibu ini sedang membuat kerupuk dan pempek. Dia sangat tergantung dengan hasil ikan. Ketika dulu sumberdaya itu sangat melimpah, pendapatannya juga melimpah.
Namun dengan kondisi sekarang untuk mendapatkan 1 kg ikan dalam 1 hari itu sudah susah. Ini ironi, karena mereka tidak bisa kemana mana. Pengetahuan berabad-abad, ratusan tahun yang turun ke mereka adalah terkait dengan pengolahan ikan.
Ketika lahan bahasa itu rusak, mereka jadi seperti orang bingung. Kecerdasan itu tidak bisa dijalankan karena basis materialnya sudah tidak ada lagi atau sudah rusak.
Mongabay: Bisa dijelaskan jenis ikan apa saja yang ditangkap di lahan basah?
Taufik Wijaya: Kalau dari data ada sekitar 600-an jenis ikan di Sumatera Selatan. Tahun 2017 ditemukan sekitar 400-an. Beberapa adalah jenis ikan yang biasa dikonsumsi atau yang punya nilai ekonomi tinggi, seperti gabus, belida, baung, dan lais.
Ketika ikan-ikan ini turun populasinya atau hilang, atau dilindungi seperti belida, artinya orang tangkap belida aja bisa bisa ditangkap karena jenis ini dilindungi oleh negara. Kemudian ada beberapa jenis yang sudah hilang atau yang hampir punah seperti ikan lesol, arwana dan ikan toman.
Akibatnya masyarakat hari ini banyak mencari ikan-ikan sampah. Disebut ‘ikan sampah’ karena tidak punya nilai ekonomi tinggi, tidak enak dimakan, dan banyak tulang. Sekarang masyarakat beralih memakan ikan laut yang harganya mampu dibeli masyarakat.

Mongabay: Lalu dengan ada perubahan bentang alam di lahan basah, bagaimana nasib kaum perempuan yang tadinya menangkap ikan, apa mungkin sekarang mereka tidak bisa bekerja seperti dulu?
Taufik Wijaya: Ketika lahan basah rusak, maka bukan hanya panganan yang hilang, kekuatan dan peranan perempuan sebagai penunjang ekonomi keluarga, juga rontok. Makanya jangan heran misalnya banyak orang-orang di lahan basah bukan lagi sebagai nelayan.
Banyak yang bekerja di luar wilayah lahan basah. Ada laporan dimana mereka bekerja di kapal lalu meninggal, banyak anak-anak muda yang bekerja di Kamboja jadi korban human trafficking akibat bekerja sebagai operator judi online.
Jadi menurut saya perusakan lahan basah sebetulnya merupakan perusakan peradaban sebetulnya. Bukan hanya masa lalu, tapi juga untuk ke depan.
Pengetahuan masyarakat Sumatera Selatan atau budaya kita ini hampir semuanya bahari. Bukan hanya di Sumatera Selatan, hampir semuanya di Jawa dan daerah lain di Nusantara berkebudayaan bahari. Pengaruh pesisir dan perairan itu jadi pengetahuan kita. Ketika pengetahuan itu juga rusak, hilang, semuanya kacau.
Contohnya bicara banjir. Dahulu tidak ada kisah-kisah soal banjir karena warga telah beradaptasi dengan rumah panggung.

Mongabay: Sebenarnya apa yang menjadi akar persoalan sehingga tata ruang di lahan basah berubah?
Taufik Wijaya: Konteksnya adalah persoalan tata ruang dan alokasinya yang keliru. Ketika lahan basah dikuasai dan menjadi milik negara, negara mendistribusikan ke industri berbasis lahan. Sebenarnya konflik itu awalnya dari penguasaan negara. Dahulu masyarakat mengenalnya sebagai tanah ulayat, tanah adat, kemudian dikuasai negara.
Sebelumnya wilayah itu dikuasai oleh masyarakat hukum adat, ketika ada undang-undang pemerintahan desa, itu tidak ada lagi. Semuanya menjadi milik negara, menjadi tanah negara.
Dimasa lalu, kita adalah bangsa yang besar, Wangsa Syailendra, Sriwijaya itu kaya raya dan makmur. Di masa kesultanan dulu misalnya, lahan dikuasai masyarakat. Kerajaan hanya mengurusi sistem pemerintahan, dan mengkoordinasi jalannya politik, ekonomi, perdagangan dan pajak. Jadi persoalan ketahanan [termasuk pangan] itu ada di masyarakat.
Nah persoalannya ketika wilayah ini dikuasai oleh negara. Negara lalu mendistribusikannya kepada kelompok yang lebih dominan seperti pelaku usaha yang pada akhirnya menguasai hulu ke hilir. Masyarakat jadi terpinggirkan, lingkungan rusak.
Mongabay: Apa yang akan terjadi jika lahan basah masih tetap mengalami degradasi?
Taufik Wijaya: Skenario terburuknya dengan kondisi yang ada, dan didorong perubahan iklim maka akan terjadi krisis pangan. Nah, kalau itu terjadi, jangankan lagi soal mempertahankan tradisi kuliner, maka untuk makan saja kita susah.
Dampak lainnya adalah, munculnya berbagai penyakit, menurutnnya tingkat kecerdasan, dan stunting. Di lahan basah itu sekarang sangat tinggi sekali tingkat stunting-nya. Perempuan dan anak pasti akan terdampak.
Mongabay: Apa yang menjadi harapan terbesar bagi pengelolaan lahan basah di Sumatera Selatan kedepannya?
Taufik Wijaya: Tantangan terbesar itu adalah paradigma atau cara berpikir dan niat baik. Kita sudah tahu berbagai kerusakan itu. Jadi sebetulnya tinggal mau tidak niat baiknya untuk menyelamatkan alam dan manusia.
Menurut saya banyak yang bisa kita lakukan. Apapun pendekatannya kalau niatnya baik dan mau mensejahterakan masyarakat pasti bisa berjalan.
***
Foto utama: Pembuatan terasi di sebuah bagan ikan di Sungai Banyuasin. Ikan-ikan dari lahan basah telah menjadi bagian dari pengetahuan dan budaya masyarakat di Sumatera Selatan selama berabad-abad. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia