Banjir Morowali, Makin Parah Sejak Ada Industri Nikel

2 weeks ago 36
  • Hujan deras berujung banjir bandang menghantam Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, penghujung Desember lalu. Air berwarna coklat tua  berserta lumpur mengalur dan meluap ke pemukiman warga.  Penuturan warga,  belakangan ini mereka sering kebanjiran dan makin parah dari sebelumnya.
  • Dulu,  Bahodopi merupakan lanskap alami dengan sedikit penduduk. Pesisir jadi persinggahan sementara nelayan tangkap tradisional dan Suku Bajo yang berpindah-pindah tempat dari satu perairan ke perairan lain di sepanjang pesisir timur Pulau Sulawesi. Kini, penduduk padat dan jadi salah satu kawasan industri besar nikel di Indonesia.
  • Data Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu),  deforestasi di Morowali melalui skema pertambangan dalam empat tahun, luas hutan lindung di Bahodopi berkurang dari 10.820,43 hektar pada 2019 menyusut tinggal 10.378,73 hektar pada 2022.
  • Walhi Sulteng menyebut,  masifnya aktivitas pertambangan nikel di Morowali menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan, terutama pencemaran sungai dan peningkatan risiko banjir. Pertambangan nikel, memperparah banjir di Morowali. Peningkatan pertambangan mengurangi daya dukung lingkungan dan menyebabkan banjir lebih sering.

Langit di Bahadopi, Morowali, Sulawesi Tengah, makin gelap walau masih siang. Hujan sejak pagi 29 Desember lalu makin deras hingga sore.

Aslan singgah berteduh, walau jarak hanya beberapa kilometer dari rumahnya. Tak lama, pria ini kaget saat menerima pesan video singkat dari istrinya yang merekam detik-detik banjir dengan air coklat tua dan menjebol dinding rumahnya di Desa Labota, Morowali, Sulawesi Tengah.

Dia berbgegas mengemudikan motor menembus hujan lebat untuk mengevakuasi istri dan anaknya yang masih kecil ke tempat aman menghindari banjir bandang susulan.

Beberapa jam kemudian, banjir perlahan surut. Menyisakan material lumpur setinggi pinggang, bebatuan, pohon tumbang, kasur, bantal, perabot rumah tangga, dan bangunan rumah semi permanen yang jadi kosan para pekerja. Hunian Aslan rusak berat.

Dia hanya pasrah melihat endapan lumpur setinggi pinggang di rumahnya,  yang tak jauh dari penampungan batubara,  PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

“Bercampur itu lumpur dan batubara,” katanya, memilih membawa keluarga ke tenda pengungsian  tim Forum Relawan Bencana dirikan.

Informasi dari beberapa warga, air bah mengalir dari tanggul yang ‘jebol’. Tidak dapat menampung aliran air bercampur lumpur turun menyapu tumpukan stockpile batubara tepat di belakang pemukiman. Banjir juga menyebabkan tanah longsor merusak beberapa rumah warga. Banjir memorak-porandakan Labota.

“Deras-derasnya hujan kemarin, tidak sampai banjir…Kita hanya bisa berdoa semoga hujan tidak sampai malam,” ucap Fitri Arsita, warga terdampak banjir yang syok menyaksikan air setinggi pinggang merusak rumah-rumah di Labota.

Sebelum ini, banjir terjadi awal Mei 2024. Hujan lebat malam hari menyebabkan Sungai Dampala meluap dan membanjiri pemukiman. Dilaporkan dua orang dewasa dan satu anak yang terperangkap banjir yang tim SAR gabungan evakuasi.

Pemukiman warga Morowali setelah banjir banjang surut. Foto: dokumen warga

Masalah kronis

Gunawan, Kepala Bidang Kegawatdaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Morowali, mengatakan, banjir karena curah hujan lebat selama 3-4 jam, membuat drainase tidak dapat menampung volume dan debit air hujan yang deras. Dia perkirakan sekitar 200 orang terdampak banjir mencari perlindungan di pusat evakuasi atau dengan kerabat. Banjir berulang di Bahodopi, sekitar 3-4 kali per tahun.

Dia amini deforestasi mungkin jadi faktor yang berkontribusi,  tetapi fokus utama BPBD soal pengurangan risiko dan respons.

“Bahadopi salah satu daerah rawan bencana cukup tinggi khusus banjir.”

Dia mengimbau,  pentingnya kesiapsiagaan masyarakat, terutama saat musim hujan, dan mendorong warga mengamankan aset dan mewaspadai rute evakuasi. Dia pun mengakui kurangnya sistem peringatan dini untuk banjir.

Sebaliknya, Aulia Rahman, dari Literasi Kerakyatan Morowali menyebut,  risiko banjir di Bahodopi sangat rendah sebelum industri nikel masuk. Meski banjir, tak separah dan air tak pernah sekeruh beberapa waktu terakhir.

Dia cerita, dulu Bahodopi merupakan lanskap alami dengan sedikit penduduk. Pesisir jadi persinggahan sementara nelayan tangkap tradisional dan Suku Bajo yang berpindah-pindah tempat dari satu perairan ke perairan lain di sepanjang pesisir timur Pulau Sulawesi.

Sejak hadir tambang nikel dan pabrik dengan infrastrukturnya, kawasan ini berubah total jadi padat penduduk. Kini, sekitar 100.000 jiwa lebih. Sejak 2015, perusahaan menjamur seiring produksi nikel meningkat.

Aktivitas industri ekstraktif ini, katanya, menyebabkan deforestasi dan infrastruktur drainase yang tak memadai. Pun demikian dengan banyak sedimen dan puing saat banjir.

Ketika hujan deras lebih sejam, banjir menjadi momok lantara sungai meluap membanjiri pemukiman. Luapan air sungai itu membawa lumpur berwarna coklat mengotori rumah-rumah warga.

“Dulu jarang banjir.”

Tepian laut Bahodopi, dengan warga air laut sebagian kuning kecoklatan. Di pesirir terlihat terbabat. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

Tercemar

Data Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu),  deforestasi di Morowali melalui skema pertambangan dalam empat tahun, luas hutan lindung di Bahodopi berkurang dari 10.820,43 hektar pada 2019 menyusut tinggal 10.378,73 hektar pada 2022. 

IUP di Sulawesi Tengah ada 113 izin, dengan luasan 259.848 hektar periode 2020-2022. Morowali jadi kabupaten terbanyak konsesi, ada 53 IUP dengan luasan 118.139 hektar lalu Morowali Utara ada 38 IUP seluas 69.156 hektar.

Kecamatan Bahadopi merupakan denyut utama sektor pertambangan dan industri nikel di Morowali, sebagai wilayah putaran ekonomi tertinggi di Sulawesi Tengah. BPS mencatat,  Bahadopi pada 2015 seluas  1080,98 km persegi dengan penduduk 7132 jiwa, rata-rata per kilometer persegi tujuh orang.

Ada pertambangan dan industri nikel memicu lonjakan kepadatan penduduk,  jadi 37.322 jiwa pada 2024.  BPS mencatat,  belum ada satupun fasilitas sistem peringatan dini bencana alam di Bahodopi sekalipun pertumbuhan populasi dan putaran ekonomi di sektor pertambangan pesat.

Walhi Sulteng menyebut,  masifnya aktivitas pertambangan nikel di Morowali menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan, terutama pencemaran sungai dan peningkatan risiko banjir. Pertambangan nikel, katanya,  memperparah banjir di Morowali. Peningkatan pertambangan mengurangi daya dukung lingkungan dan menyebabkan banjir lebih sering.

Terlihat orangtua dan anak-anaknya, di Morowali, berusaha untuk menyelamatkan diri dari banjir bandang≥ Foto: tangkapan layar video warga

Pada awal 2024, Walhi menyebutkan, temuan tentang polusi sungai dampak penambangan nikel besar-besaran di Morowali. Sungai-sungai terkontaminasi oleh kromium, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi orang yang bersentuhan dengannya.

Walhi Sulteng dan Friends Of The Earth (FOE) Japan melakukan pengujian kualitas air di 10 titik sungai hulu dan hilir, yang berdekatan dengan  kawasan industri dan pertambangan nikel. Hasil uji cemaran menunjukkan, sungai di Desa Onepute dan Dampala terpapar kromium heksavalen dengan jejak (0,1 mg/L) serta Sungai Bahodopi dan Labota dengan jejak (0,075 mg/L).

Air yang terkontaminasi dengan kromium heksavalen dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Senyawa kromium heksavalen yang terhirup bisa menyebabkan ulserasi dan perforasi membran mukosa septum hidung, iritasi pada faring dan laring, bronkitis asma, bronkospasme dan edema.

Gejala pernapasan termasuk batuk dan mengi, sesak napas, maupun gatal hidung. Juga reaksi alergi, ruam kulit, dan dapat menyebabkan iritasi hidung sampai pada mimisan. Masalah kesehatan lain dampak kromium meliputi ruam kulit, Perut sakit dan bisul, gangguan pernapasan. Sistem kekebalan tubuh lemah, ginjal dan kerusakan hati, perubahan materi genetik, kanker paru-paru, serta kematian

Sumber yang Walhi wawancarai dalam penelitian itu menuduh peningkatan penambangan nikel, terutama sejak 2023, menyebabkan peningkatan banjir dan kontaminasi air yang signifikan di wilayah itu. Mereka juga mengkritik kurangnya tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah lingkungan, pemerintah dituding terlibat berikan izin perusahaan dengan impunitas.

“Peningkatan (banjir dan cemaran sungai) saat ketika hilirisasi sebagai program prioritas negara begitu, secara tidak langsung (jumlah) izin-izin tambang meningkat karena kebutuhan target yang diproduksi juga meningkat” kata Wandi, Pengkampanye Walhi Sulteng, kepada Mongabay, 24 Desember lalu.

Serpihan batubara di bekas banjir bandang yang melanda pemukiman warga di Bahodopi, Morowali. Foto: dokumen warga

Pantauan Walhi di lapangan, banjir kerap terjadi saat musim hujan. Kondisi ini berlangsung terus menerus kurun 10 tahun terakhir, sejak perusahaan nikel PT Bintang Delapan Mineral (BDM), kemudian berkembang menjadi PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Permintaan nikel yang terus meningkat menyebabkan deforestasi besar-besaran. “Paling parah itu di Desa Towara (Morowali), sumber mata air hilang,” kata Wandi.

Dia khawatir, mengenai ancaman serius ke depan adalah bencana kekeringan ketika penambangan terus jalan.

Arko Tarigan, Juru Kampanye Energi Trend Asia, menuding,  perusahaan pertambangan di Morowali memprioritaskan keuntungan daripada perlindungan lingkungan, dan tak menerapkan reklamasi memadai setelah terjadi deforestasi.

Efek buruk dari deforestasi menyebabkan banjir, dan polusi pada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di dekat operasi pertambangan. Pemerintah, katanya,  yang memfasilitasi eksploitasi ini tak menyiapkan aturan ketat dan minim penegakan hukum.

“Sedimentasi yang terbawa bersama aliran sungai juga sampai ke laut, menyebabkan air permukaan air laut naik,” kata Tarigan.

Dalam beberapa tahun terakhir dia memantau wilayah pesisir di Morowali yang hilang tertutup sedimen lumpur pembuangan dari penambangan nikel.

Tarigan meminta,  pemerintah lakukan penyelidikan lebih lanjut tentang konsekuensi sosial dan lingkungan dari penambangan nikel di Morowali, terutama yang berdampak bagi masyarakat lokal dan pekerja.

“Sekarang,  setiap banjir bukan hanya air, tapi lumpur juga ikut terbawa ke rumah-rumah warga.”

Air laut Morowali setelah ada tambang dan kawasan industri nikel. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

*******

Banjir Bandang di Kawasan Industri Nikel Morowali, Krisis Iklim Makin Mengkhawatirkan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|