- Masyarakat sekitar proyek Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), seperti di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, mulai merasakan banjir berulang, seperti terjadi akhir November lalu. Rumah panggung pun kemasukan air hingga warga terpaksa mengungsi.
- Kini, ketika memasuki musim penghujan, warga yang tinggal di tepian Sungai Sepaku, was-was, tak bisa hidup tenang karena sewaktu-waktu air bisa saja masuk ke rumah.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, pembangunan IKN, tanpa mengidentifikasi dampak lingkungan maupun sosial. Mulai dari tak ada konsultasi publik memadai, bahkan dokumen-dokumen lingkungan tidak kredibel.
- Eko Teguh Paripurno, Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Veteran Yogyakarta, mengatakan, bencana biasa terjadi berulang pada tempat yang sama. Untuk itu, perlu serius dalam penanganan di IKN dan sekitar. Ketika bencana tak tertangani serius, pasti akan memunculkan kerentanan dan ancaman baru yang meningkatkan intensitas bencana.
Seni Susiyanti, warga Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, was-was saat hujan datang. Sejak pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), tempat tinggalnya selalu kena banjir, seperti pada akhir November lalu.
Sebelum kejadian, hujan datang hampir tiap malam. Seni tak bisa tidur, memilih berjaga khawatir air masuk ke rumah.
Ketakutannya pun terjadi, 30 November subuh air naik ke rumah Seni. Angin kencang jadikan momen itu makin horor.
“Kupikir naik lagi sudah ini (air). Jadi siap-siap memang sudah malam itu,” kata Seni kepada Mongabay.
Umumnya Masyarakat Suku Balik di kampung itu tinggal di rumah panggung, begitu juga Seni tetapi air tetap masuk. Dia bermukim di tepi Sungai Sepaku. Hujan deras pagi itu, air masuk dari dapur.
Dia bergegas membereskan barang-barang terutama yang terletak di lantai rumah.
“Simpun-simpun (berberes) aja, kasih naik di meja dulu (barang-barang di bawah). Mikirnya sudah nggak bakal naik lagi, sekalinya jam 10-11 (pagi) itu mulai juga sudah (ke bagian depan rumah). Nggak bisa sudah ditempatin (rumahnya),” katanya.
Rumah Seni berseberangan dengan sawah garapan masyarakat. Lahan padi gunung ikut tenggelam.
Seni bilang, banjir kali ini lebih parah dibandingkan Juni 2024. Kondisi banjir lebih parah karena Sungai Sepaku ditutup tembok untuk normalisasi sungai. Terutama untuk kepentingan pembangunan Intake Sepaku yang tak jauh dari rumahnya.
“Waktu kemarin (banjir Juni 2024), nggak setinggi ini. Mulai dibikinkan tembok itu, naik sudah (air). Kalau yang kemarin sebelum ditutup itu, nggak (banjir). Di bawah kolong aja. Semenjak ditutup ini, mulai masuk ke rumah.”
Seni, orang tua tunggal dengan tiga anak, paling bungsu usia 3,5 tahun.
Dia terpaksa mengungsi ke rumah keluarganya karena khawatir bahaya bagi anak bungsunya apabila tetap tinggal. Apalagi, air di rumah sudah semata kaki dan di luar mencapai dada orang dewasa.
“Nggak mau kembali ke sana karena takut banjir. Lain kalau nggak punya anak kecil, ini punya anak kecil,” katanya resah.
Kesedihannya makin mendalam kala mengingat rumah itu dia tinggali sejak lahir.
“Gara-gara bencana begini, mau diapain juga susah, daripada anak-anak juga bahaya kan. Makanya, ini kan pindah sudah dari situ (rumah). Nggak tahan, setiap hujan pasti naik sudah airnya,” kata dia.
Bukan hanya genangan yang mengancam, juga predator yang dibawa air. “Kemarin ada sempat masuk buaya di sawah. Masih anakan, sebesar kaki orang dewasa. Ada ular sawah juga itu kemarin, besarnya, diburu sama warga.”
Seni dulu menggantungkan hidup pada aliran sungai di belakang rumah. Mulai dari mencari ikan, maupun sayuran di pinggir sungai.
“Sekarang udah nggak bisa lagi, udah ditutup semua,” kata Seni.
Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengklaim, pembangunan IKN, memperhatkan pengelolaan lingkungan.
“Tak hanya infrastruktur modern. Tapi juga pengelolaan lingkungan tangguh dan adaptif terhadap tantangan alam,” kata Myrna Safitri, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam OIKN dikutip dari Inilah.com.
Dia bilang, kondisi geografis dan curah hujan ekstrem jadi faktor utama penyebab banjir di sana.
Myrna bilang, banjir di Sepaku bukan hal baru tetapi area yang secara historis rawan banjir. “Kondisi geografis dan tingginya curah hujan menjadi tantangan yang harus diatasi,” katanya, dikutip dari Kaltimtoday.
OIKN, katanya, berkomitmen mengelola sumber daya alam secara bijak dan memperhatikan keselamatan masyarakat dengan pendekatan terintegrasi. Harapannya, bisa meminimalisasi banjir ke depan.
Pembangunan serampangan?
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, saat dihubungi Mongabay menyebut, curah hujan tinggi hanya satu dari beragam faktor yang menyebabkan banjir atau genangan di sekitar kawasan IKN. Menurut dia, faktor utama karena tidak ada lagi hutan jadi penyangga.
“Wilayah penyangga itu adalah hutan. Karena hutan itu berfungsi menahan dan menyimpan air. Hutan sudah habis, curah hujan juga tinggi, akan banjir,” katanya,
Rio, sapaan akrabnya, mengatakan, tutupan hutan berperan penting jadi resapan dan menahan air di bagian hulu.
Pembangunan IKN, yang masih terus berlangsung hingga kini, katanya, tanpa mengidentifikasi dampak lingkungan maupun sosial. Mulai dari tak ada konsultasi publik memadai, bahkan dokumen-dokumen lingkungan tidak kredibel.
“Karena pembangunan yang serampangan akan mengakibatkan dampak serius, terutama dampak lingkungan dan sosial.”
Rio bilang, indikator pembangunan harus sejalan dengan perlindungan lingkungan. Dampak-dampak lingkungan yang mungkin terjadi, teridentifikasi sebelumnya.
Buaya muara yang berkeliaran di sekitar permukiman karena habitat terganggu juga merupakan dampak lingkungan dari ‘pembangunan’ ini. Konflik antar satwa dan manusia terus terjadi.
Negara, katanya, harus bertanggung jawab menangani masalah ini. Apalagi, katanya, kalau pembangunan IKN lanjut, kondisi bisa makin parah. Terlebih, ketika tanpa ada mitigasi kuat melindungi warga.
“Termasuk perlindungan terhadap hutan dan habitat-habitat satwa,” katanya.
Tak jauh beda dengan ungkapan Saiduani Nyuk, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur. Dia bilang, pemerintah harus bertanggung jawab atas musibah masyarakat di Sepaku. Terutama dalam memitigasi pencegahan bencana serupa terjadi kembali di kemudian hari.
“Mesti ada upaya mencegah banjir. Ketika sudah terjadi, mestinya Otorita IKN bertanggung jawab terhadap masyarakat adat yang mengalami kebanjiran. Mereka membangun bendungan (Intake Sepaku) itu, mereka harus bertanggung jawab kepada masyarakat,” kata Duan, panggilan akrabnya, lewat sambungan telepon.
Duan mengatakan, tak boleh ada pembiaran pemerintah pada situasi seperti ini. Masyarakat adat perlu kepastian hidup, bukan dalam ketakutan terjadi bencana atau ancaman lain.
“Itu mesti dijamin hak asasi mereka untuk hidup aman. Pilihannya, pemerintah melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap masyarakat adat, atau menghentikan proyek yang mereka kerjakan sekarang.”
Tak terukur
Eko Teguh Paripurno, Pakar Manajemen Kebencanaan Geologi UPN Veteran Yogyakarta, mengatakan, banjir terjadi ketika lokus tidak mampu mengelola air. Kalau selama ini lokus itu mampu mengelola air, maka penyebab banjir karena perubahan masukan air, baik dari hulu maupun langsung di lokus itu.
Sementara, apabila terdapat perubahan, maka kontribusi perubahan itu meningkatkan kepekaan atas kawasan, hingga banjir mudah terjadi. Kepekaan ini, kata Eko, bisa bermacam-macam.
Semisal ketika jalan tol Surabaya dibangun, ada kepekaan baru yang muncul. Hujan tak mudah ke hilir, hingga di bagian hulu tol itu akan banjir. “Di bagian hilir tol itu tidak. Sama halnya di kawasan IKN dan sekitar.”
Eko bilang, perubahan-perubahan yang terjadi dapat meningkatkan kepekaan kawasan itu. “Kalau itu terjadi, yang harus kita lakukan mengintervensi agar hujan itu bisa diterima, apakah dengan menambah resapan atau menambah aliran.”
Badan pengelola maupun pemerintah harus bertindak cepat agar mengurangi risiko yang warga alami.
“Jangan sampai IKN jadi semacam cluster yang nggak selaras dengan (lingkungan) kiri kanannya. Keselarasan itu bukan hanya bagaimana fasilitas kiri kanannya dibangun.”
IKN, katanya, bukanlah kompleks, kota mandiri atau pemukiman elit. IKN ini, ibu kota negara yang harus melindungi rakyat sekitar.
Bencana biasa terjadi berulang pada tempat yang sama. Untuk itu, perlu serius dalam penanganan di IKN dan sekitar.
Ketika bencana tak tertangani serius, katanya, pasti akan memunculkan kerentanan dan ancaman baru yang meningkatkan intensitas bencana.
********