- Warga Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mengeluhkan operasi pabrik-pabrik peleburan baja yang mereka duga menyebabkan polusi. Ketika pabrik beroperasi, asap berbau kimia ketika terhirup menyebabkan batuk-batuk dan tenggorokan gatal. Dari dekat, terdengar bising seperti suara mesin pesawat yang hendak lepas landas.
- Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) mengatakan, emisi dari peleburan baja mengandung berbagai senyawa kimia, seperti Nitrogen dioksida (NO2), sulfur hingga PM 2.5. Emisi itulah yang menyebabkan masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang kalau terhirup manusia.
- Anak-anak dan lansia, menjadi kelompok paling rentan terserang penyakit ini. Dalam jurnal Ilmu Kesehatan berjudul Gambaran Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Sekitar Industri Baja Menurut Jarak dan Kondisi Lingkungan yang Lilian Susanti Nova, Hendrik Edison Siahainenia dan Putri Novianti susun menyebutkan, balita di sekitar industri baja di Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Bekasi, berisiko terserang ISPA.
- Erlang Samoedro, dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, risiko ISPA di kawasan industri baja tinggi karena pembakaran dalam proses peleburan baja menimbulkan asap pekat dan menyebar lewat udara. Dia pun menganjurkan pemerintah mengecek indeks kualitas udara di kawasan itu sebagai bentuk pengawasan karena pabrik berdampingan dengan pemukiman.
Asap putih pekat mengepul keluar dari ventilasi udara PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), perusahaan pengolahan baja di Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 18 Maret lalu. Asap menyebar ke berbagai arah, mengikuti hembusan mata angin termasuk ke pemukiman.
Tampak asap beberapa kali berubah warna, putih, keabu-abuan, lalu kekuning-kuningan lalu kembali jadi putih.
Sore itu, asap peleburan baja memang tak terlihat di pemukiman warga. Namun, bau kimia tercium sampai ke pemukiman di sekitar pabrik. Ketika terhirup, tenggorokan terasa gatal dan sesak napas.
“Baunya itu menyengat, Bau-bau kimia. Dampaknya itu ke warga debu, batuk-batuk gitu,” kata Warsimin, warga Desa Sukadanau.
Operasi GRP pada siang atau sore cenderung kondusif. Peleburan baja mulai malam hingga dini hari. Asap akan terlihat menyebar hingga ke pemukiman, perlahan masuk ke rumah warga dan menyisakan debu-debu halus yang akan terlihat jelas pada pagi hari menempel di teras.
“Biasanya mereka malem, jadi ketika warga udah pada tidur kan baru ngebul. Gak biasa, tau-tau rumah putih,” kata pria 58 tahun ini.
Rumah Warsimin berada di belakang gedung produksi GRP, Kampung Tangsi. Sudah bertahun-tahun, dia dan keluarga hidup berdekatan dengan pabrik baja itu. Selama itu pula, mereka menghirup polusi.
Pantauan Mongabay, warga desa terkesan terbiasa dengan kondisi ini, jarang yang mengenakan masker ketika beraktivitas di luar rumah. Kendati demikian, mereka menyadari kalau ancaman penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bisa menghampiri.
Riman, warga Kampung Tangsi, mengatakan, kerap merasakan sesak napas dan batuk-batuk ketika menghirup udara. Tak heran, katanya, bila Puskesmas selalu ramai pasien dengan keluhan saluran pernapasan.
“Warga itu kan kalo berobat di Puskesmas Telaga Murni. Kalau lagi ramai berobat nih ngantrinya bisa sampai 3-4 jam,” kata Riman.
Aktivitas peleburan baja itu, katanya juga menimbulkan dampak getaran dan bising dari mesin yang beroperasi. “Kalau malem suara mesinnya berisik, terasa getarannya.”
Riman bilang, perusahaan pernah membuka posko kesehatan untuk warga, lantaran ada kebakaran di dalam pabrik. Sayangnya, dari kejadian itu, perusahaan tidak evaluasi untuk mengurangi dampak polusi udara.
Untuk, kompensasi kepada warga hanya sembako satu kali setahun.
Warga pun, kata Riman, protes soal aktivitas peleburan baja ke pemerintah desa. Sampai saat ini tak ada tindakan yang membuat perusahaan itu mengubah cara kerjanya. Aktivitas peleburan baja tetap menimbulkan polusi udara.
“Warga ada yang batuk sampe demam. Setelah kesini sudah biasa, sudah adaptasi,” katanya.
Senada dengan Dede, warga Desa Sukadanau. Ibu beranak tiga ini mengatakan, aktivitas itu meninggalkan debu yang mengotori rumah. Belum lagi, ancaman penyakit ISPA karena menghirup udara yang sudah tercemar. Dia khawatir, polusi udara itu berdampak buruk pada tumbuh kembang anaknya.
“Kan kalau produksi itu ngebul banget. Asapnya bau, takutnya kan kena anak saya. Ini kan yang paling kecil umur setahun,” katanya.

Kompleks GRP berada di tiga lokasi di desa yang sama. Lokasi pertama di Jalan Perjuangan sebagai kantor pusat. Lokasi produksi di Jalan Perjuangan dan Jalan Kalimalang.
Tak jauh dari pabrik, terdapat aliran sungai. Ada pula hamparan sawah luas yang berada di Desa Telaga Asih, seberang pabrik. Ada pula tiga sekolah dasar negeri (SDN) yang hanya berjarak sekitar 10 meter dengan pabrik.
Perusahaan ini juga mendapat suplai dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero. Terlihat, Gardu Induk Raja Paksi berkekuatan 150 kilo volt berdampingan dengan pabrik di Jalan Sukadanau Irigasi. Lalu Gardu Induk Cikarang dengan kekuatan sama berada di Jalan Inspeksi Kalimalang.
Di dalam kawasan produksi, terlihat ada menara setinggi sekitar 100 meter seperti mercusuar. Berdasarkan informasi pekerja GRP, menara itu sudah lama tak berfungsi dan akan dibongkar.
“Dari saya masuk kerja juga gak dipakai. Proyek disitu udah di stop. Gedungnya juga mau dibongkar, gak jadi produksi bijih besi,” katanya.
Terlihat lalu-lalang pekerja keluar masuk pabrik. Beberapa kali terpantau pula truk trailer dengan muatan baja keluar masuk. Menurut pekerja, aktivitas peleburan baja perusahaan tak setiap hari, hanya waktu-waktu tertentu.
GRP merupakan bagian dari Gunung Steel Group, satu perusahaan baja terbesar di Indonesia. Berdiri pada 1970 di Medan, Sumatera Utara, perusahaan ini mulanya bernama PT Gunung Naga Mas (GNM) memproduksi baja panas. Kemudian secara bertahap memproduksi balok dan lembaran baja.
Pada 1991, GNM pindah ke Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat ganti nama menjadi GRP.
Berdiri di lahan seluas lebih 200 hektar di tengah-tengah pemukiman, perusahaan yang dalam bursa saham dengan inisial GGRP ini memproduksi lebih 30 jenis baja untuk berbagai kebutuhan. Dalam laporan perseroan 2024, GRP menghasilkan 1,2 juta ton baja per tahun, dan menjual ke pasar domestik serta internasional di lebih dari 40 negara di seluruh dunia.
Selain manufaktur, perseroan juga menyediakan layanan Pusat Servis Plat seperti pemotongan, pengeboran, pencukuran, dan pencetakan.
Pada 2024, pendapatan GRP mencapai US$352 juta dari produksi baja untuk 97% kebutuhan dalam negeri dan 3$ ekspor ke Singapura, Jepang, Australia dan Selandia Baru.
Hendra Hutauruk dari Konsorsium Pemuda Telaga Murni mengatakan, suasana di lingkungan sekitar ketika GRP melakukan aktivitas peleburan baja mencekam.
“Di dalam pabrik itu memang terlihat benar-benar kuning kemerah-merahan. Asapnya pekat, kan kalau nyebar terlihat putih,” katanya.
Dalam kawasan industri itu, ada pula pabrik baja lain, PT Garuda Yamato Steel (GYS), juga masih berelasi dengan GRP. Dari situs resmi perusahaan, GYS merupakan perusahaan bentukan dari kolaborasi Yamato Kogyo, Siam Yamato Steel, PT Hanwa Indonesia, dan GRP pada 2024.
Selain produksi baja, GYS juga menawarkan layanan fabrikasi baja dengan mesin terkomputerisasi, termasuk mesin gergaji CNC, pengeboran CNC, pengeboran, pemotongan, pelubangan, mesin bending, serta peralatan galvanisasi dan peledakan tembakan.
Kapasitas produksi mencapai 1 juta ton dan produksi baja giling 900.000 ton per tahun.
Masih dalam situs resmi perusahaan, GYS mengklaim menggunakan electric arc furnace (EAF) untuk produksi baja. EAF gunakan besi bekas sebagai bahan baku hasilkan baja. Mereka sebut, proses ini lebih ramah lingkungan dan hemat energi, dibandingkan tanur tiup yang memproduksi baja langsung dari bijih besi.
Kondisi saat produksi baja di perusahaan ini pun tak jauh beda dengan GRP. Pantauan Mongabay 13 Maret 2025 sore, kepulan asap putih keluar dari ventilasi udara GYS.

Asap berbau kimia yang ketika terhirup menyebabkan batuk-batuk dan tenggorokan gatal. Dari dekat, terdengar bising seperti suara mesin pesawat yang hendak lepas landas.
“Bau. Saya aja sampe batuk-batuk,” kata Leni.
Dia bilang, pencemaran udara pabrik membuat kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak mudah terkena ISPA. Anak Leni masih berusia empat tahun juga menjadi terkena ISPA meski tak parah.
“Ada teman saya itu anaknya pernah dibawa rumah sakit gara-gara batuk,” katanya.
Lantaran tak tahan, beberapa warga yang Leni kenal pindah rumah. Sedang Leni, yang sudah tinggal di Desa Sukadanau sejak 2000 ini memilih menetap, karena keterbatasan biaya.
“Pada gak betah jadi pindah. Kalau saya disini aja, mau pindah kemana lagi, udah pas-pasan,” katanya.
Kondisi Desa Sukadanau berbeda bila dibandingkan era 1990 ke belakang. Riman mengenang desanya sebelum produsen baja datang. Dahulu, pepohonan masih banyak dan sawah pun luas.
“Saya asli sini lahir disini (Desa Sukadanau) , kalo dulu enak, udara masih seger, karena banyak pohon-pohon. Itu dulu (lahan pabrik) sawah, hutan dan rumah-rumah warga,” katanya.

Protes warga
Hendra masih ingat betul ketika kawasan industri baja GRP masih pemukiman warga. Terdapat rumah, tanah kosong, perkebunan dan sawah. Peralihan fungsi lahan jadi kawasan industri baja GRP terjadi pada 2012. Saat itu, GRP membeli lahan warga secara bertahap dan membangun pabrik peleburan baja.
Sekitar 2014, GRP memulai aktivitas peleburan baja. Aktivitas itu, kata Hendra, menimbulkan polusi udara sampai saat ini. Warga protes karena terganggu proses pembangunan pabrik sejak 2015.
Para pemuda pun beberapa kali protes soal pencemaran lingkungan. Setelah pabrik beroperasi, warga keluhkan bising, getaran, bau bak enak maupun asap, namun tak pernah perusahaan gubris.
Perusahaan, kata Hendra, pernah mediasi dengan warga dan berjanji mengurangi polusi udara dengan gunakan teknologi dari Jerman.
“Mereka tak menjelaskan dengan rinci teknologi seperti apa itu. Meskipun begitu proses peleburan sampai sekarang tidak berubah. Tetap menimbulkan asap yang ngebul,” katanya.
Sementara, katanya, pemerintah seakan memberikan karpet merah bagi GRP dan tak menanggapi keluhan warga.
Dia menceritakan ketika warga protes di depan GRP September 2024, justru mendapat tindakan represif aparat kepolisian.
“Baku hantam warga dan polisi. Tapi akhirnya damai, polisi yang terlibat minta maaf,” katanya.
Konsorsium Pemuda Telaga Murni juga menyurati Pemerintah Bekasi. Lagi-lagi, belum ada tindakan apapun.
“Kita sudah bersurat ke DLH (Dinas Lingkungan Hidup) dan dinas-dinas -terkait. Terakhir ke Pj Bupati, cuma belum ada jawaban dari mereka sampai sekarang ini.”
Mongabay berupaya menghubungi manajemen GRP dan GYS lewat surat elektronik, namun belum ada jawaban. Dalam surel balasan, manajemen GRP belum bersedia menanggapi wawancara Mongabay.
Ananta Wisesa, Head of Corporate Communications GRP mengatakan, belum bisa menanggapi wawancara Mongabay karena jadwal padat.
“Kami ingin menyampaikan bahwa saat ini kami belum dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya dengan mempertimbangkan jadwal narasumber yang cukup padat. Sehingga, kami mohon izin untuk menunda kesempatan wawancara secara tertulis,” katanya lewat surel, 24 Maret lalu.

Bahaya terpapar
ISPA menjadi penyakit rawan menjangkiti masyarakat di sekitar kawasan industri baja. Masyarakat yang tinggal di sekitar GRP dan GYS biasa berobat ke Puskesmas Telaga Murni.
Data Puskesmas Telaga Murni, ISPA dalam tiga bulan terakhir selalu menjadi penyakit dua besar masyarakat. Mongabay berupaya mendapatkan data beberapa tahun tetapi Puskesmas hanya bersedia berikan yang terbaru.
Dari hasil diagnosis, sebanyak 772 orang terjangkit ISPA sejak Desember 2024-Februari 2025. Pada Desember 2024, ISPA 264 pasien, lalu Januari 2025 ada 239 pasien dan Februari 2025 sebanyak 266 pasien.
Gandatua Ariston Siregar, Kepala Puskesmas Telaga Murni mengatakan, masyarakat biasa mengeluhkan batuk pilek terlebih dahulu sebelum terdiagnosa ISPA. Pengidap ISPA itu dari rentang usia satu tahun hingga lansia.
“Hampir rata jumlahnya di usia kelompok rentan itu. Paling banyak sih anak dan lansia,” katanya kepada Mongabay, 6 Maret lalu.
Dia bilang, ada beberapa faktor menyebabkan ISPA, seperti virus, bakteri ataupun jamur. Kondisi lingkungan kurang bersih juga jadi salah satu penyebab.
Selain itu, asap rokok juga menjadi satu penyebab. Termasuk juga pengelolaan sampah dengan cara bakar juga masih ada di Telaga Murni.
“Kalau penyebab ISPA ini sampai sekarang tidak ada yang spesifik. Karena namanya ISPA, infeksi ya. Bisa bakteri, bisa virus. Bisa juga dari kebersihan lingkungan. Bisa juga dari polusi udara. Bisa juga dari rokok. Bisa juga dari pengelolaan lingkungan,” katanya.
Tim Puskesmas Telaga Murni, katanya, berupaya mengingatkan masyarakat soal ISPA. Penanganan Puskesmas dengan promotif dan preventif. Mereka punya tenaga informasi kesehatan dengan kegiatan rutin, salah satunya pencegahan dan pengendalian ISPA.
Erlang Samoedro, dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, risiko ISPA di kawasan industri baja tinggi karena pembakaran dalam proses peleburan baja menimbulkan asap pekat dan menyebar lewat udara.
“Debu itu kalau terhirup orang akan gak enak napasnya dan terjadi peradangan di saluran pernapasan,” katanya kepada Mongabay, 5 Februari lalu.

Dia pun menganjurkan pemerintah mengecek indeks kualitas udara di kawasan itu sebagai bentuk pengawasan karena pabrik berdampingan dengan pemukiman. Masyarakat katanya, punya hak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Ia masuk dalam rumpun hak untuk hidup sebagaimana dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Kalau kita ngomongin polusi atau debu di udara makin pekat makin menimbulkan permasalahan. Terutama di saluran napas.”
Senada dengan Budi Haryanto, Guru Besar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI). Dia mengatakan, emisi dari peleburan baja mengandung berbagai senyawa kimia, seperti Nitrogen dioksida (NO2), sulfur hingga PM 2.5.
Emisi itulah yang menyebabkan masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang kalau terhirup manusia.
Anak-anak dan lansia, katanya menjadi kelompok paling rentan terserang penyakit ini.
“Itu berbahaya konsentrasinya (emisi) tinggi pekat sekali sangat pekat dan bau karena kimia,” kata pria yang juga Ketua Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) ini.
Jangka pendeknya, warga akan terkena serangan asma, gangguan pernapasan bagian atas, bronkitis, iritasi mata hingga kulit. Sedangkan jangka panjang, katanya, bisa kanker, serangan jantung, stroke hingga gangguan sistem saraf.
Budi bilang, senyawa kimia dan partikel debu PM2.5 bisa masuk melalui paru-paru jantung hingga aliran darah ke organ penting lain.
“Bisa sampai kanker paru, terus kemudian gangguan-gangguan pada jantung. Yang mengalami gangguan jantung, stroke itu banyak yang tinggal di sekitar peleburan baja,” katanya.
Dia bilang, data Puskesmas Telaga Murni bisa jadi rujukan untuk mendeteksi penyebab penyakit keluhan masyarakat. Meski demikian, Puskesmas tidak bisa menjelaskan penyebabnya, lantaran bertentangan dengan tugas pokok.
“Karena Puskesmas tidak melakukan penelitian.”
Budi mengatakan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) jelas menyatakan, lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi.
“Jadi, semua proses pembangunan harus mengedepankan keselamatan manusianya.”
Budi mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah melindungi warga dari ancaman kesehatan. Apalagi, aktivitas produksi peleburan baja sudah terjadi selama tiga dekade.
“Pemerintah harus melakukan monitoring, cek amdal-nya (analisis mengenai dampak lingkungan) secara rutin. Aturannya itu kan tiga bulan sekali.”
Mongabay berupaya menghubungi Alamsyah, selaku Kepala Dinas Kesehatan Bekasi tetapi belum mendapat jawaban. Dia sempat membalas untuk sabar menunggu karena padat jadwal memantau kondisi banjir.
Kami juga mengirimkan surat permohonan wawancara secara resmi ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi. Hingga berita ini terbit, belum ada jawaban.
Mongabay juga menghubungi Irfan Maulana, Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi tetapi tak tidak bersedia diwawancarai.
“Kalau kepentingannya untuk menyudutkan pihak lain tidak ada komentar. Karena ISPA bisa banyak faktor penyebabnya,” katanya lewat pesan kepada Mongabay.
Dalam jurnal Ilmu Kesehatan berjudul Gambaran Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Sekitar Industri Baja Menurut Jarak dan Kondisi Lingkungan yang Lilian Susanti Nova, Hendrik Edison Siahainenia dan Putri Novianti susun menyebutkan, balita di sekitar industri baja di Desa Sukadanau, Cikarang Barat, Bekasi, berisiko terserang ISPA.
Hasil penelitian menemukan, kondisi meteorologi dapat menentukan proses pencemaran udara karena merupakan media perantara dan penyebar pencemar sampai ke penerima.
Lilian dan kawan-kawan mengambil sampel dari 96 balita di daerah itu dengan metode wawancarai ibunya.
Pengukuran parameter kondisi lingkungan lewat, suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan jarak rumah dari industri yang terbagi dalam tiga zona. Zona I: radius kurang 500 meter, zona II radius 500-1.000 meter, dan zona III radius lebih 1.000 meter.
Hasilnya, anak balita mengalami kejadian ISPA pada suhu lebih dari 28,8° C sebanyak 43,1%, pada kelembaban lebih 80% sebanyak 43,1%, pada kecepatan angin kurang dari 0,5 m/s sebanyak 3,1%, dan jarak rumah pada zona II sebanyak 46,9%.
“Kondisi lingkungan sulit untuk dapat dikendalikan, yang dapat dikendalikan adalah menjaga kondisi tubuh supaya dapat bertahan pada kondisi yang kurang baik,” tulis mereka dalam jurnal itu.
Dari jarak rumah ke industri mereka bagi dalam tiga zona juga. Zona I jarak kurang 500 meter, zona II jarak 500-1.000 meter dan zona II jarak lebih 1.000 meter.
Balita bertempat tinggal pada zona II paling banyak menderita ISPA 15 anak (46,9%) dibandingkan dengan balita zona I ada 10 anak (31,3%) dan zona III ada 11 anak (34,4%). (Bersambung)

******
*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) melalui fellowship dekarbonisasi industri.
Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [2]