- Warga Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, hidup berdekatan dengan pabrik-pabrik peleburan baja. Mereka mengeluhkan polusi dan mulai terdampak, terutama anak-anak dan lansia banyak alami penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Berbagai kalangan pun suarakan perseroan segera bertransisi dan beroperasi tak sebabkan polusi.
- Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan, ketika ada perusahaan yang menimbulkan dampak lingkungan seharusnya pemerintah mengecek ketaatan dan kepatuhannya. Apalagi, sudah ada testimoni dari warga soal pelepasan polutan diduga mengandung B3.
- Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, perusahaan bisa lakukan beberapa hal, seperti dalam jangka pendek, perlu alat pengendali pencemaran udara lalu memodifikasi proses pengolahan agar limbah bisa digunakan kembali, misal, lewat heat recovery system. Untuk jangka panjang dengan beralih ke energi terbarukan dan bahan lain seperti hidrogen hijau.
- Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan, secara umum hidrogen hijau merupakan pembawa energi yang cocok untuk diaplikasikan ke sektor industri manapun, termasuk baja. Hidrogen dapat meningkatkan fleksibilitas sistem ketenagalistrikan. Ia jadi penyimpan energi yang dapat mendorong peningkatan pemanfaatan pembangkit energi variabel, seperti angin dan surya.
Warga Desa Sukadanau, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, hidup berdekatan dengan pabrik-pabrik peleburan baja. Mereka keluhkan polusi dan mulai terdampak, terutama anak-anak dan lansia banyak alami penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Hendra Hutauruk dari Konsorsium Pemuda Telaga Murni mengatakan, para pemuda beberapa kali protes mengenai pencemaran lingkungan. Warga mengeluhkan bunyi bising, getaran, bau bak enak maupun asap, namun tak pernah perusahaan gubris.
Perusahaan, katanya, pernah mediasi dengan warga dan berjanji mengurangi polusi udara dengan gunakan teknologi dari Jerman.
“Mereka tak menjelaskan dengan rinci teknologi seperti apa itu. Meskipun begitu proses peleburan sampai sekarang tidak berubah. Tetap menimbulkan asap yang ngebul,” kata Hendra.
Meskipun protes dan keluhan polusi dari masyarakat sekitar pabrik sudah sejak awal, kalau melihat berbagai media nasional maupun di laman resmi PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), informasi banyak muncul mengenai kesuksesan perusahaan mendapatkan label hijau macam ‘proper biru’ dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini Kementerian Lingkungan Hidup). Bahkan, tahun 2023, kali ke-11 perusahaan mendapatkan predikat ini.
Dengan predikat ‘proper biru’ ini berarti kementerian menilai, perusahaan ini taat antara lain, atas izin lingkungan, pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, pengelolaan limbah B3, non B3, maupun pengelolaan sampah.
Informasi berbagai aksi, dan komitmen ‘hijau’ perusahaan pun banyak di media nasional dari niatan nol emisi, sertifikat hijau, zero waste, bangun surya atap dan lain-lain.
Seperti dikutip dari laman ini, GRP pun klaim sedang proses peroleh sertifikat hijau berupa Environmental Product Declaration (EPD) untuk pasar Eropa.
GRP klaim mengantongi sertifikasi serupa untuk Amerika Serikat, Selandia Baru, Australia dan sejumlah negara tujuan ekspor lain.
Perusahaan menyatakan, ingin mewujudkan industri ramah lingkungan dan berkontribusi menurunkan emisi karbon (dekarbonisasi) dari sektor bisnis baja. Mereka meluncurkan peta jalan menuju nol emisi 2050.
Dalam situs resmi perusahaan 8 Januari 2025, GRP menggandeng DEG Impulse dan PT TUV SUD, perusahaan asal Jerman untuk mengurangi emisi karbon serta mencapai net zero emission pada 2050. Ini sekaligus mendukung upaya Indonesia mencapai target iklim 2030 dan memenuhi kebutuhan baja dalam upaya transisi ke energi lebih bersih.
Perusahaan juga mengambil langkah-langkah untuk memperkuat strategi lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social and governance/ESG) perusahaan. Hal ini sejalan dengan Indonesia’s enhanced nationally determined contribution (ENDC) dalam mengurangi emisi karbon.
GRP juga menyatakan, akan mengurangi sumber utama emisi dari penggunaan listrik PLN dan gas alam melalui penggunaan energi bersih. GRP telah menetapkan rencana untuk melibatkan para stakeholder di seluruh rantai pasokan dalam meminimalisir dampak lingkungan dan sosial dari baja.
Perusahaan juga akan membangun strategi ESG yang bertitik berat pada lima pilar utama:
- Pengadaan yang bertanggung jawab
- Kepatuhan lingkungan dan sosial
- Transisi energi dan solusi rendah karbon
- Berkontribusi pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab
- Pengembangan sumber daya manusia
Sebelumnya, pada 2023, GRP sempat berencana menerapkan teknologi Australia pada fasilitas produksinya untuk mengurangi emisi karbon industri baja melalui inisiasi peralihan dari gas alam ke hidrogen ramah lingkungan.
Inisiatif ini dengan dukungan Pemerintah Indonesia dan Australia melalui studi kelayakan teknis oleh Katalis, program pengembangan bisnis bilateral bentukan kedua pemerintah.
Begitu pula PT Garuda Yamato Steel (GYS), mengklaim tak hanya berfokus pada pertumbuhan juga keberlanjutan. Mereka menyatakan, berkomitmen mengadopsi metode produksi baja rendah karbon paling canggih, hemat energi, dan terbukti secara teknologi.
BF-BOF adalah tanur industri besar untuk melebur besi tereduksi dan bahan baku lain untuk menghasilkan baja. Basic oxygen mengacu pada penggunaan oksigen murni, biasa dalam bentuk gas, untuk mendukung pembakaran dan reaksi kimia yang terjadi selama proses.
Basic adalah proses campuran skrap (25-30%) dan logam panas (70-75%) dari tanur tiup terpapar oksigen yang dihembuskan dengan kecepatan tinggi ke dalam rendaman. Tungku semacam itu dapat berupa tungku tiup atas, tiup bawah, atau kombinasi keduanya.
Prinsip dasarnya sama, oksigen akan bergabung dengan semua elemen di dalam tungku untuk membentuk oksida atau masuk ke lapisan terak di atas bak. Ini proses dengan produktivitas sangat tinggi, bisa hasilkan besi cair seberat 220 ton dalam 45 menit atau kurang.
Proses peleburan baja dengan teknologi ini melibatkan beberapa langkah. Antara lain, pemuatan bahan baku mulai dengan memuat besi tereduksi dan bahan baku tambahan ke dalam tanur.
Bahan baku ini termasuk serbuk besi, batu kapur (CaCO3), dan scrap. Skrap baja adalah material daur ulang dari proses produksi dan konsumsi produk, seperti sisa produksi dari industri baja, rongsokan kendaraan, sisa bahan bangunan dan bahan surplus lain.
Lalu, peniupan oksigen. Oksigen murni tiupkan ke dalam tanur BOF melalui lance (nozzle) yang disuntikkan ke dalam campuran bahan baku. Penggunaan oksigen murni dibandingkan dengan udara bertujuan untuk mencapai suhu sangat tinggi dan mengurangi kontaminasi nitrogen dalam baja.
Lanjut dengan pembakaran dan oksidasi. Dalam proses ini, oksigen yang ditiupkan menyebabkan pembakaran besi tereduksi dan pembentukan gas oksida yang menghasilkan panas intens. Panas ini melelehkan bahan baku dan besi tereduksi.
Selanjutnya, reduksi dan pemurnian. Selama proses oksidasi, besi tereduksi berubah jadi besi cair. Selama tahap ini, sebagian besar kontaminan seperti karbon, silikon, dan fosfor juga dihapus dari logam.
Proses berikutnya, penambahan bahan tambahan. Bahan tambahan seperti batu kapur untuk menyeimbangkan kandungan oksida dalam campuran dan membantu dalam pembentukan slag. Slag bertindak sebagai pelindung dan menghilangkan sebagian besar kontaminan dari baja cair.
Kemudian, penentuan kualitas baja dengan uji dan analisis untuk memastikan baja memiliki komposisi sesuai dan bebas kontaminan yang tidak diinginkan. Jika perlu, lakukan penyesuaian kandungan kimia.
Terakhir, penuangan baja cair. Setelah proses selesai, tuangkan baja cair ke cetakan untuk membentuk baja yang diinginkan, seperti balok, plat, atau batangan.
Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, mengatakan, teknologi BF-BOF memiliki kelemahan dari segi dampak lingkungan. Proses pembuatan besi banyak menghasilkan gas CO2.
Dengan makin ketat peraturan mengenai lingkungan hidup, dan sudah ada Perjanjian Paris pada 2015, maka produksi baja kasar harus memiliki emisi karbon nol pada 2050.
“Jika terdapat menimbulkan dampak pencemaran, [harusnya] tidak ada lobby-lobby, tidak ada toleran. Bagi pelaku harus ada sanksi tegas.”
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, BF-BOF merupakan proses yang intensif energi karena perlu suhu untuk proses hingga 1.500 oC hingga menggunakan coke atau batubara kokas untuk prosesnya. Model ini menyebabkan emisi tinggi hingga 2 ton CO2/ton baja mentah.
“Pencemaran udara di sekitar akibat teknologi ini adalah sulfur oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) yang bisa menyebabkan hujan asam dan polusi udara.”
Belum lagi, katanya, partikulat halus dan debu yang bisa menyebabkan sesak napas, ISPA, dan asma.
Selain pencemaran udara, prosesnya yaitu limbah cair dari pencucian bijih besi dan exhaust gas cooling dapat menyebabkan pencemaran juga di badan air. Pencemarannya dapat dirasakan hingga radius lima kilometer.
Belum lagi, katanya, ketika pabrik tak hanya satu akan menyebabkan akumulasi pencemaran lebih masif.
Mongabay berupaya menghubungi manajemen GRP dan GYS lewat surat elektronik, namun belum ada jawaban. Dalam surel balasan, manajemen GRP belum bersedia menanggapi wawancara Mongabay.
Ananta Wisesa, Head of Corporate Communications GRP mengatakan, belum bisa menanggapi wawancara Mongabay karena jadwal padat.
“Kami ingin menyampaikan bahwa saat ini kami belum dapat memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya dengan mempertimbangkan jadwal narasumber yang cukup padat. Sehingga, kami mohon izin untuk menunda kesempatan wawancara secara tertulis,” katanya lewat surel, 24 Maret lalu.
***
Siapa pebisnis baja di Cikarang ini? Djamaluddin Tanoto, Kamaruddin Taniwan, dan Margareth Leroy merupakan tiga sekawan asal Medan di balik berdirinya GRP.
Kini, ketiganya tak lagi menjabat di perusahaan. Berdasarkan dokumen Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU), Djamaludin Tanoto memegang saham GRP 20.000 lembar senilai Rp2.800.000. Kamaruddin Taniwan 2,069.685 miliar lembar saham Rp289,755.900 miliar.
Sedangkan, Margaret Leroy menghibahkan saham GRP kepada dua anaknya, Edward Hasan dan Richie Leroy Hasan. Berdasarkan dokumen Ditjen AHU, Edward memegang saham GRP 459.930.000 lembar senilai Rp Rp64, 930.200 miliar dan Richie Leroy 459.930.000 lembar senilai Rp64, 390.200 miliar.
Pemegang saham lain, Dr Chairuddin sebanyak 2, 023.692 miliar lembar Rp283, 316.880 miliar. Merujuk dokumen RUPSLB, Chairuddin sudah berkecimpung di industri produksi baja sejak 1979. Kini, dia sebagai senior advisor di Gunung Steel Group, induk perusahaan GRP.
Anak Kamaruddin Taniwan yakni Fihahati Taniwan memegang 919.860.000 lembar saham senilai Rp128, 780.400 miliar dan Suliana Taniwan 976.450.200 lembar Rp136,703.028 miliar.
Kemudian, PT Apollo Visintama Putra memegang 2.345.623.000 lembar saham Rp 328, 387.220 miliar. Selanjutnya PT Gunung Garuda (Gunung Steel Group) memegang 1.681.887.357 lembar saham Rp235.464.229.980. Masyarakat pegang saham 1.174.298.600 lembar saham senilai Rp 64,401.804 miliar.
Untuk jajaran direksi GRP, Ferdaus sebagai presiden direktur. Dalam situs resmi GRP, pria 54 tahun ini bergabung dengan perusahaan sejak 20 Agustus 2021, sebagai direktur. Ferdaus naik jabatan pada 17 November 2023 berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).
Lalu, Biplap Kumar Dutta menjabat sebagai direktur. Biplap merupakan warga negara India. Pria 65 tahun ini juga telah berkecimpung di industri baja sejak 1997. Lalu, Raymond juga direktur. Pria 37 tahun ini pernah jadi Manager of Capital Market and Accounting Advisory Services di KAP Tanudiredja. Dia jadi Deputy Chief Financial Officer di GRP sejak 2020 dan jadi direktur sejak 17 Juni 2022.
Dalam jajaran Dewan Komisaris, Budi Raharjo Legowo menjabat sebagai Presiden Komisaris GRP. Jabatan itu mulai dia emban sejak Juni 2022 hingga kini. Dia juga Chief Financial Officer di PT Petro Bina Medika IHC sejak 2021 dan Partner/Co-Founder di PT Penta Investama Kapital sejak 2020. Sebelum sebagai Komisaris Utama GRP, dia Chief Financial Officer Perseroan (2020-2021).
Lalu komisaris independen yakni Freddy Karyadi dan jaya Yulianto. Freddy, saat ini aktif sebagai Partner di Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) Counsellors at Law sejak 2012. Serta sebagai Anggota Dewan Etik di Asosiasi Fintech Indonesia sejak 2021, dan ahli pajak di Protemus Capital sejak 2021. Selanjutnya, Jaya Yulianto sebagai komisaris independen GRP sejak 2023 hingga sekarang.
Sedangkan, pemegang saham GYS oleh empat perusahaan yakni GRP 637.593 lembar Rp318,796.500 miliar, PT Hanwa Indonesia menguasai 1.912.786 lebar Rp956, 393 miliar. Lalu, Siam Yamato Steel 4.463.167 senilai Rp2, 231.583.500 triliun dan Yamato Kogya memiliki 5.738.357 senilai Rp2, 869.178.500 triliun.
Jajaran direksi GYS dipimpin Tony Taniwan, anak Komaruddin Taniwan. Wakil Direktur Utama GYS yakni Mamoru Nakata, warga negara Jepang. Jajaran direktur ada Akihiko Hanamoto (Jepang), Damrongsak (Thailand), Jaydsada Plungmanee (Thailand), Kazuhiro Tsukamoto (Jepang) Tomofumi Osaki (Jepang) dan Yukiaki Takada (Jepang).
Mikio Kobayasi (Jepang) sebagai komisaris utama GYS. Jajaran komisaris, yakni Damri Thunshevavong (Thailand) dan Hiromasa Yamamoto (Jepang).

Perlu pengawasan serius pemerintah
Pius Ginting mengatakan, emisi yang keluar dari pabrik seperti partikel halus ataupun asap seharusnya ada tercantum dalam upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL-UPL) perusahaan. Salah satu upaya penanganan, katanya, dengan menggunakan alat pengendalian pencemaran udara.
“Untuk mengetahui seberapa parah tingkat pencemaran, maka harus pengambilan sampel di lapangan segera.”
Iwang pun mengatakan, ketika ada perusahaan yang menimbulkan dampak lingkungan seharusnya pemerintah mengecek ketaatan dan kepatuhannya. Apalagi, sudah ada testimoni dari warga soal pelepasan polutan diduga mengandung B3.
“Testimoni warga sudah jelas menimbulkan pencemaran air dan udara. Pemerintah perlu melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap kegiatan perusahaan,” katanya, 6 Maret 2025.
Mengacu pada UU PPLH, perusahaan yang terbukti menimbulkan dampak pencemaran lingkungan bisa kena sanksi.
Dari pengamatan Walhi Jawa Barat, pencemaran itu timbul karena proses peleburan baja yang menghasilkan zat karbondioksida (CO2) dan gas metan (CH4) Zat kimia itu menyebar tertiup angin dan mendarat di pemukiman warga.
Debu peleburan baja itu juga berisiko mencemari sungai yang berada di dekat pabrik.
“Ini yang juga perlu diketahui pemerintah, bagaimana proses pengawasan dari timbulan emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari proses peleburan baja,” kata Iwang.
Selain itu, katanya, proses peleburan baja perlu sumber energi besar. Proses peleburan baja ini pun bisa menimbulkan pelepasan emisi besar.
“Bisa sampai 1.850 ton pelepasan emisi karbon yang disebabkan oleh kegiatan itu,” ucapnya.
Dia bilang, proses peleburan baja GRP berisiko menimbulkan dampak lingkungan signifikan yang mempengaruhi beberapa aspek penting dalam siklus hidup material itu. Beberapa dampak lingkungan dari proses produksi baja melibatkan emisi gas rumah kaca yakni CO2 dan gas metana (CH4) dari penggunaan kokas dalam proses peleburan baja.
Iwang bilang, proses produksi menghasilkan limbah cair dan padat yang mengandung logam berat dan senyawa kimia berbahaya. Pengelolaan limbah yang tidak tepat dapat menyebabkan kontaminasi tanah dan air, merugikan ekosistem sekitar.
Selanjutnya, pencemaran udara. pada proses-proses tertentu, seperti penggunaan kokas dalam tanur tinggi dalam proses peleburan baja dapat menghasilkan polusi udara berupa partikulat, oksida sulfur, dan nitrogen, yang dapat merugikan kesehatan manusia dan lingkungan.
“Proses produksi baja juga memerlukan sumber alam yang besar, termasuk bijih besi, batu kapur, dan batubara yang dapat mengakibatkan deplesi dan degradasi sumber daya alam. Pencemaran air dan tanah, bersama dengan perubahan lingkungan fisik, dapat mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati di sekitar fasilitas produksi baja,” katanya.
Pemerintah, seharusnya melakukan pengawasan dan evaluasi serta tegas mengambil sikap.

Mongabay berupaya mewawancarai Syafri Donny Sirait, selaku Kepala DLH Kabupaten Bekasi, namun hingga berita ini terbit belum ada jawaban. Begitu juga surat permohonan wawancara ke Kantor DLH Kabupaten Bekasi dan menghubungi Syafri lewat pesan singkat serta telepon.
Dia sempat meminta Mongabay menghubungi seseorang bernama Jhon, merupakan Humas DLH Kabupaten Bekasi untuk mengatur jadwal wawancara. Mongabay kemudian menghubungi Jhon lewat pesan singkat.
Dalam pesan balasan dia akan mengatur wawancara itu tetapi sampai berita ini terbit belum ada kelanjutan.
Pemerintah Indonesia juga baru membentuk Satuan Tugas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 141/2025.
Ardyanto Nugroho, Direktur Pengaduan dan Pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup, mengatakan, dalam basis data penegakan hukum, tidak ditemukan informasi terkait riwayat penataan GRP. Artinya, Kementerian Lingkungan Hidup belum pernah melakukan pengawasan terhadap perusahaan itu.
Dia berjanji, KLH segera lakukan pengawasan. Bila kedapatan melanggar, maka kementerian bakal memberikan sanksi.
“Laporan ini adalah salah satu bentuk pengaduan masyarakat untuk segera kami tangani sesuai prosedur. Jika hasil analisa kami memadai, perlu verifikasi lapangan,” katanya kepada Mongabay.
Segera bertransisi, jangan hanya komitmen
Komitmen perusahaan baja untuk beroperasi dengan ramah lingkungan bisa jadi kabar baik kalau terlaksana alias bukan hanya janji.
Iwang meminta, perusahaan baja segera menggunakan teknologi yang ramah lingkungan. Sebab, katanya, teknologi perusahaan gunakan selama ini masih menimbulkan pelepasan emisi dan polutan.
“Nah spesifikasinya seperti apa, kan standarnya itu ada di KLH. Itu artinya ada fungsi KLH yang untuk mengatur bagaimana teknologi cara peleburan, pembakaran mereka yang tidak merusak atau memberikan dampak pencemaran yang sangat signifikan baik ke udara maupun ke air,” katanya.
Dalam kajian Walhi Jawa Barat menyebut, ada beberapa pilihan teknologi dalam proses pembuatan baja dari bijih besi, antara lain teknologi blast furnace-basic oxygen furnace (BF-BOF), direct reduction iron-electric arc furnace (DRI-EAF), dan open hearth furnace (OHF). Masing-masing teknologi menghasilkan emisi CO2 besar.
Selain itu proses produksi baja juga berisiko melepaskan mengalami kebocoran metana (CH4) lantaran pemanfaatan gas alam sebagai bahan bakarnya. Selama lima tahun terakhir, tren konsentrasi CH4 Indonesia terus meningkat dengan laju peningkatan +7,7 ppb/tahun. Situasi itu menjadikan Indonesia masuk dalam 10 negara emiter metana terbesar karena mengalami peningkatan jumlah emisi dari konsentrasi CH4.
Tren gas rumah kaca selama periode 2020-2024 menunjukkan, pola konsisten CO2 terus meningkat dengan nilai rata-rata saat ini lebih dari 420 ppm, atau sekitar 150% dari tingkat pra industri (280 ppm). Meskipun terdapat variasi musiman, tren keseluruhan menunjukkan peningkatan stabil dalam konsentrasi CO2 di atmosfer.
Kondisi ini, katanya, menandakan emisi dari pembakaran bahan bakar dan deforestasi masih jadi faktor dominan dalam konsentrasi gas rumah kaca utama.
Pius Ginting juga mengatakan, perusahaan perlu alat pengendali pencemaran udara yang menggunakan prinsip elektrostatis seperti electrostatic precipitators atau bag filters untuk mengurangi partikulat halus yang menyebabkan masalah kesehatan.
Kemudian dengan memodifikasi proses pengolahan agar limbah bisa digunakan kembali, misal, lewat heat recovery system.
“Agar uap yang hendak dibuang dapat digunakan kembali untuk memanaskan tungku atau proses lain, nama lain dari sistem ini adalah circular closed-system.”
Selain itu, katanya, lewat Dinas Lingkungan Hidup ataupun kementerian, pemerintah harus melakukan pemantauan secara berkala di tiap industri.
Namun, katanya, cara di atas merupakan solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang dengan beralih ke energi terbarukan dan bahan bakar lain seperti hidrogen hijau.

Industri, katanya, juga perlu penyesuaian dengan beralih ke energi hijau, karena pasar juga akan memilih produk lebih ramah lingkungan. Adanya carbon border adjustment mechanism (CBAM) oleh Uni Eropa akan ada tambahan tarif pada produk-produk yang memiliki emisi karbon tinggi, seperti baja, mulai 1 Januari 2026. Kebijakan ini berpotensi meningkatkan harga barang-barang asal Indonesia di pasar Eropa. Ia bisa mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar itu.
“Upaya ini harus didukung pemerintah untuk menerapkan regulasi dan insentif kepada pelaku-pelaku industri,” katanya.
Dia bilang, hidrogen hijau jadi salah satu alternatif bahan bakar dalam proses pengolahan baik dalam skema pengolahan menggunakan blast furnace (BF) ataupun electric arc furnace (EAF) di industri baja karena rendah emisi.
Hidrogen hijau juga bahan bakar pengganti batubara kokas (coke) ataupun gas alam dalam memurnikan bijih besi sebelum proses pengolahan di BF ataupun EAF.
Meski begitu, katanya, hidrogen hijau yang berasal dari proses elektrolisis dan listrik sebagai komponen pembentuknya hingga perlu cari sumber air yang sesuai dan listrik dari energi terbarukan.
“Ini agar hidrogen yang ada benar-benar hijau. Industri baja yang semakin membesar akan menjadi tantangan sendiri untuk dekarbonisasi ke depannya,” katanya.
Untuk itu, katanya, perlu upaya mendorong hidrogen hijau sebagai energi dalam industri, termasuk baja.
Kalau merujuk Lampiran IV tentang Arah Pembangunan Kewilayahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pengembangan hidrogen hijau hanya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, Aceh.
“Ini kritik untuk Pemerintah Indonesia karena belum merencanakan pengembangan hijau dalam waktu dekat untuk industri padat-karbon seperti baja,” ucap Pius.
Senada Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR). Hidrogen hijau, katanya, bisa jadi salah satu cara dalam upaya dekarbonisasi menggantikan gas alam serta energi lain yang hasilkan emisi gas rumah kaca.
Pencipta air, atau hidrogen dalam bahasa Yunani ini merupakan energi sangat ringan dan ketika dibakar satu-satunya emisi yang dihasilkan adalah uap air.
“Hidrogen juga dapat digunakan dalam sel bahan bakar di mana ia bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan listrik tanpa menghasilkan emisi atau polutan,” katanya dalam diskusi 18 Maret lalu.
Hidrogen hijau, katanya, selaras dengan peta jalan net zero emission. Hidrogen hijau, katanya, hasil dari proses elektrolisis air dengan gunakan listrik dari sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin.
Fabby bilang, secara umum hidrogen hijau merupakan pembawa energi yang cocok untuk diaplikasikan ke sektor industri manapun, termasuk baja. Hidrogen dapat meningkatkan fleksibilitas sistem ketenagalistrikan. Ia jadi penyimpan energi yang dapat mendorong peningkatan pemanfaatan pembangkit energi variabel, seperti angin dan surya.
“Hidrogen juga dapat menjadi bahan baku untuk reaksi kimia yang memproduksi amonia dan bahan bakar sintetis seperti e-fuel dan bahan baku lain yang diperlukan industri” kata Fabby.
Penggunaan hidrogen hijau untuk berbagai kebutuhan industri dapat meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi polusi udara di masa depan. Dia bilang, hidrogen untuk mencapai transformasi energi dan dekarbonisasi di seluruh sektor.
Namun, penggunaan hidrogen hijau masih sangat terbatas karena harga produksi hidrogen hijau saat ini berkisar antara US$6-US$10 per kilogram. Jumlah ini, setara 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan hidrogen dari gas alam.
Meski begitu, dia meyakini, hidrogen hijau akan menjadi energi kompetitif karena teknologi produksi hidrogen hijau sudah mencapai kematangan. Bila perhatikan biaya produksi, katanya, mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
“Teknologi produksi hidrogen hijau kini memasuki fase transformasi.”
Fabby bilang, ada berbagai inovasi pengembangan elektrolisis membran pertukaran proton dan teknologi elektrolisis berbasis alkalin. Ia terbukti mampu menurunkan biaya produksi, sekaligus meningkatkan efisiensi produksi hidrogen.
Kemajuan ini, katanya, memungkinkan integrasi hidrogen hijau sebagai media penyimpanan energi yang dapat mengantisipasi fluktuasi pasokan dari sumber energi terbarukan.
Menurut laporan International Energy Agency (IAE), teknologi hidrogen hijau mencapai kemajuan signifikan dalam efisiensi dan penurunan biaya produksi. Selain itu, peningkatan kapasitas pembangkit listrik terbarukan di berbagai negara makin mendukung laju transformasi ini.
IAE menilai, dengan inovasi teknologi yang terus berkembang, hidrogen hijau memiliki peluang untuk kompetitif dengan sub hidrogen lain. Bahkan, katanya, sebelum 2030 dengan harga produksi bisa US$1,5 per kilogram.
“Hidrogen potensi. Tentu membuka jalan bagi revolusi energi yang tidak hanya mengurangi emisi karbon tetapi meningkatkan ketahanan Global,” katanya.
Apapun komitmen perusahaan, terpenting pelaksanaan dari janji-janji itu . Langkah ini bukan sekadar upaya tekan emisi atau dekarbonisasi, tetapi agar masyarakat sekitar tak jadi korban, terserang polusi pabrik baja hingga kehidupan maupun kesehatan mereka terganggu.
Hendra bilang, warga tak saklek menuntut pemerintah menutup pabrik. Terlepas dari berbagai persoalan, mereka menyadari perusahaan telah mempekerjakan warga sekitar. Warga hanya meminta, perusahaan dapat memperhatikan dan atasi pencemaran lingkungan yang terjadi.
“Yang kita khawatirkan kan ISPA, belum lagi berdampak pada kulit. Maka kita mau, bagaimanapun caranya pabrik itu tidak mengeluarkan polusi udara dan mencemari lingkungan.” (Selesai)

*******
*Liputan ini merupakan kolaborasi Mongabay Indonesia bersama Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) melalui fellowship dekarbonisasi industri.