Masyarakat Adat Was-was Meratus jadi Kawasan Konservasi

1 day ago 9
  • Rencana pemerintah mengubah status hutan lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel), seluas 119.000 hektar jadi taman nasional (TN)  menimbulkan gelombang penolakan. Dua komunitas masyarakat adat, Dayak Meratus dan Dayak Pitap, di bentang alam itu jadi yang paling pertama menyuarakan keberatan.
  • Mirdianto, tokoh masyarakat adat Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, menyebut, Masyarakat adat telah mendiami kawasan itu jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Tapi, hingga kini, belum ada gelagat dari pemerintah pusat atau daerah, untuk melibatkan mereka dalam pembahasan proyek tersebut.
  • Aliansi Meratus, koalisi yang terdiri dari elemen masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, menyebut ide TN ini sudah bergulir sejak tiga dasawarsa. Rubi, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel, anggota koalisi, menyebut elemen masyarakat sipil mendukung penolakan yang disuarakan masyarakat adat Dayak Meratus. Sikap mereka tidak berubah hingga sekarang. ”Terlebih rencana ini digodok tanpa melibatkan pihak yang terhubung langsung dengan Pegunungan Meratus, terutama masyarakat adat,” katanya.
  • Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, mengatakan, pembentukan TN Meratus telah berjalan sejak September 2024. Mereka sudah menyusun data dan informasi sebagai dasar kajian, serta rapat kajian kebijakan pengelolaan Pegunungan Meratus. Ia pun menepis anggapan pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat. “Ini baru tahap usulan. Nanti setelah tim terpadu dibentuk oleh Kementerian Kehutanan akan ada forum grup diskusi dengan masyarakat setempat,”

Rencana pemerintah mengubah status hutan lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan (Kalsel), seluas 119.000 hektar jadi taman nasional (TN)  menimbulkan gelombang penolakan. Dua komunitas masyarakat adat, Dayak Meratus dan Dayak Pitap, di bentang alam itu jadi yang paling pertama menyuarakan keberatan.

“Menjauhkan kami dari hutan, sama saja mematikan kehidupan kami,” kata Mirdianto, tokoh Masyarakat Adat Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, beberapa waktu lalu. 

Masyarakat adat sudah mendiami kawasan itu jauh sebelum Indonesia ada tetapi hingga kini, belum ada gelagat pemerintah pusat atau daerah, melibatkan mereka dalam pembahasan rencana itu.

“Hutan Meratus adalah amanah dari leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. Ketika tanah leluhur dikuasai oleh orang luar justru akan merusak ekosistem sosial dan budaya,” katanya.

Bagi masyarakat adat di Meratus, hutan bukan sekadar bentang alam, juga pusat kehidupan. Mereka bergantung pada hutan untuk pangan, bahan bangunan, hingga obat-obatan.

Hutan juga jadi bagian integral dari spiritual masyarakat adat. Di sana, mereka melakukan ritual, penghormatan pada alam, hingga pemujaan pada Sang Pencipta.

Menurut Mirdianto, Dayak Pitap yang hidup di lereng pegunungan Meratus, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, pun merasakan hal sama. 

“Saya pribadi menolak rencana tersebut. Ini menyangkut masa depan anak cucu kami,” katanya. 

Masyarakat adat di Meratus, katanya, khawatir rencana pemerintah membentuk taman nasional ini. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan penetapan taman nasional kerap berujung pada penyingkiran masyarakat adat dari tanah leluhur mereka.

Pemerintah menggunakan dalih pelestarian sebagai legitimasi penggusuran dan menjauhkan mereka dari ruang hidup yang mereka jaga turun-temurun. Masyarakat adat jadi sulit mengakses kawasan setelah jadi taman nasional.

Padahal, katanya, bagi masyarakat adat, kehilangan akses ke hutan tidak hanya berdampak pada hilangnya sumber penghidupan, juga menggerus identitas dan tradisi.

Perkampungan masyarakat Dayak Pitap di tengah Pegununungan Meratus di Kecamatan Tebing Tinggi, Balangan, Kalsel. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia

Orientasi kapitalistik

Aliansi Meratus, koalisi yang terdiri dari elemen masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, menyebut,  ide taman nasional ini sudah bergulir sejak tiga dasawarsa. Rubi, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalsel, anggota koalisi, menyebut, elemen masyarakat sipil mendukung penolakan Masyarakat Adat Dayak di Meratus.

Sikap mereka tidak berubah hingga sekarang. ”Terlebih rencana ini digodok tanpa melibatkan pihak yang terhubung langsung dengan Pegunungan Meratus, terutama masyarakat adat,” katanya. 

Seakan tidak kapok, pemerintah kembali mencetuskan wacana taman nasional tanpa melibatkan masyarakat adat sebagai pihak yang terdampak, serta aktivis lingkungan dan LSM yang selama ini memiliki peran dalam menjaga Pegunungan Meratus.

“Ini jelas bentuk pelecehan.” 

Pemerintah, katanya, menawarkan konsep taman nasional yang mengandung pendekatan kapitalistik yang mengancam kehidupan masyarakat adat. Padahal, selama ratusan tahun, masyarakat adat hidup berdampingan dengan alam dan terbukti mampu menjaga kelestarian Pegunungan Meratus dengan segala kearifan lokal, budaya, nilai-nilai, dan adat istiadat. 

“Bagi kami, Meratus bukan hanya hutan atau gunung—tapi ruang hidup dan sumber penghidupan. Kehadiran taman nasional justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung masyarakat adat.”

Raden Rafiq Sepdian, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, pelestarian Pegunungan Meratus seharusnya sekaligus mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat adat, bukan melalui proyek taman nasional. 

“Masyarakat adat sudah terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan dengan nilai-nilai budaya yang mereka anut. Justru, ide taman nasional bertentangan dengan cara masyarakat adat memanfaatkan ruang hidup mereka, dan itu berpotensi mengancam eksistensi mereka,” katanya. 

Konsep taman nasional, katanya, tidak relevan dengan model konservasi yang sudah masyarakat adat di Meratus praktikan sejak lama. Masyarakat adat di Pegunungan Meratus sudah mampu menjaga keseimbangan ekologis antara kawasan perlindungan, budidaya, dan produksi. 

Dia mendesak pemerintah melakukan pengakuan terlebih dahulu terhadap  masyarakat adat di Meratus sebelum membicarakan model konservasi di Kalsel. Pendekatan pemerintah, khusus Pemerintah Kalsel, lebih banyak melibatkan akademisi dan ilmuwan dari luar daerah tanpa melibatkan masyarakat yang tinggal di Meratus. 

“Mereka yang dari luar belum tentu memahami dinamika sosial dan lingkungan masyarakat Dayak Meratus, tapi malah diberi peran dalam menyusun rencana tata ruang termasuk soal taman nasional.” 

 M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

Akui dan lindungi dulu masyarakat adat

Aliansi Meratus, tegas menolak perubahan status Pegunungan Meratus dari hutan lindung menjadi taman nasional. Pemerintah harus menghentikan proses pembahasan rencana ini sampai benar-benar mengakui masyarakat adat. 

“Jika aspirasi ini terus diabaikan, masyarakat tidak akan segan mengambil tindakan tegas. Kami mengajak seluruh kekuatan masyarakat sipil, khususnya komunitas adat di Kalsel dan seluruh Indonesia, untuk bersatu melawan dan menolak pendirian taman nasional di Pegunungan Meratus,” katanya. 

table visualization

Anggi Prayoga, Juru Kampanye FWI, mengkritik rencana penetapan TN Meratus. Kebijakan ini keliru, mencerminkan disorientasi tata kelola hutan di Indonesia.

“Sebelum bicara status kawasan, harus dibuktikan dulu, apakah komunitas adat di sana mengakui klaim negara atas wilayah mereka? Jangan sampai kawasan hutan negara ditetapkan tanpa legitimasi dari komunitas adat.” 

Menurut dia, legalitas dan legitimasi dari masyarakat adat merupakan hal mutlak dalam penetapan kawasan hutan. Kebijakan sepihak tanpa dasar pengakuan dari masyarakat hanya akan melahirkan konflik dan pelanggaran hak. 

Salah satu bukti penting pengakuan itu, kata Anggi, adalah ada Berita Acara Tata Batas yang disepakati bersama. “Jangan asal tetapkan kawasan hutan. Kawasan itu harus sah secara hukum dan juga diakui oleh komunitas lokal,” katanya. 

Pemberlakuan taman nasional bereisiko  mengeksklusi masyarakat adat secara besar-besaran. Sementara, pemerintah bisa menggunakan Perpres 5/2025 dan MoU antara Kementerian Kehutanan dan TNI untuk penertiban kawasan hutan, serta Undang-undang Nomor 32/2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) untuk melakukan itu.

“Kalau ini terus dilanjutkan, bukan hanya mempersempit akses masyarakat terhadap ruang hidup dan sumber daya mereka—tapi bisa benar-benar menghilangkan eksistensi komunitas adat itu sendiri.”  

Dari sisi konservasi dan tata kelola hutan, FWI menilai ide taman nasional  bukanlah langkah tepat. Pendekatan pengelolaan yang sentral di pemerintah pusat tidak efektif dan boros anggaran. 

“Pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai UU 32/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ini sentralisasi yang tidak efisien. Padahal, pengelolaan hutan seharusnya dilakukan di tingkat tapak, bukan dari Jakarta,” katanya. 

Sebagai alternatif, FWI mendorong model perlindungan berbasis partisipasi masyarakat. Seperti penguatan skema Hutan Adat, Hutan Desa, atau wilayah kelola rakyat. 

Model ini jauh lebih efektif karena memanfaatkan pengetahuan lokal dan melibatkan komunitas yang sudah terbukti menjaga kelestarian hutan. 

“Saat ini, sudah ada komunitas adat di tingkat tapak yang terbukti mampu mengelola sumber daya alamnya. Percayakan saja kepada mereka. Perkuat kelembagaan lokal, dorong penetapan hutan adat, dan libatkan semua pihak—mulai dari KPH, bupati, camat, kepala desa, sampai komunitas itu sendiri.” 

Suasana sakral saat ritual Batumban, tradisi tolak bala khas masyarakat adat di Datar Batung, Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah. Ritual ini mencerminkan kearifan lokal yang terus dijaga turun-temurun. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

Apa kata pemerintah?

Fatimattuzahra, Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, mengatakan, pembentukan TN Meratus berjalan sejak September 2024. Mereka sudah menyusun data dan informasi sebagai dasar kajian, serta rapat kajian kebijakan pengelolaan Pegunungan Meratus. 

Pada Oktober 2024, Gubernur Kalsel mengajukan permohonan perubahan fungsi kawasan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia mencakup surat permohonan, peta kawasan, proposal pengajuan, dan surat pernyataan.  

Dia pun menepis anggapan pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat. “Ini baru tahap usulan. Nanti setelah tim terpadu dibentuk oleh Kementerian Kehutanan akan ada forum grup diskusi dengan masyarakat.”  

Pemerintah akan membentuk tim terpadu setelah pengalokasian anggaran. Perkiraannya,  Juni 2025, tim akan langsung bekerja melakukan penelitian di bulan yang sama.

Dari hasil penapisan, mereka menyepakati 119.000  hektar di kawasan Pegunungan Meratus berpotensi jadi taman nasional. Ia mencakup lima wilayah kabupaten di Kalsel, yaitu Banjar, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Kotabaru. 

“Tetapi tidak otomatis dari 119 ribu hektar itu bakal disetujui seluruhnya sebagai taman nasional. Semua akan ditinjau terlebih dahulu,” katanya. 

Selain mengevaluasi wilayah usulan Pemerintah Kalsel, tim juga bakal berinteraksi langsung dengan masyarakat dan para pemangku wilayah. Mereka akan mengeluarkan titik-titik yang berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat.

Setelah pengkajian, berikutnya adalah tahapan rekomendasi tim, keputusan menteri, penataan batas, dan penetapan taman nasional. 

Pembentukan Taman Nasional Meratus, katanya, strategis melindungi keanekaragaman hayati di kawasan itu.

“Ini juga untuk memastikan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.”  

Pegunungan Meratus seluas 504.000 hektar  merupakan pusat keanekaragaman hayati, berdasarkan Peraturan Daerah Kalsel Nomor 6/ 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah  Kalsel 2023-2042. Kawasan ini untuk perlindungan ekologi, geologi, dan antropologi. 

Panorama Hutan Hujan Meratus yang dipotret dari Puncak Peniti Ranggang, Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

*****

Rencana Penetapan Taman Nasional Meratus, Was-was Singkirkan Masyarakat Adat

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|