Tambang Batubara Datang, Warga Rantau Bakula Sulit Air Bersih

11 hours ago 2
  • Warga Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kembali mengeluhkan aktivitas perusahan tambang batubara bawah tanah (underground) PT Merge Mining Industry (MMI) di kawasan mereka. Menggunakan mobil dan motor, warga mendatangi sekretariat Walhi Kalsel di Banjarbaru yang jaraknya 70 kilometer dari tempat tinggal mereka. Di sana, warga bertemu wartawan, menyebut sanitasi di tempat tinggal mereka memburuk. Warga kesulitan air bersih. 
  • Ibu rumah tangga jadi pihak yang paling terbebani. Mistina, perwakilan warga, mengaku kehidupan para ibu makin berta. Mereka bahkan harus kerja ekstra hanya untuk mencuci pakaian, terutama yang berwarna terang, karena air yang tersedia begitu keruh dan kotor.
  • Mimin, ibu rumah tangga lainnya, menambahkan, kondisi lebih miris menimpa perempuan yang baru melahirkan. Mereka juga harus menggunakan air galon untuk memandikan bayi mereka. Jika terpaksa sekali menggunakan air yang ada, kulit jadi gatal-gatal.
  • Dari hasil RDP di DPRD, rencananya akan dibentuk tim investigasi, tetapi hingga Rabu 16 April 2025 pihak DPRD Kalsel belum pernah mendatangi Desa Rantau Bakula. Warga pun kecewa dan menilai tim itu tidak serius menangani masalah ini. Padahal mereka sudah bersedia memberikan dukungan dan data di lapangan.

Warga Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kembali mengeluhkan aktivitas perusahan tambang batubara bawah tanah (underground) PT Merge Mining Industry (MMI). Warga kesulitan air bersih dan sanitasi di tempat tinggal mereka memburuk. 

Menggunakan mobil dan motor, warga mendatangi Sekretariat Walhi Kalsel di Banjarbaru yang berjarak 70 kilometer dari tempat Rantau Bakula. Warga menceritakan persoalan mereka.  

Dulu, warga memanfaatkan embung alami dengan kondisi air  jernih, tetapi sekarang mereka memperlebar jadi embung buatan. Air yang sama juga perusahaan gunakan untuk mencuci batubara.

Para perempuan paling terbebani. Mistina, perempuan Rantau Bakula, menceritakan sulitnya dapat air bersih. Mereka bahkan harus kerja ekstra hanya untuk mencuci pakaian, terutama yang berwarna terang, karena air  keruh dan kotor.

Perusahaan memang menyalurkan air ke rumah warga. Air terlihat bersih, dengan banyak tawas dan mencuci pakaian tetap sulit. Belum lagi untuk kebutuhan air konsumsi. 

Keperluan air konsumsi pun harus beli galon.  “Sekarang, kami untuk air beli. Per galon Rp8.000. Minimal bisa empat galon sehari. Padahal, dulu kami air tidak pernah beli,” ujar perempuan 52 tahun itu. 

Mimin, ibu rumah tangga lainnya, menambahkan, kondisi lebih miris menimpa perempuan yang baru melahirkan. Mereka harus menggunakan air galon untuk memandikan bayi. Kalau terpaksa sekali menggunakan air yang ada, kulit jadi gatal-gatal.

“Memandikan bayi ya pakai air galon.”

Kondisi ini, melengkapi penderitaan yang mereka alami sejak perusahaan batubara dengan skema penanaman modal asing (PMA) seluas 1.170 hektar masuk ke kampung pada 2009. Puluhan rumah retak dan rusak karena getaran mesin pencuci batubara.  Lokasi perusahaan dekat dengan pemukiman. 

Coal Washing Plant yang digunakan perusahaan saat mencuci batubara. Mesin beraktivitas hampir 24 jam, dan mengganggu kenyamanan warga di Desa Rantau Bakula. Rendy Tisna/Mongabay Indonesia.

Warga Desa Rantau Bakula adalah masyarakat transmigrasi yang sudah memiliki sertifikat hak milik sejak 1993.

“Hampir semua rumah di RT kami retak dan rusak. Iya, akibat operasional mesin pencuci batubara. Getarannya hampir 24 jam,” ujar Mariadi, warga Rantau. 

Parahnya, belasan tahun sudah perusahaan beroperasi, tidak pernah ada ganti rugi yang berarti.

Tak hanya itu, aktivitas perusahaan memengaruhi kesuburan tanah. Perkebunan warga, seperti pohon karet dan jati, mengering hingga akhirnya mati. 

“Kebun Karet saya dulu seminggu menghasilkan setidaknya 50 kilogram, sekarang,  hanya sekitar 25 kilogram,” aku Paryun, warga Rantau Bakula yang lain.

Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, mengatakan, aktivitas perusahaan di Desa Rantau Bakula saat ini cukup mengganggu warga. Walhi Kalsel yang mendampingi warga akan berkoordinasi dengan sejumlah jaringan nasional dan internasional supaya ada penyelesaian kasus ini dengan serius.

“Saya sangat menyayangkan lambatnya kehadiran negara di Desa Rantau Bakula. Kami mendesak pemerintah segera menindak, mengevaluasi bahkan mencabut izin perusahaan jika terbukti melanggar,”katanya.

Warga Rantau Bakula, Kalimantan Selatan, menyambangi kantor Walhi Kalsel, menceritakan sulitnya hidup mereka setelah ada tambang underground di kampung mereka. Foto: Rendy Tisna / Mongabay Indonesia

Kriminalisasi aksi

Sekitar 28 keluarga di RT 04, RW 02 Desa Rantau Bakula pernah protes aktivitas tambang batubara MMI pada 2024.  

Karena sulit bernegosiasi, warga menggelar aksi di depan pagar perusahaan, sejak pagi hingga siang, 3 Mei 2024. Lokasi di tengah jalan desa. Perusahaan biasa gunakan jalan ini untuk keluar-masuk, dari dan ke camp pintu gerbang pekerja tambang.

Dekat pos keamanan, warga juga mendirikan tenda bambu beratapkan terpal sebagai tempat berteduh. TNI-Polri menjaga ketat demonstrasi itu. Pekerja tambang tidak boleh keluar karena alasan keamanan. 

Sore harinya, perusahaan menanggapi demo warga. Ada enam poin yang mereka sepakati dan tandatangani. Kepala Desa, Camat Sungai Pinang. Pihak perusahaan, dan tiga perwakilan masyarakat jadi saksi.

Namun, surat salinan tidak pernah warga dapat sampai sekarang. Justru, sejumlah warga di RT 04 menerima surat klarifikasi dan permintaan keterangan dari Polres Banjar, pertengahan Mei 2024. Mereka menduga undangan itu buntut dari aksi yang mereka gelar saat itu.

Noor Janah, kuasa hukum warga, menilai, perusahaan menganggap kliennya mengganggu aktivitas izin usaha pertambangan (IUP). JJ, sapaan karibnya, menjelaskan, tidak semua warga dapat hadir di kantor polisi karena kesibukan masing-masing, dan jarak tempuh desa ke Kota Martapura.

Dari pantauan di aplikasi google map, warga harus berkendara kurang lebih 136 km, pulang-pergi dari Rantau Bakula ke markas Polres Banjar. Dia pun menyayangkan  pemanggilan itu, karena aksi damai warga sudah mengantongi surat izin kepolisian.

“Yang kami pertanyakan apakah menutup jalan hauling atau saat mereka kerja tambang? Kami aksi damai di muka gerbang dan itu jalan desa. Itu jalan bukan perusahaan yang buat.” 

Seorang warga Rantau Bakula, sedang menggunakan air yang bersumber dari embung buatan untuk mencuci pakaian. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Datangi DPRD

Sebelumnya, warga juga pernah melaporkan kasus mereka ke DPRD Kalsel, 26 Februari 2025. Puluhan orang RT04 Desa Rantau Bakula, dengan pendampingan Walhi Kalsel, mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III yang membahas pertambangan batubara bawah tanah di wilayah mereka.

Hadir dalam RDP perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel, Inspektorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, serta manajemen perusahaan tambang.

Pendamping warga menuntut transparansi penuh dari perusahaan tambang batubara. Juga, evaluasi seluruh dokumen perusahaan, perizinan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), serta peta konsesi dan tata batas wilayah tambang.

Tampak atas, kondisi pertambangan batu bara dengan sistem Underground di Desa Rantau Bakula Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

Dalam kesempatan itu, perwakilan  MMI membantah tudingan aktivitas perusahaan menyebabkan tanaman produktif masyarakat mati. 

“Kami tidak pernah melakukan kegiatan yang mematikan tanaman produktif. MMI juga tidak beroperasi di lahan yang belum diusahakan,” kata Yudha Ramon, Direktur Utama MMI.

Tudingan kriminalisasi juga dia tepis. “Kami tidak pernah berniat mengkriminalisasi siapa pun. Kami memahami usaha pertambangan pasti ada tantangan,”

Dari RDP itu juga akan membentuk tim investigasi dan identifikasi untuk memastikan kebenaran fakta dari kedua belah pihak. Mustaqimah, Ketua Komisi III DPRD Kalsel, akan jadi ketua dengan tim dari instansi terkait, camat, kepala desa, sampai perwakilan warga. 

Hingga 16 April 2025, DPRD Kalsel belum pernah mendatangi Desa Rantau Bakula. Warga pun kecewa dan menilai tim itu tidak serius menangani masalah ini. Padahal mereka sudah bersedia memberikan dukungan dan data di lapangan.

Warga Desa Rantau Bakula, berdiri di atas settling pond (kolam penampungan limbah) Batubara yang pernah jebol pada pertengahan 2024 lalu. Foto: Rendy Tisna/ Mongabay Indonesia.

*****

Nasib Warga Rantau Bakula Terdampak Tambang Batubara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|