Berkomitmen Iklim, Bank-bank Ini Biayai PLTU Captive Industri Nikel

21 hours ago 5
  • Kajian Market Forces, menemukan sejumlah bank yang mempunyai komitmen iklim dan tak akan biayai batubara tetapi masih mendanai PLTU batubara di kawasan industri nikel.
  • Market Forces mencatat,  12 bank, yakni, OCBC Bank, UOB, Bank Mandiri, DBS, Maybank, Indonesia Eximbank, BNP Paribas, KEB Hana Indonesia, CIMB, BNI, BCA dan China Eximbank, berikan pinjaman pada anak-anak perusahaan Harita Group.
  • Meskipun Harita mengumumkan rencana membangun fasilitas panel surya berkapasitas 300 MW pada 2025, ketergantungan pada PLTU batubara masih dominan. Saat ini, fasilitas perusahaan mencakup 890 megawatt PLTU batubara, dengan tambahan 1,2 gigawatt yang sedang terbangun. Rencananya, masih akan ada 25 PLTU batubara 2,54 gigawatt dan instalasi tenaga surya 1,3 gigawatt.
  • Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan, tanpa perubahan pada intensitas emisi Harita, emisi tahunan akan meningkat tiga kali lipat pada 2028 jadi 22,45 MtCO2e pertahun. Padahal, Harita Group sudah berkomitmen mengurangi emisi GRK 30% terhadap garis dasar 2022 pada 2030. Namun, emisi 2023 naik dua kali lipat dari garis dasar 2022, dari 3,01 MtCO2e pada 2022 jadi 7,98 MtCO2e tahun 2023.

Atas nama transisi energi global mendorong permintaan kendaraan listrik  dengan salah satu bahan baku nikel. Meskipun nikel penting untuk baterai kendaraan listrik, produksi dapat menimbulkan biaya iklim yang besar, antara lain,  ketika pabrik peleburan nikel pakai PLTU batubara.

Kajian Market Forces, menemukan sejumlah bank yang mempunyai komitmen iklim dan tak akan biayai batubara tetapi masih mendanai PLTU batubara di kawasan industri nikel, seperti punya Harita Groups.

Market Forces mencatat,  12 bank yakni, OCBC Bank, UOB, Bank Mandiri, DBS, Maybank, Indonesia Eximbank, BNP Paribas, KEB Hana Indonesia, CIMB, BNI, BCA dan China Eximbank, berikan pinjaman pada anak-anak perusahaan Harita Group. Harita merupakan kelompok bisnis industri nikel Indonesia yang menggunakan PLTU batubara untuk memasok listrik ke pabrik peleburan dan fasilitas lainnya.

“Jika peralihan ke energi bersih benar-benar berkelanjutan, pemrosesan nikel harus selaras dengan tujuan iklim global dan bukan memperburuk emisi, “kata Bin Bin Mariana, Asia Energy Finance Campaigner Market Forces dalam peluncuran kajian ini.

Bank, investor, dan produsen kendaraan listrik, katanya,  bertanggung untuk meneliti jejak karbon rantai pasokan mereka dan memastikan dorongan untuk kendaraan listrik tidak mengorbankan perubahan iklim yang lebih buruk.

Dari 12 bank  itu, enam punya komitmen tidak mendanai industri batubara.

OCBS, misal, punya komitmen keberlanjutan dan kebijakan soal batubara yang menegaskan OCBC tidak akan terlibat dalam atau secara sadar membiayai pembangkit listrik berbahan bakar batubara dalam pembiayaan proyek. Juga dalam  pembiayaan perusahaan di mana kapasitas pembangkit listrik atau pendapatan dari tenaga batubara melebihi 25% dan 50% untuk klien baru dan lama.

Penampakan kawasan industri nikel di pulau Obi dari tepian laut. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

Sedang kebijakan UOB tentang sektor energi pembiayaan yang bertanggung jawab menyatakan, tak akan secara sadar memberikan pembiayaan kepada proyek pembangkit listrik batubara.

UOB juga melarang pembiayaan perusahaan baru (tujuan umum) untuk bisnis pembangkit listrik milik peminjam,  dengan PLTU batubara menyumbang mayoritas (≥ 50%) dari kapasitas pembangkit listriknya.

Namun, pada April 2022,  OCBC dan UOB memberikan pinjaman masing-masing US$635 juta dan US$201 juta pada Halmahera Jaya Feronikel yang membangun PLTU untuk smelter nikel.

Maybank juga berkomitmen tak membiayai PLTU batubara baru dan bisnis rantai nilai listrik, termasuk pinjaman korporasi, proyek, dan layanan konsultasi seperti pengaturan, sindikasi, penggalangan dana, dan penjaminan emisi.

Nyatanya, memberikan pinjaman US$126 juta untuk Trimegah Bangun Persada, dan smelter Halmahera Persada Lygend dengan dukungan PLTU batubara.

Begitu juga kebijakan PLTU batubara BNP Paribas menyatakan, tidak menyediakan produk dan layanan keuangan untuk PLTU batubara baru. Namun BNP Paribas memberikan modal US$116 juta untuk Megah Surya Pertiwi dan Halmahera Persada Lygend, keduanya anak perusahaan Harita.

Laporan Keberlanjutan DBS 2023 juga melaporkan sejak 2019, menghentikan pembiayaan aset pembangkit listrik termal baru. Namun, April 2022, DBS masih memberikan US$87 juta untuk Halmahera Jaya Feronikel. Pun, CIMB Niaga punya komitmen serupa juga menggelontorkan US$78 juta untuk Trimegah Bangun Persada.

“Bank-bank yang merasa progresif ini rupanya masih mendanai PLTU untuk smelter,” katanya.

Sementara bank-bank Indonesia seperti Mandiri, BCA dan BNI dan tiga bank lain, Indonesia Eximbank, KEB Hana, dan China Eximbank, sama sekali tak punya komitmen soal pendanaan batubara. Mereka memberikan pinjaman beragam mulai US$14-147 juta kepada anak perusahaan grup ini.

Bin bin mengatakan, kajian ini fokus pada operasional Harita di Pulau Obi dengan dua pabrik peleburan Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) dengan kapasitas produksi 120.000 ton per tahun. Juga, kilang high-pressure acid leach (HPAL) yang mampu produksi 55.000 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) per tahun.

Pada 2023, Harita melaporkan produksi feronikel 101.538 ton dan 63.655 ton MHP.

Meskipun Harita mengumumkan rencana membangun fasilitas panel surya berkapasitas 300 MW pada 2025, katanya, ketergantungan pada PLTU batubara masih dominan.

Saat ini, fasilitas perusahaan mencakup 890 megawatt PLTU batubara, dengan tambahan 1,2 gigawatt yang sedang terbangun. Rencananya, masih akan ada 25 PLTU batubara 2,54 gigawatt dan instalasi tenaga surya 1,3 gigawatt.

“Kesenjangan ini menggarisbawahi terbatasnya peran energi terbarukan dalam strategi energi Harita,” ujar Bin bin.

Menurut Skenario International Energy Agency (IEA) NZE 2050, untuk memiliki peluang membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, tak boleh ada PLTU batubara baru yang disetujui sejak 2021.

Bank-bank yang mendukung Harita Group, katanya, berisiko terkait dengan rencana perluasan pembangkit batubara Harita.

Area tambang nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Swal/ Mongabay Indonesia

Terus mengemisi

Hingga 2023, intensitas emisi gas rumah kaca Harita mencapai 68,4 tCO2/tNi untuk feronikel dan 13,4 tCO2/tNi untuk MHP, hingga total emisi menjadi 7,98 MtCO2e/tahun.

Menurut Market Forces, angka ini setara hampir 1% dari emisi Indonesia pada 2023 dan setara emisi dari 1,8 juta mobil konvesional selama satu tahun.

“Rencana Harita meningkatkan kapasitas produksi, 350.000 ton feronikel dan 120.000 ton MHP pada 2028 bisa menimbulkan masalah lingkungan yang signifikan,” lanjut Bin bin.

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) memperkirakan, tanpa perubahan pada intensitas emisi Harita, emisi tahunan akan meningkat tiga kali lipat pada 2028 jadi 22,45 MtCO2e pertahun.

Padahal, Harita Group sudah berkomitmen mengurangi emisi GRK 30% terhadap garis dasar 2022 pada 2030. Namun, emisi 2023 naik dua kali lipat dari garis dasar 2022, dari 3,01 MtCO2e pada 2022 jadi 7,98 MtCO2e tahun 2023.

“Meskipun berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, penggandaan emisi perusahaan hanya dalam satu tahun menunjukkan lintasan yang melemahkan tujuan yang dinyatakannya dan memperburuk krisis iklim global.”

Melalui kampanyenya, Market Forces meminta, bank-bank menahan diri tak memberikan pembiayaan lebih lanjut kalau perusahaan terus membangun pembangkit fosil baru untuk peleburannya.

“Menahan dukungan finansial dalam kondisi ini akan mendorong Harita mengurangi—dan akhirnya menghilangkan—ketergantungan pada bahan bakar fosil sambil mengembangkan rencana jelas dan terukur untuk dekarbonisasi yang sejalan dengan Perjanjian Paris.”

Dalam tulisan Mongabay sebelumnya, Ekhel Chandra Wijaya, Media Relations and Partnership Manager Harita Nickel, mengatakan,  perusahaan menyadari potensi polusi udara dan risiko lingkungan dari pembangkit listrik batubara. Namun, katanya, energi fosil itu tetap mereka gunakan karena kurangnya infrastruktur jaringan listrik yang memadai.

Untuk mitigasi risiko, mengurangi emisi, dan meningkatkan kualitas lingkungan, katanya, perusahaan lakukan beberapa hal, antara lain, gunakan kubah penyimpanan batubara, dan memakai ban berjalan angkut batubara. Juga, pakai filter electrostatic precipitator (ESP) yang disebut mampu menangkap 98,8% debu sebelum keluar dari cerobong PLTU atau smelter.

Mereka juga klaim gunakan sistem pemantauan emisi berkelanjutan (continuous emission monitoring system/ CEMS) yang memudahkan mengevaluasi tingkat kepatuhan terhadap kualitas udara.

Mereka, katanya, punya kubah penyimpanan batubara, mampu menampung sekitar 370.000 ton batubara dalam ruang tertutup. Kubah itu meminimalisir polusi udara dan batubara agar tidak terbawa angin.

Perusahaan, katanya,  mengembangkan fasilitas tenaga surya berkapasitas 300 MWp sebagai tahap awal mengurangi ketergantungan pada energi berbasis batubara.

Kawasan industri nikel di Pulau Obi. Kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

Jejak Harita

Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Harita memiliki sekitar 24 perusahaan yang bergerak di bisnis tambang nikel, bauksit, dan batubara. Juga punya empat smelter nikel, dua smelter bauksit, dan satu smelter alumina.

Jaringan bisnis ini tersebar di Pulau Obi, Maluku Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, mengatakan,  bisnis Harita Group bertanggungjawab atas deforestasi 19.100 hektar, setara 13% penurunan tutupan pohon sejak 2000.

“Ini hanya dari sektor tambang yang dapat terlacak dalam sistem Minerba One Map Indonesia saja,” katanya, sambil bilang usaha tambang Harita di sektor nikel, bauksit sampai batubara meninggalkan jejak 904 lubang tambang.

Selain merusak lingkungan, industri ekstraktif Harita, mulai pertambangan hingga perkebunan sawit, menimbulkan daya rusak multidimensi yang tak terpulihkan. “Bisnis ekstraktif Harita Group akrab dengan cerita perampasan ruang hidup, ruang produksi warga ruang pangan, di darat maupun pesisir.”

Juga perampasan hak atas air dan udara bersih, katanya, hingga hak kedamaian warga, dengan menghadirkan konflik, intimidasi sampai kriminalisasi.

Industri nikel di Pulau Obi. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

*******

Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [2]

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|