Sumatera Selatan Butuh Ekstensifikasi atau Intensifikasi Sawah?

2 days ago 11
  • Guna meningkatkan produksi gabah kering pada 2025 hingga 3,5 juta ton, pemerintah Sumatera Selatan berencana membuka 50 ribu sawah baru.
  • Guna meningkatkan produksi gabah kering, pemerintah sebaiknya melakukan intensifikasi sawah yang luasnya mencapai 519.484 hektar, dibandingkan melakukan ekstensifikasi.
  • Kerusakan bentang alam dan perubahan iklim global, yang menimbulkan bencana kekeringan dan banjir, sebagai penyebab banyak sawah di Sumatera Selatan yang produksinya tidak optimal.
  • Hutan dan lahan basah yang baik menjadi sumber pangan yang berkualitas. Baik karbohidrat maupun protein.

Guna mencapai target produksi gabah kering panen (GKP) sebesar 3,5 juta ton pada 2025, pemerintah Sumatera Selatan berencana membuka 50 ribu hektar persawahan sebagai optimasi lahan (Opla). Tahun 2024, produksi GKP Sumatera Selatan sekitar 2,9 juta ton. Tepatkah rencana tersebut?

Berdasarkan SK Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 446.1 Tahun 2024 tentang Penetapan Luas Lahan Baku (LBS) Sawah Nasional tahun 2024, Sumatera Selatan yang luas LBS-nya mencapai 519.484 hektar berada di urutan ke-5 luas LBS secara Nasional. Ini setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.

“Dengan luasan tersebut, sangat memungkinkan Sumatera Selatan meningkatkan produksi gabah kering,” terang Adios Syafri, dari Hutan Kita Institute [HaKI], Selasa (8/4/2025).

Tapi meningkatkan produksi gabah kering, yang sebelumnya 5,6 ton menjadi 6,7 ton per hektar, sebaiknya fokus pada upaya intensifikasi atau mengoptimalkan sumber daya yang tersedia. “Apalagi masih banyak cetak sawah yang sebelumnya dibuat pemerintah belum produksi secara optimal, seperti di lahan basah.”

Intensifikasi tersebut antara lain memperbaiki tata kelola air atau irigasi, mencari bibit unggul, mengolah tanah yang baik, menggunakan pupuk dan teknologi pertanian yang baik, hingga meningkatkan kualitas tenaga kerja atau petani.

“Sementara, upaya ekstensifikasi sawah dikhawatirkan akan berdampak pada pembukaan lahan hutan dan rawa gambut yang justru mengganggu sumber tangkapan air. Ini bisa berujung kegagalan dikarenakan krisis air atau kekeringan,” kata Adios.

Diperlukan kehati-hatian dan kajian mendalam terhadap upaya ekstensifikasi tersebut.

“Sebaiknya, lakukan intensifikasi.”

Baca: Ramadan dan Lahan Basah Sumatera Selatan

Persawahan di lahan basah Sumatera Selatan biasanya ditanam padi dua atau tiga kali setahun. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Sebelumnya, Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, saat mengikuti Panen Raya Padi Serentak di 14 Provinsi bersama Presiden Prabowo Subianto di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Senin (7/4/2025), menyatakan akan membuka 50 ribu hektar sawah, sebagai bagian dari upaya meningkatkan target produksi GKP.

Tahun 2024 lalu, dikutip dari antaranews.com, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan akan memetakan lokasi cetak sawah baru seluas 270 ribu hektar di empat kabupaten pada 2025. Yakni, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Banyuasin, dan Kabupaten Musi Banyuasin.

Berdasarkan pemetaan, yang paling banyak dilakukan cetak sawah baru pada 2025 di Kabupaten OKI (125.625 hektar). Berikutnya, Banyuasin (57.000 hektar), Musi Banyuasin (53.000 hektar), dan Ogan Ilir (35.846 hektar).

Proyek cetak sawah baru ini bagian dari rencana Kementerian Pertanian yang menargetkan program cetak sawah seluas 750 ribu hektar pada 2025. Tiga daerah lain yang diandalkan pencetakan sawah baru yakni Papua Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Dalam melakukan proyek cetak sawah baru, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan menggandeng Komando Resor Militer 044 Garuda Dempo (Korem Gapo) tahun anggaran 2025.

Baca: Hujan Terus Turun, Ribuan Hektar Sawah di Sumatera Selatan Terancam Gagal Tanam

Selama ratusan tahun sawah yang berada di dataran tinggi Bukit Barisan Selatan menghidupi Suku Semende. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Kekeringan dan banjir

Akibat aktivitas ekonomi ekstraktif yang mengubah bentang alam dan perubahan iklim global, Sumatera Selatan menjadi daerah yang selalu mengalami bencana setiap tahun.

Berdasarkan data mapbiomas.org, Sumatera Selatan yang luasnya sekitar 9,1 juta hektar, pada tahun 2022 luas kawasan hutannya tersisa 1.190.890 hektar. Luas kawasan hutan ini di bawah perkebunan sawit yang mencapai 1.473.762 hektar dan tumbuhan non-hutan seluas 1.936.149 hektar. Dan, sedikit lebih luas dibandingkan kebun kayu atau HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 730.045 hektar, serta pertambangan yang meninggalkan lubang seluas 10.556 hektar.

Saat kemarau, Sumatera Selatan mengalami kekeringan dan bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Selama 27 tahun terakhir, Sumatera Selatan mengalami bencana kabut asap yang cukup luas, terjadi pada 1997, 1998, 2006, 2015, 2019, dan 2023.

Sementara di musim penghujan, seperti saat ini, bencana banjir dan longsor terjadi hampir di semua wilayah. Seperti sejumlah wilayah sekitar Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Rawas, dan Sungai Musi.

Bencana kekeringan dan banjir ini yang membuat sejumlah persawahan gagal tanam atau panen.

“Dengan adanya bencana tersebut, membuktikan ada persoalan daerah resapan air di Sumatera Selatan. Baik di wilayah dataran tinggi, maupun di lahan basah. Ini yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk diperbaiki. Sebab, rusak atau hilangnya daerah resapan air tersebut, yang membuat banyak persawahan yang produksinya tidak maksimal,” kata Adios.

Dijelaskan Adios, luas rawa lebak di Sumatera Selatan mencapai 1.354.805 hektar dan rawa pasang surut sekitar 1.699.541 hektar. Selama ratusan tahun, sebagian rawa lebak dan rawa pasang surut dijadikan persawahan oleh masyarakat.

“Tapi dikarenakan kekeringan dan banjir, banyak sawah tersebut yang terbengkalai atau tidak produktif,” katanya.

Budi Raharjo, peneliti dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna OR Pertanian dan Pangan BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional], sebagaimana diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, menjelaskan rawa lebak mempunyai karakteristik dapat ditanami apabila genangannya (air) menurun. Dimulai lebak pematang, tengahan, dan lebak dalam. Tapi kalau terjadi kemarau panjang, rawan mengalami kekeringan.

Menurut Budi, guna mencegah kegagalan panen di lahan rawa lebak, perlu dilakukan pengelolaan air.

“Seperti sistem polder atau mini polder untuk skala luas dan menengah, atau pembuatan pematang dikombinasikan pompanisasi. Terpenting, kita pelajari karakteristik lebak dan petani lokal sebagai informannya.”

Baca juga: Di Sumatera Selatan, Padi Sudah Ditanam Sejak Masa Kedatuan Sriwijaya

Rawa lebak di Sumatera Selatan pada 2024 mengalami kekeringan akibat kemarau. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Bukan hanya karbohidrat

Selama ratusan tahun, hutan dan lahan basah bagi masyarakat Sumatera Selatan adalah sumber pangan. Tapi bukan hanya beras sebagai sumber karbohidrat. Hutan dan lahan basah menjadi sumber karbohidrat, protein, serta berbagai nutrisi.

“Lahan basah bukan hanya ditanam padi, juga diambil ikannya sebagai sumber protein, dan sejumlah tanaman hutan sebagai sumber karbohidrat dan vitamin. Lahan basah dan hutan sebagai sumber pangan berkualitas, bukan hanya mengenyangkan,” kata Dian Maulina, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Selasa (8/4/2025).

Jadi, ketahanan pangan itu sudah berlangsung secara alami di masyarakat. Krisis pangan terjadi, ketika bentang alam mengalami kerusakan atau perubahan.

Bahkan, jelas Dian, pada sejumlah masyarakat di Sumatera Selatan, banyak sawah dipanen satu kali setahun. Baik seperti di wilayah dataran tinggi, seperti di Semende, dan sebagian besar di wilayah lahan basah. Tapi mereka tidak pernah mengalami krisis pangan atau bencana kelaparan.

“Pernah 1960-an akhir terjadi kemarau panjang. Banyak sawah atau padi talang gagal panen. Tapi mereka tidak mengalami kelaparan, sebab hutan yang masih luas memberikan sumber pangan lainnya, seperti umbi-umbian, dan lainnya.”

Fokus mengoptimalkan lahan pertanian, khususnya persawahan, yang sudah ada, jauh lebih efektif.

“Selain itu, memperbaiki kondisi lingkungan, seperti hutan dan lahan basah, juga menjadi jaminan sumber pangan berkelanjutan. Sumber pangan selain beras,” paparnya.

Suku Semende: Sawah Itu Seperti Manusia, Butuh Waktu Istirahat Tanam

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|