Jelang Kemarau, Pemerintah Ingatkan Industri soal Polusi Udara

4 weeks ago 22
Web Berita Hot Sekarang Cermat Terpercaya
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mengantisipasi peningkatan pencemaran udara di Jabodetabek memasuki musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), memprediksi, kemarau terjadi berkala, mulai pertengahan April dan meningkat Mei hingga Juni di 115 zona musim (ZOM).
  • Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup / Kepala BPLH, mengatakan, musim kemarau berisiko menyebabkan kualitas udara memburuk karena tidak ada hujan yang dapat menurunkan partikel polutan. Satu sumber pencemaran udara di Jabodetabek,  yakni aktivitas industri.
  • Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif  Nasional Walhi menyoroti sikap KLH yang tidak tegas menindak pelaku industri yang melanggar ketentuan UU Lingkungan Hidup. KLH, jangan hanya omong kosong saja dalam mengawasi dan perlindungan lingkungan hidup.
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan,  faktor pencemaran udara di Jabodetabek bukan hanya industri. Seharusnya, KLH juga memperhatikan PLTU batubara yang beroperasi di Jabodetabek dan sekitar yang menjadi faktor penyebab penurunan kualitas udara.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) mengantisipasi peningkatan pencemaran udara di Jabodetabek memasuki musim kemarau. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), memprediksi, kemarau terjadi berkala, mulai pertengahan April dan meningkat Mei hingga Juni di 115 zona musim (ZOM).

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup / Kepala BPLH, mengatakan, musim kemarau berisiko menyebabkan kualitas udara memburuk karena tidak ada hujan yang dapat menurunkan partikel polutan. Satu sumber pencemaran udara di Jabodetabek,  yakni aktivitas industri.

Pembakaran ketel uap atau boiler di kawasan industri menjadi faktor pencemaran udara karena masih menggunakan bahan bakar tak ramah lingkungan.

Cara ideal menekan pencemaran dari boiler yakni dengan mengkonversikan penggunaan batubara dan energi tak ramah lingkungan lain ke bahan bakar gas.

Konversi ini dia perkirakan dapat menurunkan emisi udara dari sektor industri hingga 20%. KLH/BPLH, katanya, telah meminta PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menyiapkan jaringan gas ke kawasan industri.

“Penggunaan gas ini kami sinyalir berdasarkan kajian yang telah dilakukan memiliki tingkat polusi udara yang paling kecil namun demikian tentu kita memiliki banyak keterbatasan,” katanya dalam Forum Kawasan Industri Jabodetabek di Jakarta Selatan, 10 April 2025..

Kemudian, open burning atau praktik pembakaran limbah terbuka. Praktik pembakaran terbuka di kawasan industri, seperti pembakaran besi tua dan limbah padat, katanya, dilarang keras.

Ada sekitar 120 titik open burning yang berkontribusi menurunkan kualitas udara di Jabodetabek. KLH telah memberikan tindakan hukum dan menutup tiga perusahaan yang melakukan praktik itu.

“Open burning masih kita bisa pantau dari satelit dan tinjauan di lapangan di beberapa lokasi yang tersebar di sekitar Jabodetabek.  Ini yang berkontribusi serius menyebabkan pencemaran emisi atau polutan udara di Jakarta terutama di Jabodetabek pada musim kemarau,” kata Hanif.

Dia bilang, polusi udara akan meningkat signifikan apabila tidak ada pengendalian dari sumber-sumber emisi industri. Untuk menekan pencemaran, pelaku industri di kawasan aglomerasi itu diminta mengambil langkah antisipatif.

Hanif juga minta kawasan industri fokus pada empat aspek utama pengelolaan lingkungan secara komprehensif dan menyeluruh. Meliputi,  pengendalian kualitas udara, pengelolaan air limbah, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta pengelolaan sampah kawasan industri.

Seluruh kawasan, katanya, wajib untuk membangun stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU) masing-masing. Industri juga wajib memasang sistem pemantauan emisi kontinu (CEMS) pada unit boiler.

Dalam aspek pengelolaan air limbah, katanya, kawasan industri wajib membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal. Seluruh saluran limbah harus ada sistem pemantauan otomatis (sparing) yang beroperasi real-time.

Limbah B3 wajib terkelola sesuai ketentuan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan harus ada izin pengelolaan resmi.

“Industri juga diwajibkan memiliki tenaga teknis lingkungan yang kompeten dalam pengelolaan limbah berbahaya dan limbah cair. KLH akan mengenakan sanksi apabila terdapat praktik pembuangan limbah tanpa pengolahan sesuai standar nasional.”

Hanif menegaskan, sampah kawasan industri harus terkelola mandiri di dalam kawasan masing-masing. Tidak boleh, katanya, membuang sampah ke luar kawasan atau membebani tempat pembuangan sementara (TPS) pemerintah daerah.

Aturan ini, katanya,  mengacu pada UU Nomor 18/2008 tentang pengelolaan sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81/2012. Pemerintah, katanya, mendorong prinsip tanggung jawab produsen dan pelaku usaha terhadap limbah yang

mereka hasilkan. Target nasional adalah pengurangan dan pengelolaan sampah 50% pada 2025.

Selain itu, penggunaan BBM untuk moda transportasi juga menjadi penyebab utama pencemaran udara di Jabodetabek. Dia proyeksi menyumbang 35% dari penurunan kualitas udara saat kemarau.

Menurut dia, ada beberapa skenario menekan pencemaran udara dalam penggunaan BBM, namun tidak mudah. Misal, penggunaan BBM berstandar Euro 4 dan retrofit pada kendaraan.

“Skenarionya,  sudah gamblang termasuk meningkatkan elektrisity dari transportasi massal tetapi implementasi ternyata tidak kita lakukan sebenarnya.”

Menurut Hanif, salah satu cara efektif menekan laju penyebaran PM 2.5 ini yakni melalui operasi modifikasi cuaca. Dengan ini, polutan di udara akan turun bersamaan dengan hujan turun yang berdampak pada meningkatnya kualitas udara.

KLH, katanya, sedang menyusun prakarsa peraturan presiden (perpres) mengenai pengendalian pencemaran udara Jabodetabek. Perpres ini,  akan menjadi payung hukum lintas wilayah untuk menangani isu polusi udara secara sistemik.

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup / Kepala BPLH. Irfan Maulana / Mongabay Indonesia

Sanksi tegas?

Hanif mengatakan, pelaku industri yang usaha mencemari lingkungan bisa kena denda Rp 3 miliar sampai pembekuan izin berusaha. Hal itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen KLHK) Nomor 14/2024 Penyelenggaraan Pengawasan dan Sanksi Administratif bidang Lingkungan Hidup.

“Bilamana ini terus terjadi berlarut-larut maka izinkan saya untuk melakukan langkah law enforcement, penegakan hukum untuk menjaga kualitas lingkungan,” katanya.

Penindakan, katanya, bekerja sama dengan aparat penegak hukum serta berdasarkan hasil investigasi dan kajian ahli.

KLH, katanya, tidak kompromi terhadap praktik yang melanggar hukum dan membahayakan publik.

“Di konteks lingkungan ini, kami benar-benar akan melakukan langkah-langkah persuasif dan komunikatif lebih awal dengan sangat intent sebelum kami penegakan hukum,” kata Hanif.

Sebagai upaya penguatan kelembagaan, katanya, KLH akan melimpahkan kewenangan pembinaan dan pengawasan lingkungan kepada pemerintah daerah. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota akan dapat kewenangan untuk pengawasan teknis, pembinaan, hingga pemberian sanksi administratif.

Namun, katanya.  KLH tetap menjalankan fungsi pengawasan nasional secara terpadu dan terintegrasi. Dia akan mengoptimalkan sistem pengawasan berbasis digital dan pelaporan daring untuk mendukung efektivitas pengendalian.

KLH, katanya,  juga membentuk forum koordinasi kawasan sebagai wadah kolaborasi antar industri dalam inovasi hijau.

 Lusia Arumingtyas/ Mongabay IndinesiaPLTU batubara di Cikarang, Desa Muara Bhakti. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indinesia

Polusi PLTU batubara

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan,  faktor pencemaran udara di Jabodetabek bukan hanya industri. Seharusnya, KLH juga memperhatikan PLTU batubara yang beroperasi di Jabodetabek dan sekitar yang menjadi faktor penyebab penurunan kualitas udara.

Dia bilang, baik industri maupun PLTU batubara memiliki sistem pemantauan emisi kontinu (CEMS). Laporan CEMS,  kata Fabby, wajib kirim ke KLH setiap hari. Dengan kewenangan itu, seharusnya KLH tegas meminta data soal tingkat emisi yang mereka keluarkan.

“Berapa sih baku emisi, baik itu pembangkit listrik, industri, yang segala macam itu. Menurut saya, itu yang harus ditegakkan. Jadi sekarang justru industri-industri harus melaporkan tingkat ambang baku, ambang batas emisinya,” katanya.

Dari laporan itu, seharusnya jadi acuan bagi KLH untuk mengambil tindakan bagi industri atau PLTU batubara.

“Sesudah laporan itu baru kemudian apa yang harus dilakukan. Kalau baku emisinya parah sekali, melampaui ambang batas tinggi sekali, harusnya berdasarkan aturan itu kayaknya bisa di sanksi pabriknya. Penegakan hukum penting,” kata Fabby.

Selama ini, katanya,  KLH tidak transparan membuka data kepada publik. Kondisi ini, katanya, oleh para pelaku industri dan PLTU batubara berdalih atas pencemaran udara keluar.

Dia pun mendesak. data CEMS terbuka untuk publik. “Jadi kita juga bisa tahu mana nih perusahaan yang melanggar. Yang emisinya di atas baku mutu.”

Kalau mau lebih tegas KLH harusnya meminta pelaku industri dan PLTU batu bara di Jabodetabek mengganti teknologi yang sudah usang dan mencemari lingkungan.

“Menurut saya standar lingkungannya harus diperketat. Mengikuti best available teknologi yang ada di pasar,” tuturnya.

Fabby juga menyoroti rencana pemerintah menutup PLTU batubara karena polusi udara tinggi. Namun, rencana itu hanya omong-kosong.

“Di negara lain juga gitu, kalau musim-musim tertentu PLTU-nya sampai dihentikan. Karena dianggap memperburuk kualitas udara. Karena biaya kesehatan itu besar.”

Senada Jeanny Sirait,  Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia, sampaikan. Dia mengatakan, arahan kepada pelaku industri untuk mengurangi pencemaran udara secara prinsip memang bagus. Ia sudah jadi kewenangan KLH, karena perkotaan paling terdampak musim kemarau.

Namun, katanya, arahan seperti itu kerap kali bermasalah dalam proses pengawasan.

“Siapa yang mengawasi, bagaimana proses pengawasannya, periode rutin pengawasan dan sebagainya kerap kali tidak berjalan atau meski berjalan kerap kali sudah bocor dulu informasinya. Proses pengawasan harus lebih clear dan akuntabel.”

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif  Nasional Walhi menyoroti sikap KLH yang tidak tegas menindak pelaku industri yang melanggar ketentuan UU Lingkungan Hidup.

Dia pun berharap,  KLH tidak hanya omong kosong saja dalam mengawasi dan perlindungan lingkungan hidup.

Menurut dia, pengawasan pemerintah daerah kadang tak maksimal bahkan tak diindahkan. Mereka baru beraksi ketika pencemaran udara industri viral.

“Kalau kita perhatiin sebenarnya laporan dari masyarakat itu banyak, seringkali berulang.  Ketika musim kemarau atau ramai di sosmed baru ada penindakan begitu ya. Misalnya, yang PLTU batubara di sekitaran Marunda. Sebenarnya, warga komplain begitu viral kondisi udara dan semacamnya baru ada penindakan,” kata Sawung.

Pabrik di Cikarang sedang berporduksi yang mengeluarkan asap tebal ke angkasa. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

 *******

Sesak Terkepung Polusi Industri Baja Cikarang [1]

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|