- Ratusan warga dari berbagai wilayah pesisir di Sulawesi Barat (Sulbar) mendatangi Kantor Gubernur Sulawesi Barat, 5 Mei lalu. Kedatangan mereka mendesak pencabutan izin tambang pasir yang dinilai ancam lingkungan dan kehidupan masyarakat.
- Aksi ini dipicu pernyataan Gubernur Sulbar, Suhardi Duka, beberapa hari sebelumnya bahwa masyarakat tidak boleh menghalangi aktivitas perusahaan yang telah mengantongi izin resmi dan tidak boleh dihambat oleh pihak manapun dan sebuah bentuk premanisme.
- Ini bukan kali pertama warga menggelar aksi. Sebelumnya, mereka telah melakukan protes di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Bahkan mereka berkali-kali menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPRD Provinsi Sulawesi Barat dan pihak perusahaan tambang.
- Aktivis masyarakat adat menilai pengerukan pasir akan meningkatkan risiko erosi dan merusak ekosistem perairan yang akan berdampak langsung pada penghidupan nelayan.
Ratusan warga dari berbagai wilayah pesisir di Sulawesi Barat (Sulbar) mendatangi Kantor Gubernur Sulawesi Barat, 5 Mei lalu. Kedatangan mereka mendesak pencabutan izin tambang pasir yang dinilai ancam lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sulbar Tolak Tambang itu berasal Desa Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah; Desa Sarassa, Kabupaten Pasangkayu, dan Desa Kalukku Barat serta Beru-Beru, Kabupaten Mamuju. Mereka putuskan datang ke kantor gubernur upaya penolakan melalui jalur formal tak kunjung mendapat jawaban.
Dengan membawa spanduk berisi penolakan tambang, massa berdatangan menggunakan motor dan mobil sekitar pukul 10.00 WITA. Di hadapan polisi yang membentuk barikade di depan kantor gubernur, massa bergantian berorasi dan sampaikan tuntutan mereka.
Zulkarnain, jenderal lapangan aksi ini mengatakan, ingin bertemu Gubernur Suhardi Duka guna menyampaikan langsung keresahan warga karena marak tambang pasir di wilayah mereka.
“…Apabila Gubernur Suhardi Duka tidak menemui kami, kami juga akan bertahan, kalau perlu menginap di halaman kantor ini, sampai kami ditemui. Jadi kenapa sulit rasanya bagi kami untuk sekedar bertemu dan menyampaikan langsung apa yang menjadi keresahan kami?” teriak Zul dalam orasinya.
Hingga hampir tiga jam, tak ada pejabat menemui massa. Mereka kecewa dan berusaha merangsek masuk ke kantor gubernur hingga memicu bentrokan dengan aparat. Beberapa peserta aksi terlihat basah kuyup oleh water cannon.
Aksi ini bukan kali pertama. Sebelumnya, mereka juga gelar aksi serupa di tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Bahkan mereka berkali-kali menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan DPRD Sulbar dan perusahaan tambang.
Suara mereka seolah angin lalu. Pada 21 Maret 2024, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sulbar justru menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP) produksi. Lokasi tambang berada di muara Sungai Benggaulu, Desa Karossa, wilayah yang kini menjadi pusat penolakan warga.
Penerbitan izin ini saat gelombang penolakan masih berlangsung. Tak hanya menciptakan ketegangan antara masyarakat dan perusahaan, izin tambang juga memicu kriminalisasi. Sebanyak 11 warga dilaporkan ke Polda Sulbar karena menolak kehadiran tambang tersebut.

Apa kata Pemerintah Sulbar?
Hajrul Malik, tim ahli gubernur menyatakan, bila gubernur bersama enam bupati se-Sulbar tengah berada di Jakarta untuk menggelar pertemuan strategis dengan tiga kementerian, yakni, Kementerian Transmigrasi, Kementerian Sosial serta Menteri Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat (PUPR).
Dia menghargai aspirasi warga dan membuka ruang dialog. “Pemerintah menjamin tidak ada pembungkaman suara rakyat, namun juga memastikan tugas pemerintahan tetap berjalan untuk kepentingan yang lebih luas,” katanya diplomatis, seperti dikutip dari media Pikiran Rakyat Sulbar.
Sebelumnya, Suhardi Duka, Gubernur Sulbar mengatakan, masyarakat tidak menghalangi aktivitas perusahaan yang telah mengantongi izin. Tindakan menghalang-halangi operasional perusahaan yang sah merupakan bentuk premanisme.
“Perusahaan yang memiliki izin tidak boleh dihalangi. Jika ada yang menghalangi, itu adalah tindakan premanisme,” ujar Suhardi dalam sebuah video di akun Instagram @malaqbidotcom, 3 Mei 2025.
Pernyataan ini dianggap sebagai salah satu pemicu aksi besar-besaran ini. Sikap gubernur dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap keresahan warga serta pembiaran terhadap konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan.
“Pernyataan tersebut membuktikan bahwa pemimpin kita masih sangat perlu memiliki jiwa kerakyatan agar mampu merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat,” kata Taufik Rama Wijaya, Koordinator Pemuda Adat Kabupaten Mamasa dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) PUS Kondosapata.

Rama menilai, tambang menjadi masalah krusial di berbagai penjuru negeri, termasuk Sulawesi Barat. Salah satu pemicunya, proses penerbitan izin tambang yang kerap kali abai terhadap suara rakyat.
“Sebelum menerbitkan izin operasi kepada perusahaan tambang, pemerintah wajib melakukan sosialisasi dan menerapkan prinsip PADIATAPA atau pemberian informasi di awal tanpa paksaan,” katanya.
Padiatapa adalah singkatan Persetujuan Berdasarkan Informasi di Awal Tanpa Paksaan atau free prior informed consent (FPIC). Padiatapa menyatakan, masyarakat (adat maupun lokal) punya hak untuk menyatakan menerima atau menolak setiap gagasan dan proyek pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah mereka.
Kasus tambang pasir yang tengah terjadi di Karossa, Kalukku, dan Pasangkayu, menjadi gambaran nyata dari proses perizinan yang mengesampingkan rakyat. “Pelibatan masyarakat dalam penerbitan izin tidak boleh hanya formalitas. Karena yang paling terdampak dari tambang adalah rakyat itu sendiri.”
Rama mengatakan, pengerukan pasir akan meningkatkan risiko erosi dan merusak ekosistem perairan. “Itu akan berdampak langsung pada penghidupan nelayan. Mereka bisa kehilangan mata pencaharian karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.”
Kasus serupa juga terjadi di wilayah adat Mamasa. “Di Mamasa, kasus seperti ini pernah terjadi. PT Monzanitesan tiba-tiba ingin melakukan eksplorasi tambang tanah jarang di Aralle, Tabulahan, dan Mambi tanpa pelibatan masyarakat adat. Tapi kami menolak keras.”
Sebagai bentuk solidaritas, Pemuda Adat Kabupaten Mamasa, menyampaikan empat poin tuntutan. Pertama, menuntut penutupan semua tambang yang merugikan rakyat, terutama tambang pasir di Karossa, Kalukku, dan Pasangkayu. Kedua, mengecam keras pernyataan Gubernur Sulbar yang menyebut penolakan tambang sebagai tindakan premanisme, dan menuntut permintaan maaf secara terbuka kepada rakyat.
Ketiga, mereka mengutuk keras tindakan represif aparat kepolisian terhadap massa aksi damai dan mendesak agar tiga orang peserta aksi yang ditangkap segera bebaskan tanpa syarat. Keempat, mereka menegaskan kembali bahwa tambang-tambang perusak harus dihentikan di manapun mereka berada.
“Pemuda dan masyarakat adat tidak akan tinggal diam. Kami akan terus menyuarakan kebenaran, dan berdiri bersama rakyat.”
*****