Pekerja Perikanan Desak Pemerintah Ratifikasi ILO K-188

2 days ago 6
  • Nelayan dan pekerja kapal perikanan mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
  • Saat ini, banyak awak kapal perikanan terekrut tanpa prosedur jelas. Awak kapal,  hanya direkrut menggunakan kartu identitas, tanpa kontrak kerja, tak ada standar pengupahan, jaminan sosial, dan keselamatan kerja.
  • Ratifikasi ILO 188 tidak hanya menguntungkan awak kapal perikanan juga memberikan manfaat bagi negara dan industri perikanan secara keseluruhan.
  • Syofyan Koto, Koordinator Team 9—Koalisi Masyarakat Sipil Percepatan Ratifikasi Konvensi ILO K-188—mengatakan, ratifikasi ILO 188 dapat meningkatkan reputasi industri perikanan Indonesia. Dengan mengadopsi standar internasional, Indonesia dapat meningkatkan kepercayaan global terhadap industri perikanan, hingga memperluas akses pasar ekspor.

Nelayan dan pekerja kapal perikanan mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Pada momen peringatan Hari Buruh Internasional, nelayan dan pekerja kapal perikanan menyampaikan tuntutan mereka di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan dan Gedung DPR.

Syofyan Koto, Koordinator Team 9—Koalisi Masyarakat Sipil Percepatan Ratifikasi Konvensi ILO K-188—mengatakan, Indonesia belum punya regulasi jelas mengatur pekerjaan penangkapan ikan di laut.

“Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim (MLC) 2006 untuk awak kapal niaga, sudah saatnya ada kesetaraan perlindungan terhadap awak kapal perikanan,” katanya kepada Mongabay.

Saat ini, katanya,  banyak awak kapal perikanan terekrut tanpa prosedur jelas. Awak kapal,  hanya direkrut menggunakan kartu identitas, tanpa kontrak kerja, tak ada standar pengupahan, jaminan sosial, dan keselamatan kerja.

Sulistri, Sekretaris Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sektor Maritim menjelaskan, Konvensi ILO 188 terancang untuk meningkatkan standar kerja awak kapal perikanan melalui beberapa ketentuan utama.

Pertama, perlindungan atas upah dan kondisi kerja layak. Menurut Sulistri, Konvensi ILO 188 menjamin, awak kapal perikanan mendapatkan penghasilan adil dan sesuai standar minimum.

Kedua, jam kerja dan istirahat manusiawi. Konvensi ILO 188, katanya,  mengatur batas jam kerja dan memastikan waktu istirahat memadai guna menghindari kelelahan berlebih.

Ketiga, jaminan keselamatan dan kesehatan kerja di atas kapal. “Menetapkan standar keselamatan kerja, termasuk ketersediaan peralatan keselamatan dan pelatihan bagi awak kapal,” kata Sulistri.

Keempat, akses jaminan sosial. ILO 188 akan memastikan awak kapal perikanan memiliki perlindungan sosial, seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, dan jaminan hari tua.

Kelima, pencegahan eksploitasi dan kerja paksa. Regulasi ILO 188 juga mengatur mekanisme perlindungan dari praktik kerja paksa dan eksploitasi tenaga kerja, termasuk perdagangan manusia.

Ratifikasi ILO 188 tidak hanya menguntungkan awak kapal perikanan juga memberikan manfaat bagi negara dan industri perikanan secara keseluruhan.

Syofyan mengatakan, ratifikasi ILO 188 dapat meningkatkan reputasi industri perikanan Indonesia. Dengan mengadopsi standar internasional, Indonesia dapat meningkatkan kepercayaan global terhadap industri perikanan, hingga memperluas akses pasar ekspor.

Apalagi, industri perikanan Eropa dan Amerika Serikat menerapkan standar produksi ketat. Mereka tak menerima produk perikanan dari negara yang belum meratifikasi Konvensi ILO 188.

“Kalau mereka tahu bahwa Indonesia belum memenuhi standar 188 ya susah (produk ikan) untuk masuk pasar Eropa dan Amerika,” ujar Syofyan.

Di Asia Tenggara, hanya Thailand yang menerapkan Konvensi ILO 188. Indonesia,  selama ini harus melalui Thailand kalau ingin mengekspor produk perikanan ke pasar Eropa dan Amerika Serikat.

Seorang Awak Kapal Perikanan (AKP) di Pelabuhan Benoa, Bali menelepon kerabatnya setelah 11 bukan berada di tengah Samudera. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Sihar Silalahi, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia menegaskan, isu ini bukan hanya soal perlindungan pekerja, tetapi menyangkut keberlanjutan sektor perikanan secara keseluruhan.

“Keberlanjutan laut tak cukup hanya bicara soal ikan, juga soal orang-orang yang menangkapnya,” katanya dalam keterangan tertulis kepada Mongabay.

Menurut dia, ILO K-188 adalah instrumen penting untuk memastikan para pekerja laut dihargai secara layak. “Urusan martabat manusia tidak bisa ditunda karena alasan kalender politik atau target ekonomi triwulanan.”

Presiden Prabowo Subianto berjanji meratifikasi Konvensi ILO K-188. Janji itu dia sampaikan saat peringatan Hari Buruh Internasional di Monas, Jakarta Pusat, 1 Mei lalu.

“Saran dari Pak Jumhur, Undang-undang pekerja di laut, kapal-kapal, kita juga akan segera meminta (diratifikasi menjadi) Undang-undang,” kata Prabowo saat berorasi di hadapan ratusan ribu buruh, dikutip dari Antara.

Prabowo akan membentuk Dewan Kesejahteraan Nasional, terdiri dari tokoh dan pimpinan buruh se-Indonesia. Dewan itu bertugas mempelajari keadaan buruh dan memberikan nasihat kepada presiden terkait regulasi dan Undang-undang perburuhan.

Yassierli,  Menteri Ketenagakerjaan mengatakan, ratifikasi Konvensi ILO K-188 masih perlu kajian mendalam dan koordinasi lintas kementerian dan lembaga.

“Ratifikasi ini perlu dikaji bersama karena substansi Konvensi ILO 188 tidak hanya menjadi domain Kementerian Ketenagakerjaan, juga Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk Perlindungan Pekerja Migran,” ujar Yassierli dikutip dari Kontan.co.id.

Kapal ikan di Benoa, setelah bongkar muatan, mereka lanjut melaut lagi. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Upah tak jelas

Sulistri, mengatakan, regulasi pengupahan pekerja industri perikanan laut di Indonesia tidak jelas. Mayoritas pengupahan dengan sistem bagi hasil tangkapan.

“Mereka nggak dibayar bulanan. Hasil mancing dapat berapa ditimbang. Nah, itu baru di situlah bagianmu (pekerja) dapat berapa, bagian pemilik kapal berapa, dan nahkoda berapa? Jadi, tergantung dari mereka yang hasil tangkapan ikannya itu,” ujar Sulistri.

Menurut Riset BRIN, metode pengupahan paling sering adalah bagi hasil tangkapan. Metode ini hampir di semua pekerja perikanan tangkap skala kapal kecil, sekitar 90%, setengah (56,4%) di kapal berukuran sedang dan terendah pekerja di kapal skala besar (38,1%).

Riset BRIN dan ILO mengungkap, pekerja kapal kecil sangat bergantung pada sistem bagi hasil tangkapan sebagai metode pengupahan mereka. Sebaliknya, kapal berukuran sedang dan besar cenderung mengadopsi metode pengupahan beragam,  seperti, bonus tambahan, pembayaran sekaligus, dan upah tetap.

Riset juga menyoroti preferensi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja perikanan tangkap melalui sistem remunerasi yang memungkinkan mereka berbagi risiko bisnis dengan pekerjanya.

Faktanya, hanya 4,5% pekerja perikanan tangkap di 18 pelabuhan yang disurvei dapat kompensasi dengan upah tetap atau kombinasi upah tetap dan metode pembayaran alternatif.

Dalam beberapa kasus, katanya, pekerja perikanan tangkap tak langsung menerima pembayaran upah setelah sekali melaut. Mereka baru dapat bayaran setelah beberapa kali melaut.

Tak jarang awak kapal perikanan dalam bayaran dalam bentuk barang seperti makanan, akomodasi atau peralatan. Pada 18 pelabuhan yang BRIN dan ILO survei, 30,8% pekerja perikanan tangkap menerima pembayaran dalam bentuk barang.

“Pekerja di kapal besar merupakan penerima dengan proporsi tertinggi, 52,7%. Pekerja di kapal sedang berada di urutan kedua, 35,3%, hanya 7,1% pekerja kapal kecil yang menerima pembayaran dalam bentuk barang,” tulis laporan riset itu.

Pekerja perikanan tangkap juga mengalami pemotongan upah. Survei menunjukkan, rata-rata 3,5% pekerja perikanan tangkap mengalami pengurangan karena biaya terkait perekrutan, namun pemotongan ini lebih sering terjadi pada pekerja perikanan tangkap di kapal besar (8,2%).

Sementara 25,3% dari seluruh pekerja perikanan tangkap mengalami pemotongan upah karena alasan selain perekrutan. Jenis pengurangan ini umum terjadi pada kapal besar (50%), dan lebih jarang terjadi pada kapal sedang (25%) dan kecil (3,4%).

Adapun utama pemotongan upah pada kapal besar adalah untuk pembayaran kembali uang muka upah dan pembayaran utang untuk pendidikan anak, anggota keluarga, pernikahan, pemakaman, biaya sosial atau kebutuhan keluarga lain.

Alasan pemotongan juga terjadi untuk kebutuhan makanan tambahan dan rekreasi, makanan rutin, alat pelindung diri (APD) atau peralatan lain serta akomodasi.

Aktivis Greenpeace Indonesia, Team 9, dan Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sektor Maritim melakukan aksi damai di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan di Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025. Foto: Dhemas Reviyanto/Greenpeace.

Rekrutmen dan kontrak

Praktik rekrutmen pekerja perikanan di Indonesia serampangan, tak mengikuti Konvensi ILO K-188. Hampir semua rekrutmen pekerja kapal kecil dan sedang secara informal.

Syofyan mengatakan, skema rekrutmen dari mulut-ke mulut bermodalkan kartu identitas kependudukan (KTP). Dia contohkan, nahkoda atau kapten kapal bisa mengajak tetangga atau saudara untuk bekerja di kapal.

“Saya misal nahkoda, butuh orang, ya udah saya akan rekrut tetangga satu kampung, cukup dengan modal KTP aja,” katanya.

Survei BRIN dan ILO menunjukkan, hampir 73% pekerja perikanan tangkap di dalam negeri mendapat pekerjaan melalui keluarga, teman, atau dengan menghubungi kapten secara langsung.

Hanya 2,2% pekerja perikanan tangkap mendapatkan pekerjaan melalui agen perekrutan atau calo. Meski mayoritas rekrutmen tanpa agen atau calon, pungutan liar tetap mulus terjadi.

Menurut penelitian BRIN dan ILO, pengusaha atau perekrut pekerja dapat mengenakan biaya terkait perekrutan. Dalam beberapa kasus, pejabat korup juga dapat meminta suap atau komisi.

“Akibatnya, banyak pekerja mengeluarkan biaya besar selama proses perekrutan yang dapat mengakibatkan terjerat utang,” tulis penelitian itu.

Prinsip Umum dan Pedoman Operasional ILO untuk Perekrutan yang Adil serta Definisi Biaya Perekrutan dan Biaya Terkait (ILO 2019) menyatakan,  tidak ada biaya perekrutan atau biaya terkait yang boleh dibebankan, atau ditanggung pekerja atau pencari kerja.

Prinsip ini tercantum dalam Konvensi Nomor 188 dan Konvensi Badan Penempatan Tenaga Kerja Swasta, 1997 (No. 181), yang belum Pemerintah Indonesia ratifikasi. Juga belum ada dalam hukum ketenagakerjaan nasional seperti Undang-undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Rekrutmen pekerja perikanan, katanya,  juga tidak disertai pembekalan atau pelatihan kemampuan memadai. Juga tidak ada kontrak kerja tertulis dengan jelas.

Temuan survei ILO dan BRIN mengatakan, hanya 9,3% dari seluruh pekerja perikanan tangkap memiliki kontrak tertulis. Sisanya, mayoritas pekerja perikanan hanya melakukan perjanjian lisan sebagai bentuk kontrak kerja.

Kondisi pekerja perikanan tangkap tanpa kontrak kerja sangat rentan. Mereka menghadapi risiko eksploitasi lebih tinggi, ketidakamanan pekerjaan dan harapan tidak jelas.

Padahal menurut Konvensi ILO 188, Pasal 20 menyebutkan,  pemilik kapal bertanggung jawab memastikan setiap pekerja perikanan tangkap memiliki perjanjian kerja tertulis. Perjanjian ini ditandatangani pekerja dan pemilik kapal atau perwakilan resmi pemilik kapal, menyediakan pekerjaan dan kondisi kehidupan layak di atas kapal.

Pemerintah Indonesia,  katanya, mewajibkan semua pekerja perikanan tangkap memiliki perjanjian kerja laut (PKL) yang sah sebelum memulai pekerjaan di kapal. PKL mengatur syarat dan ketentuan kerja di atas kapal.

Adapun PKL merupakan kontrak formal antara pemilik kapal atau pemberi kerja dan pekerja perikanan tangkap yang menguraikan syarat dan ketentuan kerja bagi individu yang bekerja di atas kapal.

KKP menggagalkan dugaan praktik penyelundupan orang pada kapal perikanan di perairan Sumatera Utara. Foto : KKP

Kondisi kerja

Temuan survei mengungkap, pekerja menghadapi berbagai bahaya. Hampir 45% pekerja perikanan tangkap melaporkan menghadapi kondisi berbahaya terkait dengan peristiwa cuaca ekstrem, seperti badai, gelombang besar atau petir.

Bahaya kedua paling umum pekerja perikanan tangkap rasakan adalah risiko keselamatan di atas kapal. Tak ada APD, pengarahan keselamatan tidak memadai, dan akses peralatan keselamatan kurang.

Kondisi teknis kapal juga menjadi masalah keselamatan paling sering dikeluhkan. Hampir 11% pekerja melaporkan masalah keselamatan terkait kondisi teknis kapal.

“Kurangnya stabilitas karena kelebihan muatan kapal secara berkala dan kapal yang tidak layak berlayar,” tulis temuan survei BRIN dan ILO.

Kelelahan dan rasa lelah ekstrem memengaruhi kondisi keselamatan pekerja perikanan. Menurut Laporan National Fishers Center Indonesia, awak kapal menghadapi jam kerja panjang hingga lebih dari 10 jam per hari.

“Juga dipaksa bekerja dalam keadaan sakit, dan mengalami kekerasan verbal dan fisik.”

Menurut Konvensi ILO 188, Pasal 14, jam kerja bagi pekerja perikanan didefinisikan dalam hal waktu istirahat minimum.

Konvensi itu menetapkan, untuk kapal penangkap ikan yang beroperasi lebih dari tiga hari, waktu istirahat minimum bagi pekerja tidak boleh kurang dari 10 jam dalam 24 jam dan 77 jam dalam tujuh hari.

Laporan National Fishers Center Indonesia menunjukkan, pekerja perikanan tak mendapatkan makanan dan minuman layak. Mie instan menjadi makanan konsumsi praktis harian mereka saat berada di laut lepas.

Sulistri mengatakan, akses air bersih bagi pekerja di kapal sangat minim. Sampai-sampai, para pekerja memanfaatkan air bekas pendingin ruangan (AC) untuk konsumsi.

“Air AC bisa mereka minum, daripada minum air laut yang asin kan, ya akhirnya gitulah minum air tidak bersih.”

Perihal perlindungan sosial, mayoritas pekerja perikanan tidak terdaftar dalam program jaminan sosial. Menurut survei BRIN dan ILO, 71% pekerja di 18 pelabuhan yang disurvei, tidak memiliki jaminan sosial.

Survei BRIN dan ILO mencatat, sebagian besar pekerja perikanan tidak mengetahui apakah mereka terdaftar dalam program jaminan sosial. Hal ini menyiratkan, kurangnya kesadaran pekerja terhadap hak-hak mereka.

Nggak ada mereka jaminan sosialnya. Apalagi kalau bagi hasil tangkapan, gimana mau ngitung jaminan sosialnya? Agak ribet. Mereka juga nasibnya bukan seperti pekerja, lebih disebut sebagai mitra,” ujar Sulistri.

KKP menggagalkan dugaan praktik penyelundupan orang pada kapal perikanan di perairan Sumatera Utara. Foto : KKP

********

Pekerja Perikanan di Atas Kapal Butuh Perlindungan Negara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|