Pemerintah Abai Kerusakan Kabaena Demi Nikel?

11 hours ago 8
  • Pulau Kabaena,  Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara tercemar limbah tambang nikel, bahan penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, terutama jenis baterai lithium-ion. Alih-alih menertibkan, pemerintah terkesan membiarkan praktik buruk tambang nikel mengeksploitasi Kabaena selama dua dekade yang membuat ruang hidup masyarakat kian sempit dan menderita. Berbagai organisasi masyarakat sipil pun membawa persoalan ini sampai ke Uni Eropa.
  • Hasil riset di perairan Kabaena, menunjukkan pencemaran berat di perairan Kabaena. Kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, arsen, merkuri, dan timbal ada dalam sampel air laut dan kerang hingga tak aman untuk konsumsi.
  • La Ode M. Aslan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo menilai, ada pembiaran negara terhadap tambang-tambang yang merusak lingkungan ini. Mereka, pura-pura tidak tahu atau pura-pura tutup mata dengan kehancuran pulau-pulau kecil.
  • Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup (LH) mengatakan telah menerima laporan soal kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena karena aktivitas pertambangan nikel. Saat ini, bagian Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengidentifikasi kawasan industrinya.  Hanif pun berencana meninjau lokasi Juni 2025.

Pulau Kabaena,  Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara tercemar limbah tambang nikel, bahan penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik, terutama jenis baterai lithium-ion. Alih-alih menertibkan, pemerintah terkesan membiarkan praktik buruk tambang nikel mengeksploitasi Kabaena selama dua dekade yang membuat ruang hidup masyarakat kian sempit dan menderita. Berbagai organisasi masyarakat sipil pun membawa persoalan ini sampai ke Uni Eropa.

Satya Bumi bersama Sagori, kelompok masyarakat sipil dari Pulau Kabaena, Fern dan Rainforest Norway (RFN) ngadu ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Forum on Responsible Mineral Supply Chains pada 5-7 Mei 2025, di Paris, Prancis. Dalam forum itu mereka menyoroti soal penderitaan masyarakat lokal, krisis lingkungan, dan lemahnya perlindungan hukum di Indonesia.

Dalam sesi bertajuk EU Electric Vehicle Targets: Assessing Human Rights Implications, Deforestation Risks and Industry Readiness, Sayyidatiihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi mengatakan, Pulau Kabaena kini menjadi episentrum dampak krisis nikel karena ekspansi industri kendaraan listrik global.

“Apakah benar bijih nikel dan baja tahan karat dari negara kami memang untuk transisi energi? Bukan untuk perang atau mendukung pendudukan dan genosida? Bagaimana kami, rakyat Indonesia, bisa mengetahui itu jika tidak ada informasi rantai pasok yang transparan?” katanya saat memaparkan kondisi Pulau Kabaena dalam forum itu.

Hayya bilang, pulau kecil ini terbebani 15 izin usaha pertambangan (IUP) dengan konsesi mencapai 655 km persegi atau 70% dari luas pulau.

Hasil riset menunjukkan pencemaran berat di perairan Kabaena. Kandungan logam berat seperti nikel, kadmium, arsen, merkuri, dan timbal ada dalam sampel air laut dan kerang hingga tak aman untuk konsumsi.

Uji laboratorium terhadap urin warga menunjukkan konsentrasi nikel berkisar antara 4,77-36,07 mikrogram per liter, lima hingga 30 kali lipat lebih tinggi dari populasi umum.

Kadar logam berat dalam air laut mencapai 200%-7.000% di atas ambang batas aman yang WHO dan EPA (Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat). Paparan ini telah dikaitkan dengan juga tingginya kasus kanker, gangguan pernapasan akut, hingga kebutaan sebagian.

“Inilah kondisi faktual di mana mereka yang paling banyak mendapat keuntungan jarang sekali yang benar-benar mengambil tanggung jawab secara tulus. Untuk meminta persetujuan. Untuk berinteraksi dengan komunitas secara hormat,” katanya.

Sejauh ini, katanya, dalam rantai pasok nikel belum ada upaya nyata untuk memastikan akuntabilitas keterlacakan di hulu, menggabungkan dengan uji tuntas yang transparan, atau memulihkan lingkungan yang rusak dan komunitas yang terusir.

Hayaa menekankan,  urgensi penerapan standar internasional di tempat-tempat yang paling membutuhkan seperti di lokasi tambang ekstraktif.

“Setiap pemangku kepentingan harus memahami legislasi nasional Indonesia masih lemah. Mulai dari penilaian awal, pembangunan proyek, proses ekstraksi, hingga mekanisme pemulihan dan pelaporan, perlindungan yang semestinya ada sering kali tidak memadai atau bahkan diabaikan.”

Dia mendorong,   komunitas internasional menekan Pemerintah Indonesia agar mereformasi sistem perlindungan hukum yang lemah, mulai dari tahap perencanaan proyek hingga mekanisme pengaduan.

Dia bilang, pentingnya mekanisme pemulihan kuat, terutama untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Sulawesi, Halmahera, dan Papua yang terdampak parah ekstraksi nikel.

“Hentikan eksploitasi nikel Indonesia demi keuntungan ekonomi atau politik yang dibungkus dengan narasi ‘transisi energi yang adil’. Transisi yang benar adalah transisi yang tidak mengorbankan masyarakat dan lingkungan lokal.”

Sebelumnya, laporan Satya Bumi menyebutkan, sekitar 73% atau 650 kilometer persegi dari luas Pulau Kabaena (891 kilometer persegi) jadi konsesi tambang, dan 40% dari konsesi sudah beroperasi.

Ekspansi pertambangan nikel ini menyebabkan kerusakan lingkungan parah, terutama berdampak pada masyarakat Bajau dan ekosistem pesisir.

Masyarakat Bajau, yang bergantung pada laut, kini terpaksa mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi logam berat.

“Hal ini mengakibatkan kematian dan masalah kesehatan seperti penyakit kulit, gangguan ginjal, hati, dan kanker,” tulis dalam laporan.

Kerusakan lingkungan ini makin parah oleh deforestasi besar-besaran di Pulau Kabaena. Lebih dari 3.374 hektar hutan hilang antara 2001 dan 2022. Termasuk 24 hektar di kawasan hutan lindung.

“Perusahaan tambang tidak memberikan dukungan medis memadai atau kompensasi layak,” tulis dalam laporan Satya Bumi.

Masyarakat lokal, termasuk Suku Moronene dan Bugis, mengalami penggusuran paksa dari tanah mereka tanpa kompensasi. Tanah yang dulu untuk bercocok tanam kini tidak subur akibat polusi.

Lebih 80% penduduk Kabaena mengalami penurunan pendapatan signifikan. “Keluarga yang sebelumnya memperoleh penghasilan dari hasil tangkapan ikan kini hanya mendapatkan sekitar Rp15.000 per hari, jauh dari penghasilan sebelumnya Rp1 juta per hari,” tulis Satya Bumi dalam laporannya.

Tambang nikel di Pulau Kabaena. Ore nikel ini kemudian dibawa ke pelabuhan khusus atau jetty. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Kata pemerintah

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup (LH) mengatakan telah menerima laporan soal kerusakan lingkungan di Pulau Kabaena karena aktivitas pertambangan nikel. Saat ini, bagian Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengidentifikasi kawasan industrinya.  Hanif pun berencana meninjau lokasi Juni 2025.

“Mungkin setelah Mei ya, kami akan segera ke sana.”

Dia sadar, banyak masalah terjadi dan perlu penegakan hukum meski belum pidana. “Ada yang harus banyak ditegakkan. Tapi kami sudah sampaikan ke mereka bahwa kami menghindari pidananya sepanjang tindak besar kejadiannya. Tetapi ada tagihan-tagihan lingkungan yang relatif cukup besar akan kami tagihkan lagi. Ini untuk biaya pemulihan,” katanya.

Hanif berjanji mengambil tindakan tegas bagi pelaku pencemaran lingkungan di Kabaena. Kementerian Lingkungan, katanya, tak akan pandang bulu dalam menangani persoalan pencemaran lingkungan di Kabaena. Strategi pemulihan lingkungan pun mulai kementerian pikirkan.

“Ada (strategi). Nanti kalau itu, pertama kita cegah meluas (deforestasi). Kemudian yang sudah terjadi kerusakannya harus mereka pulihkan dengan dana [mereka] yang kita mintakan dari para ahli menghitungnya ya,” katanya.

Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan,  ekspansi tambang nikel di Kabaena mulai dua dekade lalu. Kabaena,  adalah potret pengabaian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil dan keberpihakannya kepada industri ekstraktif.

Yang terjadi di Kabaena itu hampir semua izin itu terbit oleh kebijakan pertambangan masa lalu. Di masa lalu kan kita tahu di Republik ini kebijakan soal penambangan di pulau kecil itu masih tidak menjadi sesuatu yang dilarang,” katanya.

Secara konstitusi,  seharusnya Kabaena dilindungi dan melarang aktivitas pertambangan, karena masuk dalam kategori pulau-pulau kecil karena hanya 891 km².

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tegas melarang pertambangan di pulau-pulau kecil dengan luas kurang dari 2.000 km². Hal ini dipertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Maret 2024 yang menolak permohonan uji aturan larangan penambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang PT Gema Kreasi Perdana, anak perusahaan Harita Group, mohonkan.

Dengan ada putusan MK itu, kata Jamil, seharusnya pemerintah evaluasi semua tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Harusnya tambang-tambang yang ternyata masih berlaku, masih ada masa aktifnya ya itu dievaluasi, dikoreksi apakah terjadi pencemaran, kerusakan lingkungan,” ucap Jamil.

Satu faktor yang melanggengkan penerbitan IUP di pesisir dan pulau-pulau kecil yakni politik. Jamil bilang, IUP kerap jadi alat transaksi politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

“Izin tambang juga jadi alat mendapatkan pundi-pundi keuangan dana kampanye untuk pemilu yang begitu mahal. Kita bisa lihat trendnya,” katanya.

Konflik kepentingan

La Ode M. Aslan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo menilai, ada pembiaran negara terhadap tambang-tambang yang merusak lingkungan ini.

Mereka, katanya,  pura-pura tidak tahu atau pura-pura tutup mata dengan kehancuran pulau-pulau kecil. “Saya bilang ini perampokan.”

Dia bilang, tidak ada penegakan hukum pemerintah, padahal regulasi sudah jelas menyatakan tak boleh ada penambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil karena sifatnya merusak lingkungan. Namun, tetap saja, pemerintah seakan membiarkan perusahaan tambang beroperasi.

Seperti kasus pertambangan di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, melibatkan pertikaian antara warga dan perusahaan tambang, GKP. Dalam kasus ini warga memenangkan gugatan atas tuduhan perusak lingkungan terhadap GKP. Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan izin, GKP tetap melaksanakan aktivitas ekstraktif. Sementara, tidak ada tindak pidana dalam kasus ini.

“Artinya nasibnya Kabaena dan Wawonii itu 11-12 ya. Saya katakan ini pembiaran oleh negara,” kata La Ode.

Pemerintah, katanya, jadi pihak yang bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk Kabaena. Sebab, pemerintah yang mengeluarkan IUP bagi perusahaan tambang untuk melakukan eksplorasi.

“Perusahaan tambang itu dibiarkan merusak, eksploitasi. Sehingga kehancuran ini tinggal menunggu waktu saja. Tidak ada upaya untuk mengawasi ataupun mengevaluasi izinnya yang sudah diberikan. Dibiarkan sampai hari ini.”

La Ode pun pesimis dengan upaya penegakan hukum pemerintah. Selama ini, katanya, mereka terkesan berpihak kepada para investor tambang, tanpa melihat dampak buruk ke masyarakat dan lingkungan. Bahkan, masyarakat kerap menjadi kambing hitam dan kena kriminalisasi.

Senada Jamil sampaikan. Dia bilang, penegakan hukum pada kasus pencemaran perusahaan tambang terkadang mendapat hambatan internal aparat penegak hukum. Konflik kepentingan itu membuat kasus berlarut-larut.

Kalau mau tegas, kata Jamil, seharusnya pemerintah langsung menutup perusahaan tambang dan mengambil tindakan hukum secara transparan begitu kedapatan mencemari lingkungan.

“Di Kabaena konflik sosial terjadi. Sampai sekarang. Pencemaran lingkungan dan kerusakan. Kurang apa lagi?”

********

Nasib Suku Bajo di Kabaena Terenggut Ambisi Kendaraan Listrik

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|