- Warga kampung lama Tembesi Tower, Kota Batam, Kepulauan Riau, harus meninggalkan kampung mereka Rabu (8/1/2025), yang dibongkar, dijadikan kawasan industri.
- Konflik lahan di kampung Tembesi Tower mencuat setelah PT. Tanjung Piayu Makmur (TPM) mendapat penetapan lahan (PL) dari BP Batam. Ini terkait rencana pembukaan kawasan industri oleh anak perusahaan Panbil Group tersebut.
- Awal 2024, TPM memulai rencananya dengan melakukan pemadatan lahan. Dampaknya, sejumlah permukiman mulai kebanjiran, tak kerkecuali kampung Tembesi Tower yang dihuni sekitar 800 KK.
- Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengaku telah melakukan serangkaian proses resolusi dan monitoring. Tujuannya, agar legalitas hak atas tanah yang dilaporkan warga Tembesi Tower, mendapat penyelesaian secara baik dan adil.
Saud Tambunan berteriak histeris. Ia tak kuasa melihat Tim Terpadu menarik tangan dan kaki istrinya keluar dari rumahnya di Kampung Tembesi Tower, Kota Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/1/2025).
“Biar kami bongkar, sendiri (rumah),” teriaknya di depan pintu.
Jeritannya tidak berguna. Puluhan petugas bergegas menariknya juga, menjauhi rumah yang hendak dirobohkan itu.
Pemandangan serupa terjadi di sudut kampung lain. Mereka yang sempat melawan, harus pasrah dan mengemas barang.
Sebagian warga mengaku tak tahu adanya rencana penggusuran itu.
“Saya tidak sempat mengeluarkan mesin pembuat roti, karena jalan kampung macet akibat lalu lalang truk. Ternyata, rumah sudah dirobohkan,” kata Joko, warga terdampak.
Melihat kejadian itu, beberapa tokoh kampung menemui Kapolres Barelang Kombes Pol. Heribertus Ompusunggu, di lokasi. Mereka meminta kemurahan Tim Terpadu untuk menunda sementara perobohan rumah, sampai warga bisa mengeluarkan barang mereka.
“Kami hanya memeriksa agar kegiatan ini berjalan sesuai aturan. Terkait dilanjutkan atau tidak, kami tidak ikut campur,” ujarnya.
Baca: Kekerasan Terhadap Warga, Sosiolog: Hentikan PSN Rempang Eco City Sebelum Korban Berjatuhan
Demi Investasi
Konflik lahan di kampung Tembesi Tower mencuat setelah PT Tanjung Piayu Makmur (TPM) mendapat penetapan lahan (PL) dari BP Batam. Ini terkait rencana pembukaan kawasan industri oleh anak perusahaan Panbil Group tersebut.
Awal 2024, TPM memulai rencana dengan pemadatan lahan. Dampaknya, sejumlah permukiman kebanjiran, tak kerkecuali kampung Tembesi Tower yang dihuni sekitar 800 KK.
Hingga akhir 2024, sebagian warga menolak relokasi. Alasannya, ganti rugi yang diberikan perusahaan dinilai tak sepadan. Selain itu, mereka juga memiliki legalitas untuk tinggal.
“Dasar pembangunan rumah ini SK Wali Kota dan ada izin prinsip. Saya rasa tidak ada bangunan permanen di sini,” kata Erik Sumadi, tokoh masyarakat.
Selama ini, warga taat bayar PBB. Ada pembangunan jalan, posyandu, hingga masjid. “Semua dari pemerintah,” katanya.
Ketua RW 16 Tembesi Tower, Fahruddin, menuturkan hal senada. Menurutnya, warga memiliki legalitas dan izin prinsip Kepala BP Batam Ismeth Abdullah.
“Terakhir juga surat Ombudsman agar tidak ada pembongkaran, hingga sengketa diselesaikan.”
Sebelum penggusuran dilakukan, warga mendapat tiga kali surat peringatan untuk mengosongkan bangunan. Disusul surat pembongkaran bangunan (SPB), 18 Desember 2024.
Menurut Fahruddin, sebagian warga menolak penggusuran karena kasus ini dalam proses sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Sekitar 300 KK menolak direlokasi. Jika gugatan masyarakat menang, siapa yang bertanggung jawab terhadap kerugian ini.”
Kepala Satuan Pol PP Kota Batam Imam Tohari, menegaskan pihaknya hanya menjalankan tugas.
“Selagi tidak ada putusan pengadilan untuk dihentikan, kami bergerak karena ini mekanisme kerja.”
Imam mengatakan, terdapat 310 bangunan yang akan diratakan. Pembongkaran bangunan di lahan seluas 12,6 hektar itu, melibatkan 1.400 personel gabungan.
Baca: Nasib Nelayan Pulau Rempang: Terancam Relokasi Proyek Strategis Nasional
Koordinator Lapangan TPM Berton Siregar, hadir dalam penggusuran tersebut. Pihaknya menegaskan, telah mensosialisasikan rencana ini setahun lalu. Perusahaan mengklaim memiliki legalitas berdasarkan keputusan BP Batam PL NO 215.26.24040675.001.X1 dan PL NO 23040729.
“Karena SPB tidak diindahkan maka pada 27 Desember kami lakukan pembongkaran. Namun, karena perangkat RT mau membongkar kolektif maka kami tunda.”
Warga diberi waktu hingga 8 Januari 2025. “Hanya sebagian yang mau, sehingga dibongkar paksa.”
Berton mengaku, telah memberi tiga pilihan kepada warga berdasarkan aturan Perka 710 tahun 2017 yang dikeluarkan BP Batam tentang besaran sagu hati atas tanah dan ganti rugi.
Pertama, warga menerima relokasi dan mendapatkan sejumlah uang yang dihitung dari total bangunan. Kedua, warga mendapatkan rumah siap huni di kawasan Tanjung Piayu. Atau ketiga, warga memilih untuk dipindahkan dan mendapatkan uang serta tanah kavling.
“Luas kavling 6×10 meter, setelah itu warga bisa bangun rumah sendiri.”
Berton mengungkapkan, penggusuran harus dilakukan karena akan dibangun kawasan industri seluas 12 hektar. Sebanyak 12 perusahaan akan beroperasi yang diperkirakan menyerap tiga ribu tenaga kerja.
“Dipercepat sesuai permintaan investor dan kami sudah terlambat Oktober lalu. Pembangunan ini sudah ada analisis dampak lingkungan dari Pemko dan BP Batam.”
Terpisah, Chairman Panbil Group Johanes Kennedy Aritonang mengatakan, kampung lama Tembesi Tower harus ditata karena di sekitarnya ada kawasan industri dan Mall Top 100.
“Meski sudah dihuni lama namun tidak tertata baik,” katanya.
Penyelesaian Berlarut
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengaku telah melakukan serangkaian proses resolusi dan monitoring. Tujuannya, agar legalitas hak atas tanah yang dilaporkan warga Tembesi Tower, mendapat penyelesaian secara baik dan adil.
Menurutnya, penggusuran mencerminkan proses penyelesaian berlarut di BP Batam yang justru menimbulkan ketidakpastian dan mencederai keadilan.
“Dalam proses resolusi, kami telah meminta dan memberikan waktu yang cukup kepada BP Batam, agar praktik penataan lahan di Tembesi Tower diselesaikan dengan baik, partisipatif, dan mengedepankan musyawarah mufakat,” jelasnya, Rabu (8/1/2025).
Pakar Hukum Kota Batam Dr. Diki Zukriadi mengatakan, pemerintah harus memperhatikan masyarakat Tembesi Tower yang sudah tinggal puluhan tahun di tanah tersebut.
“Meskipun warga tidak punya legalitas kuat, tiba-tiba muncul investor dan menggusur warga, dimana keadilannya,” terangnya, Rabu (8/1/2025).
Dari perspektif UU Agraria, ketika warga sudah menempati lahan selama 20 dan 25 tahun, mereka dapat mengurus legalitas.
“Pertanyaan besarnya, warga sudah lama mengajukan permohonan, tapi tidak mendapat respons. Ketika investor minta alokasi lahan, disetujui. Ini terjadi kesenjangan,” tegasnya.
Kala Proyek Rempang Eco-city Melaju, Warga Menolak Berhadapan dengan Aparat