- Konflik akibat hilirisasi nikel tak kunjung usai. Kali ini, masyarakat yang tergabung dalam Forum Ambunu Bersatu (Forbes) menggelar protes di kawasan industri nikel, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) lantaran proses ganti rugi mereka nilai tidak adil.
- Kehadiran perusahaan ini, yang mulai beroperasi pada 2023 dengan investasi Rp14 triliun, dituding menyebabkan perubahan demografi, menurunkan kualitas hidup penduduk lokal, serta meningkatkan kasus ISPA akibat pencemaran udara dari smelter dan PLTU.
- Selain itu, perusahaan dianggap tidak memenuhi janji tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan hanya memberikan kompensasi rendah kepada warga terdampak.
- WALHI Sulteng dan warga setempat mengecam praktik kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak atas tanah dan mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin lingkungan serta menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang terjadi.
Konflik akibat hilirisasi nikel tak kunjung usai. Kali ini, masyarakat yang tergabung dalam Forum Ambunu Bersatu (Forbes) menggelar protes di kawasan industri nikel, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) lantaran proses ganti rugi mereka nilai tidak adil.
Dalam aksi 10 April 2025 itu, massa juga menuding perusahaan menyerobot lahan dan menguasai aset desa, membabat hutan mangrove, memicu degradasi kawasan pesisir hingga membuat nelayan harus melaut lebih jauh. Para petani juga terpaksa menjual lahan dan beralih profesi.
Ramadhan Annas, Koordinator Lapangan Forbes mengatakan, kehadiran IHIP membuka peluang ekonomi baru tetapi tidak banyak warga merasakan manfaatnya. Sebab, mayoritas pekerja dan pengusaha disana berasal dari luar.
“Penduduk setempat hanya sebagai pekerja kasar dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak layak,” katanya dalam keterangan tertulis.
Perubahan demografi dampak IHIP juga menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, hingga air tanah keruh. Selain itu, kualitas air sungai dan laut juga berubah. Bahkan sejumlah sungai tertimbun hingga mengakibatkan banjir.
Operasional PLTU di dalam kawasan itu (captive) juga menjadikan Sungai Ambunu tercemar serta menyebabkan terumbu karang mati terdampak limbah cair yang dibuang ke laut. Parahnya lagi, ikan-ikan yang ditemukan juga mengandung kromium heksavalen, sehingga berpotensi mengganggu kesehatan ketika dikonsumsi.
“Jika konsentrasinya terus meningkat (karena dikonsumsi manusia), senyawa itu dapat mengubah morfologi tubuh, merusak sistem pencernaan atau bahkan menyebabkan kanker,” jelas Annas.

Aktivitas reklamasi juga mengancam kelangsungan hidup petani pembudidaya rumput laut. Kualitas udara di sekitar kawasan IHIP juga terpengaruh oleh pertambahan jumlah penduduk, pengurangan tutupan vegetasi, dan peningkatan frekuensi lalu lintas.
Seiring dengan pengembangan kawasan IHIP, kualitas air sungai dan laut mengalami perubahan. Banyak petani rumput laut yang merugi karena kualitas air laut yang kian terdegradasi.
Annas, ungkap, kehadiran smelter dan PLTU di IHIP menyebabkan kadar partikulat debu di sekitarnya meninggi, melebihi kriteria IRMA (Responsible Mining Assurance). “Jika terus berlangsung mengancam kesehatan warga sekitar,” jelasnya.
Menurut Annas, data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Wosu terungkap, kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) terus meningkat semenjak adanya IHIP. Pada tahun 2021 ada 735 kasus, tahun 2022 tercatat 1.200 kasus, sementara pada 2023 terdapat 1.148 kasus.
Forbes pun menuntut IHIP bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan, memberikan kompensasi kepada warga terdampak, dan merealisasikan janji-janji mereka terkait CSR, pemberdayaan tenaga kerja lokal, dan penyediaan infrastruktur. Mereka juga menuntut restrukturisasi manajemen IHIP agar lebih berpihak pada pemberdayaan lokal.
Mongabay berusaha mengkonfirmasi mengenai tudingan warga ke IHIP melalui Hasrul, Humas IHIP melalui aplikasi percakapan 14 April 2025. Dia pun meminta Mongabay mengajukan pertanyaan tertulis, namun hingga naskah ini terbit, tak kunjung mendapat jawaban.

Modus baru
Walhi Sulteng dalam laporan berjudul Polemik Agraria di PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) yang tak pernah usai berujung kriminalisasi, menjelaskan, IHIP, dengan dukungan modal modal Tiongkok melalui konsorsium Zhensi Indonesia Industrial Park dan mitra lain, mengembangkan kawasan industri nikel di Kecamatan Bungku Barat, di Morowali yang rampung dan mulai beroperasi pada 2023.
Proyek ini mencakup pembangunan smelter, PLTU barubara dan fasilitas pendukung lain dengan total investasi mencapai Rp14 triliun. Lahan seluas 20.000 hektar untuk proyek ini, mencakup beberapa desa seperti Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larobenu, dan Wosu.
Proyek IHIP pun memicu konflik agraria dengan masyarakat antara lain karena pengambilan lahan tanpa proses transparan.
Warga memprotes penggunaan jalan tani oleh perusahaan sebagai jalan hauling tanpa persetujuan mereka. Sebaliknya, perusahaan mengklaim kepemilikan jalan berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Bupati Morowali, yang tidak masyarakat ketahui.
Warga blokade jalan Juni 2024, yang melibatkan ratusan orang di beberapa titik strategis. Aksi ini untuk menghentikan aktivitas produksi dan menuntut kejelasan atas penggunaan lahan tersebut. Namun, sejumlah warga malah dikriminalisasi.
Koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan mendesak pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi, membatalkan MoU yang tidak transparan, dan mengevaluasi izin lingkungan serta izin usaha kawasan industri yang dimiliki oleh IHIP
Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam pembangunan industri yang berkelanjutan dan menghormati hak-hak masyarakat lokal. Transparansi, partisipasi masyarakat, dan penegakan hukum yang adil menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik agraria dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.
“Ada pola baru yang dilakukan IHIP yang tidak pernah terjadi di industri-industri lain,” kata Wandi.
Dia menjelaskan, pola baru IHIP adalah melakukan gugatan kepada masyarakat yang mempertahankan jalan tani mereka. Hal ini mengakibatkan lima orang digugat IHIP dengan denda Rp14 miliar, kini berproses di Pengadilan Negeri Poso.

Rampas tanah warga
Walhi Sulteng menuduh IHIP terlibat dalam perampasan lahan, mengkriminalisasi penduduk yang menentang proyek itu, dan menyebabkan polusi udara dan air yang signifikan.
“Ada gatal-gatal, bercak-bercak bintik-bintik hitam yang dialami warga di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu.”
Tiga desa itu merupakan pemukiman paling dekat dengan aktivitas IHIP, berjarak sekitar seratus meter lebih. Desa-desa ini rentan terpapar polusi aktivitas bongkar muat batubara dan kendaraan truk lalu lalang mengangkut nikel.
Kondisi itu signifikan dengan meningkatnya angka penderita ISPA pada 2023 1148 kasus. Wandi bilang, peningkatan ISPA sangat ‘cepat’. Saking parahnya, siswa SD memakai masker saat belajar. Dari temuan-temuan Walhi di lapangan menunjukkan aktivitas IHIP menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan.
Wandi menyerukan, IHIP bertanggung jawab atas tindakannya dan meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar kepatuhan proyek pada peraturan. Kalau tidak, praktik serupa akan terjadi di banyak tempat.
“Seharusnya, pemerintah bersama perusahaan melakukan uji apa baku mutu air yang yang dekat wilayah-wilayah industri.”
Rahman, warga Desa Tondo, menceritakan pengalamannya tinggal di dekat kawasan industri IHIP. Ia merasa tidak nyaman dengan kebisingan, debu, dan asap dari PLTU dan smelter yang masuk ke kampungnya. Meskipun baru setahun melakukan uji coba produksi, dampak lingkungannya sudah mulai terasa.
Rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari PLTU IHIP. Namun, polusi udara, terutama debu, sudah berlangsung begitu kuat.
Rahman juga ceritakan bagaimana IHIP diam-diam menggusur paksa kebun sawit orang tuanya pada 2022. Lahan ini untuk membangun flyover yang menghubungkan PLTU dan fasilitas pengolahan feronikel. Parahnya, kompensasi perusahaan tidak sebanding dengan kerugian keluarganya.
Perusahaan menggunakan strategi untuk menekan warga agar menerima kompensasi yang rendah. “Ada semacam tim dari perusahaan untuk bilang bahwa ‘terima saja, tidak usah sudah menggugat karena ini perusahaan besar,’” katanya.
*****
Masyarakat Terdampak Protes Proyek Kawasan Industri Nikel IHIP di Morowali