- Ratusan warga Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng) mendatangi kantor DPRD setempat. Kedatangan mereka untuk menyampaikan penolakan terkait rencana pendirian pabrik semen dan tambang batu gamping di wilayah setempat.
- Setya Dewi Saputri, warga Desa Watangrejo, mewakili kelompok perempuan muda menyebut, kehadiran pabrik semen dipastikan mengganggu aktivitas pertanian warga. Kehadiran pabrik semen dinilainya akan memiskinkan warga yang selama ini hidup dari bertani.
- Warga sempat melakukan pemetaan mandiri yang menegaskan bahwa wilayah Pracimantoro termasuk kawasan karst, yakni bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit berdasar lima indikasi. Diantaranya, adanya lubang (sinkhole), cekungan tertutup (doline), langkanya sungai permukaan, berkembang aliran air/sungai bawah tanah dan gua.
- Menanggapi tuntutan warga, DPRD Wonogiri menjanjikan dua hal. Pertama mendiskusikan kembali usulan revisi Perda RTRW, dan kedua, memfasilitasi Paguyuban Tali Jiwo berdiskusi dengan tim penyusun Amdal tambang dan pabrik semen itu.
Dengan menumpang dua bus, ratusan warga Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng) mendatangi Kantor DPRD, Senin (14/4/25). Warga akan audiensi dengan DPRD terkait rencana perusahaan pabrik dan tambang semen yang akan masuk wilayah mereka. Sikap warga bulat menolak pembangunan itu tanpa kompromi.
Undangan audiensi itu untuk 50 orang, tetapi yang datang lebih 150 warga. Ruang Graha Paripurna, tempat pertemuan pun penuh sesak. Agenda kali pertama warga penolak semen yang berhimpun di Paguyuban Tali Jiwo menyuarakan aspirasi secara langsung ke ‘wakil rakyat.’
Dalam pertemuan itu, para perwakilan warga yang merepresentasikan berbagai kelompok menyampaikan uneg-unegnya. Mulai dari anak muda, perempuan, lansia, petani hingga pedagang. Mereka satu suara: menolak rencana pendirian pabrik semen dan tambang batu gamping.
“Lahan sawah ibu saya berada di depan lokasi rencana pabrik, kalau sudah beroperasi bagaimana mau bertani karena pasti terganggu debunya,” kata Setya Dewi Saputri, warga Desa Watangrejo, mewakili kelompok perempuan muda.
Dia bilang, dalih pembangunan pabrik semen hanya di lahan yang mau dijual dan tak mengganggu warga yang masih mau bertani itu tidak masuk akal. “Bagaimana mau bertani kalau ada pabrik semen di sekitar lahan pertanian kami. Tolong batalkan rencana itu.”
Rencana pembangunan pabrik semen, kata Setya, justru akan memiskinakn petani Pracimantoro. “Kami sudah sejahtera dari bertani, ibu saya sendirian jadi tulang punggung keluarga sudah bisa menyekolahkan anak-anaknya dari bertani. Kami tak butuh pabrik semen,” katanya kepada pimpinan DPRD.
Tak hanya petani, warga yang lain juga menyatakan hal sama. Hilmi Zulfikar, warga Desa Sambiroto yang sehari-hari berdagang di Pasar Pracimantoro pun tegas menolak.
Demi bisa menyampaikan suaranya secara langsung, Senin pagi itu, Hilmi rela menutup toko perkakasnya lebih awal. Dia menukar waktu untuk jualan di pasar dengan turut serta ke DPRD Wonogiri.
“Saya menolak pabrik semen karena perekonomian Pracimantoro ini ditopang petani, kalau mereka kehilangan pekerjaannya maka pasar pasti sepi tidak ada yang beli.”
Belum lagi polusi. Kehadiran pabrik semen, katanya, pasti mengganggu aktivitas warga sehari-hari karena polusi. “Udara sekarang sudah bersih, kalau nanti pabrik semen ini ada pasti polusi meningkat lalu kesehatan kami terancam.”

Tuntutan warga
Ada lima tuntutan warga kepada DPRD Wonogiri pada audiensi itu. Pertama, meminta legislatif daerah itu mendukung gerakannya dalam menjaga kelestarian lingkungan, kedua, mempertahankan lahan pertanian. Ketiga, melindungi kawasan karst Gunung Sewu, keempat, merevisi Perda No.2/2022 tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan, kelima, menghentikan pabrik semen.
Suharto, Ketua Paguyuban Tali Jiwo, menyebut, Perda RTRW Wonogiri jadi pintu awal rencana pabrik semen yang mengeluarkan status wilayahnya dari kawasan bentang alam karst (KBAK). “Maka kami minta agar itu direvisi dan mengembalikan status KBAK di wilayah tersebut,” katanya.
Warga Desa Sambiroto, Kecamatan Pracimantoro ini menyebut DPRD Wonogiri punya tanggung jawab mendukung tuntutan ini. Apalagi, upaya menjaga kelestarian lingkungan dan mempertahankan lahan pertanian adalah cara untuk mewujudkan kedaulatan pangan, merupakan program pemerintah.
Suharto menegaskan, tuntutan itu tanpa syarat dan tanpa kompromi. Sebagian warga Pracimantoro bahkan menyebut rela menukar nyawa demi batalnya pabrik semen itu. Kalau rencana berlanjut, penghidupan warga juga akhirnya ikut terancam.
Suprihatin, perempuan petani Desa Watangrejo katakan, betapa pertanian menjadi penopang ekonominya. Dia tak butuh bantuan atau ulur tangan pemerintah untuk menghidupi keluarganya.
“Kami sudah hidup layak, tidak kekurangan. Bisa makan, sekolah, periksa kesehatan dengan hasil bumi sendiri. Kami tidak butuh pabrik semen yang mengancam penghidupan ini, bahkan kalau nyawa saya sendiri dipertaruhkan untuk membatalkannya, saya mau.”
Harga mati untuk menolak pabrik dan tambang semen oleh Paguyuban Tali Jiwo ini bersifat final. Mereka tak mau tawar-menawar terhadap rencana itu. “Bapak-ibu DPRD tolong ingat bahwa kami yang memilih sehingga kalian bisa duduk sebagai dewan, dukung kami menolak pabrik semen ini,” kata Suprihatin.

Banyak ponor dan sumber air
Paguyuban Tali Jiwo bukan tanpa dasar ilmiah menolak pabrik semen itu. Mereka sedang melakukan pemetaan wilayahnya untuk membuktikan kawasan itu mestinya masuk Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Temuan sementara dari pemetaan mandiri itu menunjukkan lima indikator KBAK terpenuhi di sana.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 17 tahun 2012 yang dimaksud karst adalah bentang alam yang terbentuk akibat pelarutan air pada batu gamping dan/atau dolomit. Umumnya, karst dicirikan dengan adanya lubang (sinkhole), cekungan tertutup (doline), langkanya sungai permukaan, berkembang aliran air/sungai bawah tanah dan gua.
Suryanto Pemrent, warga Desa Watangrejo yang mengkoordinir pemetaan itu menyebut menemukan 15 ponor yang bentuknya seperti sinkhole dan doline. “Temuan ini baru pada 20 hektar yang akan jadi area pertambangan karst, kami yakin jumlahnya akan bertambah lagi,” kata alumnus Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu.
Indikator lain bahwa rencana lokasi tambang semen masuk kawasan karst, jelas Suryanto, adalah temuan fauna endemik di dua gua yang disusurinya. “Sementara ini kami temukan ada koloni kelelawar khas dan ada laba-laba endemik juga.”
Dua gua yang Suryanto dan warga lain susuri itu juga menunjukkan masih terjadinya proses karstifikasi. Hal itu terbukti dengan mengalirnya tetesan air pada stalaktit dan stalakmit.
“Indikator lainnya untuk bisa disebut kawasan karst adalah ketebalan batuan 30 meter. Ini terbukti dengan adanya sumur warga yang setelah kami ukur dan masuk ke dalamnya menunjukkan tebal batuan lebih dari 30 meter.”
Secara indikator eksokarst, katanya, sudah terlihat dengan mata telanjang sedangkan endokarst terbukti dari gua yang ditelusuri dan sumber air yang warga manfaatkan. “Sumber air yang sudah kami cek ada lima titik, semuanya sampai saat ini digunakan warga yang membuktikan adanya endokarst dan sungai bawah tanah.”
Temuan awal pemetaan mandiri dari Mapala Fakultas Geografi UMS itu juga mereka sampaikan dalam audiensi ini. Selanjutnya, penelitian lebih mendalam akan dilakukan sebagai landasan kebijakan agar Pracimantoro masuk KBAK.

Jawaban DPRD
DPRD Wonogiri menjanjikan dua hal. Pertama, mendiskusikan kembali usulan revisi Perda RTRW, dan kedua, memfasilitasi Paguyuban Tali Jiwo berdiskusi dengan tim penyusun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tambang dan pabrik semen itu.
Sriyono, Ketua DPRD Wonogiri, tak membantah lembaganya turut andil dalam meloloskan Perda RTRW yang jadi pintu masuk pabrik semen itu. Dia menyebut, usulan peraturan itu dari eksekutif dan telah mereka sinkronkan hingga nasional pada 2020.
Dia berdalih, mengubah Pracimantoro jadi kawasan industri dalam Perda RTRW itu karena ketimpangan wilayah. “Waktu itu datanya ada ketimpangan, maka Pracimantoro diubah jadi kawasan industri. Tapi kami sendiri tidak tahu kalau industri yang dimaksud adalah semen,” katanya.
Sriyono membayangkan industri yang masuk di Pracimantoro saat pembahasan Perda RTRW adalah garmen atau sektor lain yang padat karya dan mampu menyerap tenaga kerja. Hingga kini pun belum ada pihak yang berkoordinasi dengan DPRD terkait rencana pabrik semen itu.
“Baru Paguyuban Tali Jiwo ini yang secara resmi berkoordinasi dengan kami soal rencana pabrik semen. Dari investor atau pihak terkait lainnya belum ada.”
Terkait aspirasi penolakan pabrik semen itu, mereka akan membahas dalam rapat pimpinan dewan.
“Akan kami bahas lebih dalam lagi dalam rapat pimpinan, termasuk usulan revisi Perda tadi. Terkait memfasilitasi warga akan terus kami upayakan, termasuk bersurat ke Pemprov Jawa Tengah karena perizinan dan kewenangan di sana bukan pada kami.”
Dengan membawa sejumlah poster bernada protes, warga sempat mendatangi pendopo kabupaten untuk menyampaikan tuntutannya kepada Bupati Setyo Sukarno. Karena bupati tak ada di tempat, warga pun gagal bertemu.
*****