Pakar: Banyak Data Belum Terungkap dalam Perdagangan Satwa Legal

2 days ago 11
  • Meski sudah dinyatakan legal, perdagangan satwa liar bernilai USD220 miliar per tahun dan melibatkan setidaknya sebanyak 70.000 spesies, tetapi data keberlanjutannya masih sangat terbatas, terutama untuk spesies yang tidak tercantum dalam CITES.
  • Munculnya pasar daring dan meningkatnya permintaan akan hewan peliharaan eksotik, termasuk spesies yang kurang dikenal seperti laba-laba dan kutu kayu, mendorong penangkapan dari alam yang tidak berkelanjutan.
  • Daftar CITES hanya mencakup sebagian kecil dari spesies yang diperdagangkan, dan sebagian besar negara tidak memiliki data perdagangan yang terstandar dan tersedia untuk publik, sehingga menyulitkan penilaian terhadap ancaman terhadap keanekaragaman hayati.
  • Peneliti Alice Hughes dari University of Hong Kong mengusulkan peralihan ke sistem “daftar hijau” di mana hanya spesies yang telah disetujui sebelumnya yang boleh diperdagangkan, dikombinasikan dengan pemantauan waktu nyata, pengkodean genetik, dan pelacakan digital untuk meningkatkan penegakan hukum dan keberlanjutan.

Sejak awal peradaban, manusia telah memperdagangkan satwa liar dan produk satwa liar, seperti gading, kerang, bulu, dan bulu burung. Selama berabad-abad itu, perdagangan ini telah berkembang, melibatkan jaringan yang kompleks, puluhan ribu spesies, dan nilai mencapai ratusan miliar dolar.

Meskipun perdagangan satwa liar yang dikelola dengan baik dapat mendukung mata pencaharian, keserakahan dan kapitalisme keuntungan telah mendorong banyak spesies — setidaknya 500 spesies, menurut beberapa perkiraan — menuju kepunahan lokal maupun global.

Pada tahun 1973, sebanyak 80 anggota IUCN, yang merupakan otoritas global dalam konservasi satwa liar, berkumpul untuk mencegah perdagangan satwa liar yang tidak berkelanjutan dan menandatangani perjanjian global yang mengikat secara hukum mengenai perdagangan satwa liar internasional.

Perjanjian ini lalu dikenal sebagai Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam Punah (CITES), yang mulai berlaku pada tahun 1975.

Lima puluh tahun kemudian, sebanyak 185 negara telah menandatangani konvensi ini, dengan lebih dari 40.000 spesies tumbuhan dan hewan tercantum dalam tiga lampiran CITES. CITES berfungsi sebagai basis data global mengenai perdagangan legal spesies-spesies tersebut.

Meskipun sebagian besar perbincangan tentang perdagangan satwa liar cenderung berfokus pada perdagangan ilegal, nilai perdagangan legal setidaknya 10 kali lebih besar. Laporan CITES tahun 2022 memperkirakan bahwa nilai perdagangan satwa liar legal secara global mencapai USD220 miliar per tahun.

Terlepas dari nilainya yang signifikan, para ahli mengatakan bahwa kita memiliki sangat sedikit data untuk menilai apakah perdagangan satwa liar legal tersebut berkelanjutan atau tidak di tingkat lokal, regional, maupun global.

Hal ini khususnya berlaku bagi sebagian besar jenis-jenis spesies yang tidak tercantum dalam CITES, karena perdagangannya yang nyaris tidak terdokumentasi.

Seekor ular piton Burma (Python bivittatus) dan seekor buaya alligator tengah saling bergelut di Everglades, Florida. Berasal dari Asia Tenggara, piton tersebut dibawa ke Florida Selatan sebagai hewan peliharaan eksotik dan kini menjadi spesies invasif yang mengancam fauna asli. Foto: Lori Oberhofer, Dinas Taman Nasional AS melalui Wikimedia (domain publik).

Dalam wawancara dengan Spoorthy Raman dari Mongabay, peneliti dan penulis studi perdagangan satwa liar Alice Hughes, dari University of Hong Kong, menjelaskan betapa sedikitnya pengetahuan kita tentang skala perdagangan satwa liar legal di dunia.

Hughes juga tentang pentingnya pengumpulan data tentang perdagangan satwa liar bagi keberlanjutan dan pencegahan hilangnya keanekaragaman hayati. Berikut cuplikan wawancaranya, yang telah disunting tata bahasanya untuk keperluan penyajian artikel ini.

Alice Hughes. Dok: pribadi

Mongabay: Mengapa penting mempelajari skala perdagangan satwa liar?

Alice Hughes: Perdagangan satwa liar adalah salah satu pendorong utama penurunan populasi satwa dan ancaman besar bagi kelangsungan hidup spesies. Hal yang mendasar adalah kita sebenarnya tidak memiliki pemahaman yang cukup jelas tentang perdagangan ini sebagaimana mestinya.

Perdagangan satwa liar legal volumenya setidaknya 10 kali lebih besar dibandingkan perdagangan ilegal, namun kita bahkan tidak tahu apa saja yang diperdagangkan di dalamnya.

Jika kita tidak tahu apa yang sedang diperdagangkan, kita tidak tahu spesies mana yang menghadapi risiko punah. Faktanya volume perdagangan ini sangat besar dan tanpa data yang lebih baik, kita tidak bisa melakukan regulasi yang lebih baik.

Kita tidak bisa mengetahui di mana titik-titik kerentanannya. Kita tidak bisa tahu di mana kita perlu meningkatkan regulasi atau pemantauan.

Kurangnya pemahaman tentang seperti apa sebenarnya perdagangan ini membuat pemerintah tidak terdorong untuk mengumpulkan dan membagikan data tersebut secara sadar, dan mereka tampaknya mengabaikan fakta bahwa perdagangan satwa liar merupakan risiko besar bagi kelangsungan hidup spesies.

Tokek jari lengkung (Cyrtodactylus spp) yang termasuk dalam perdagangan hewan peliharaan (pet trade), dan sering kali muncul di pasar tak lama setelah spesies baru dideskripsikan. Foto: Alice Hughes.

Mongabay: CITES, basis data global perdagangan satwa liar internasional, telah ada selama 50 tahun. Apakah CITES tidak mengumpulkan cukup data tentang perdagangan satwa liar?

Alice Hughes: CITES, yang pada dasarnya dibuat untuk mengurangi perdagangan yang tidak berkelanjutan, dan itu hanya mencakup sebagian kecil spesies.

Sebagian besar spesies yang diperdagangkan tidak termasuk dalam CITES. CITES hanya mencakup 9% dari reptil, sementara studi kami menunjukkan bahwa lebih dari 45% reptil ada dalam perdagangan.

Sekitar 2,4% amfibi tercantum dalam CITES, padahal sekitar 17% atau lebih yang sebenarnya diperdagangkan. Tidak semua catatan berada pada tingkat spesies, dan masih ada penggabungan data dalam kelompok seperti kupu-kupu, arachnida, dan ikan karang.

Sistem data LEMIS di Amerika Serikat misalnya, meskipun merupakan basis data yang lebih komprehensif karena mencatat perdagangan satwa liar legal maupun ilegal hanya terbatas hanya pada data dari Amerika Serikat.

Uni Eropa memiliki sistem TRACES, yang tidak mengumpulkan data hingga tingkat spesies dan juga tidak tersedia untuk publik.

Meskipun hampir setiap negara memiliki semacam sistem untuk melacak hewan dan tumbuhan yang masuk ke perbatasannya, sebagian besar data itu tidak tersedia secara terbuka dan tidak ada standar yang ditetapkan.

Kecuali kita mulai memiliki standar yang terpusat, kita tidak akan bisa mengetahui semua hal penting yang sebenarnya perlu kita ketahui.

Mongabay: Seberapa akurat data yang kita miliki saat ini?

Alice Hughes: Ada banyak perkiraan yang terlalu rendah di luar sana. Sementara Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) memperkirakan bahwa ada sekitar 50.000 spesies yang diperdagangkan, kami tahu bahwa itu merupakan angka yang terlalu rendah untuk banyak kelompok spesies.

Saya sedang mencoba mengumpulkan data secara terpisah tentang jumlah spesies yang diperdagangkan, dan angka yang saya peroleh sudah lebih dari 70.000 spesies — jumlah yang sangat besar.

Alasan mengapa angka ini terlalu rendah adalah karena banyak orang masih memiliki pandangan konservatif bahwa kita masih memperdagangkan satwa seperti 50 tahun lalu, dimana sebagian besar untuk konsumsi atau penggunaan tradisional, padahal kenyataannya sudah tidak seperti itu lagi.

Pasar ornamental, yang awalnya hanya mencakup anggrek, kini telah meluas ke berbagai jenis kingdom satwa.

Kutu kayu seperti pill bug (Armadillidium vulgare) yang semakin diminati sebagai hewan peliharaan oleh anak-anak dan para hobiis, yang mencari mutasi genetik langka. Foto: Franco Folini via Wikimedia (CC BY-SA 3.0).

Mongabay: Bagaimana perdagangan satwa liar telah berubah dalam 50 tahun terakhir, dan di mana saja letak kekurangan pemahaman kita terhadap perubahan tersebut?

Alice Hughes: Saat ini ada jauh lebih banyak spesies yang diperdagangkan, terutama dari kelompok-kelompok yang diperjualbelikan untuk keperluan non-tradisional, seperti perdagangan ornamental dan hewan peliharaan eksotik.

Jika permintaannya tinggi, maka populasi di sumbernya bisa saja musnah dan hancur, padahal populasi tersebut sangat sedikit diketahui.

Pasar konsumen biasanya tidak paham dengan kondisi keberlanjutan spesies atau tidak mendapatkan informasi yang benar. Para penjual umumnya menciptakan kesan bahwa perdagangan tersebut berkelanjutan — padahal semuanya hanya fiksi.

Sebagai contoh, pada kelompok tertentu seperti arachnida, orang-orang ingin mengoleksi sebanyak mungkin spesies, dan di forum-forum daring, para kolektor kadang mencantumkan ratusan spesies.

Jika spesies-spesies ini memiliki wilayah persebaran yang sempit — seperti tarantula, yang merupakan hewan berumur panjang dan berkembang biak dengan lambat — maka perdagangan bisa merusak populasi alami mereka.

Namun, kelompok-kelompok kecil seperti ini benar-benar diabaikan baik dalam penelitian maupun regulasi, dan hal ini adalah sesuatu yang sangat perlu kita tangani.

Berbagai kanal daring seperti Instagram, Etsy, dan WhatsApp kini menjadi platform utama untuk memperdagangkan berbagai spesies, dan ada grey area dalam perdagangan ini yang kurang diatur.

Meskipun Etsy dan eBay memiliki kata kunci tertentu terkait barang bernilai tinggi seperti gading yang dilarang, untuk kelompok spesies lain mereka masih sangat ketinggalan. Menindak perdagangan di platform terenkripsi seperti WhatsApp juga sangat sulit.

Perusahaan seperti Meta dan Instagram saja belum sepenuhnya mampu melindungi persoalan hak asasi manusia, jadi mereka jelas belum sanggup dalam melindungi spesies lainnya.

Semua ini menyoroti kenyataan bahwa kita memiliki sistem yang diciptakan saat dimensi perdagangan masih sangat berbeda dibandingkan sekarang. Tidak mungkin kita dapat menggunakan mekanisme yang lambat dalam menangani tren perdagangan yang bisa berubah dengan sangat cepat.

Tarantula salmon pink Brazil (Lasiodora parahybana) adalah salah satu arachnida yang populer dalam perdagangan hewan peliharaan. Perdagangan mereka yang tidak diatur akan merusak populasi mereka di alam liar.  Foto: George Chernilevsky via Wikimedia (domain publik).

Mongabay: Bagaimana dengan menambahkan spesies-spesies ini ke dalam daftar CITES segera setelah ditemukan dalam perdagangan bisa membantu?

Alice Hughes: Masalah dengan CITES adalah bahwa kita hanya bisa menaikkan status perlindungan spesies dalam pertemuan CITES yang hanya berlangsung setiap tiga tahun sekali.

Jadi, jika Anda mendeskripsikan adanya temuan spesies baru satu tahun sebelum pertemuan CITES berikutnya, Anda tidak akan memiliki cukup waktu untuk menyusun dokumen yang membuktikan bahwa perdagangan bisa menjadi ancaman.

Untuk spesies dengan sebaran terbatas yang menarik untuk diperdagangkan, enam tahun perdagangan yang tidak berkelanjutan sebelum masuk ke daftar CITES saja sudah cukup untuk melenyapkan populasi di alam liar mereka, juga keanekaragaman genetiknya.

Jika kita tahu bahwa perdagangan yang tidak berkelanjutan menjadi masalah besar bagi suatu spesies, orang justru dapat melakukan pembelian secara panik (panic-buying), karena mereka kira bahwa pencantuman dalam daftar CITES akan membuat spesies itu lebih sulit didapatkan di masa depan.

Sementara pencantuman dalam Apendiks III — kategori perlindungan terendah dalam CITES — sering diusulkan sebagai solusi sementara. Ada begitu banyak kelemahan dalam penegakannya sehingga mekanisme ini sebenarnya tidak terlalu efektif untuk melindungi spesies baru yang baru saja dideskripsikan.

Hal lain adalah tarik menarik suatu spesies masuk dalam daftar CITES. Dalam suatu pertemuan CITES, negara asal spesies misalnya mengusulkan kenaikan status perlindungan spesies, sementara negara lain mengatakan tidak ada cukup bukti bahwa perdagangan menjadi ancaman.

Jika tidak ada data yang dikumpulkan tentang apa saja yang diperdagangkan, maka akan sangat- sangat sulit untuk membuktikan bahwa perdagangan itu memang membahayakan spesies tersebut.

Spesies yang masuk dalam Apendiks II CITES — di mana perdagangannya diizinkan tetapi diatur — memerlukan apa yang disebut ‘temuan tidak merugikan’ (nondetrimental findings), artinya negara-negara harus membuktikan bahwa perdagangan tidak menimbulkan risiko signifikan bagi spesies tersebut.

Namun, proses ini sering kali tidak mempertimbangkan perubahan dalam demografi atau morfologi spesies tertentu.

Misalnya, kambing markhor (Capra falconeri) di Pakistan sering dijadikan contoh utama perdagangan berkelanjutan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa perburuan menyebabkan ukuran tubuh satwa ini rata-rata menurun, terutama pada pejantan bertanduk besar. Mereka tidak sempat berkembang biak, sebab sudah dijadikan pajangan di dinding seseorang.

Piton hijau pohon papua (Morelia viridis) dijual di toko hewan peliharaan. Populer di kalangan kolektor reptil, spesies ini terdaftar dalam Apendiks II CITES. Studi memperkirakan bahwa hampir setengah dari spesies reptil terlibat dalam perdagangan, sementara CITES hanya mencantumkan 9% di antaranya. Foto: Julie Lockwood.

Mongabay: Lalu sistem seperti apa yang kita butuhkan untuk memantau perdagangan satwa liar agar perdagangan tersebut berkelanjutan?

Alice Hughes: Kita butuh dua sistem yang bisa berjalan secara paralel. Pertama, kita perlu memiliki standar global untuk pengumpulan data perdagangan satwa liar di tingkat nasional.

Data seperti ini akan membantu kita mengidentifikasi volume perdagangan yang tinggi yang perlu diselidiki lebih lanjut. Ini juga akan mempermudah CITES dalam menilai spesies mana yang mungkin berisiko akibat perdagangan, dengan sistem yang lebih dinamis.

Saat ini, karena CITES sebagian masih mengandalkan sistem pencatatan berbasis kertas, sangat sulit untuk mendeteksi masalah secara real-time. CITES bisa bekerja lebih efisien jika kita beralih lebih cepat ke sistem e-CITES, yang memungkinkan penegakan hukum lebih efektif.

Kedua, kita perlu menemukan cara untuk mendorong kepatuhan yang lebih besar dari negara-negara anggota.

Kalau saya bisa memilih, saya akan beralih ke sistem “green listing”, atau daftar sistem terbalik dimana kita secara proaktif mencantumkan apa saja yang boleh diperdagangkan, sehingga kita bisa melakukan penilaian dampak dan penetapan kuota.

Selain itu, petugas penegak hukum hanya perlu mengenali sejumlah kecil spesies, sehingga risiko pencucian spesies (laundering) menjadi lebih kecil.

Dengan teknologi genetic barcoding (penandaan genetik) yang kini murah dan tersedia, otoritas pengelola CITES di suatu negara bisa melakukan uji swab cepat untuk memverifikasi identitas spesies sebelum dikirim.

Dengan cara ini, kita bisa mengumpulkan data, dengan tetap hemat biaya karena eksportir yang menanggungnya, dan kita juga bisa melakukan sertifikasi serta mengetahui dengan pasti spesies apa saja yang sedang diperdagangkan. Ini sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan cara kita mengirim sebagian besar komoditas saat ini.

Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 19 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Referensi:

Michael Marshall, B., Alamshah, A. L., Cardoso, P., Cassey, P., Chekunov, S., Eskew, E. A., … Hughes, A. C. (2025). The magnitude of legal wildlife trade and implications for species survival. Proceedings of the National Academy of Sciences122(2). doi:10.1073/pnas.2410774121

Marshall, B. M., Strine, C., & Hughes, A. C. (2020). Thousands of reptile species threatened by under-regulated global trade. Nature Communications11(1). doi:10.1038/s41467-020-18523-4

Hughes, A. C., Marshall, B. M., & Strine, C. T. (2021). Gaps in global wildlife trade monitoring leave amphibians vulnerable. eLife10. doi:10.7554/elife.70086

Robla, J., Orihuela‐Rivero, R., De Smedt, P., Matarredona, M., & Garcia, L. (2024). A colourful world with a dark future: Unregulated trade as an emerging threat for woodlice (Isopoda: Oniscidea) of Spain. Insect Conservation and Diversity18(2), 161-176. doi:10.1111/icad.12792

Marshall, B. M., Strine, C. T., Fukushima, C. S., Cardoso, P., Orr, M. C., & Hughes, A. C. (2022). Searching the web builds Fuller picture of arachnid trade. Communications Biology5(1). doi:10.1038/s42003-022-03374-0

Coltman, D. W., O’Donoghue, P., Jorgenson, J. T., Hogg, J. T., Strobeck, C., & Festa-Bianchet, M. (2003). Undesirable evolutionary consequences of trophy hunting. Nature, 426(6967), 655-658. doi:10.1038/nature02177

Perdagangan Satwa Liar Online Makin Mengkhawatirkan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|