- Pesisir Belawan, Medan, Sumatera Utara, marak penimbunan. Beberapa aksinya bahkan terjadi pada malam hari dan merepresi warga yang tidak pernah mereka ajak bicara.
- Wilayah ini sendiri sudah sejak lama bersinggungan dengan proyek-proyek infrastruktur. Mulai dari pembangunan jalan tol, hingga proyek gorong-gorong baru oleh Kementerian PUPR.
- Basir, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Medan, menyampaikan, banyak perusahaan besar di kawasan Belawan melakukan alih fungsi lahan mangrove dan resapan air secara masif. Akan tetapi, beberapa di antaranya tidak memiliki izin lingkungan (AMDAL) yang sah.
- Hadi Suhendra, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan, mengecam keras praktik penimbunan kawasan pesisir di Belawan. Menurutnya, tindakan itu bukan hanya merugikan nelayan, tapi juga berpotensi menimbulkan bencana ekologis yang lebih besar.
Masyarakat Pesisir Belawan, Medan, Sumatera Utara, mengeluhkan penimbunan hingga berdampak kerusakan tambak udang bahkan terjadi represi kepada warga. Salah satunya terjadi pada Iskandar. Aktivitas panen udangnya berubah jadi pelarian hidup dan mati ketika segerombolan orang tak dikenal mengepung tambak warisan keluarganya, sekitar pukul 02.00 dini hari.
“Sudah dapat satu setengah fiber (udang). Tiba-tiba mereka datang, ramai, teriak-teriak, ‘Tangkap! Tangkap!’ Kami langsung lari. Dalam kekacauan, keponakan saya kena tembak di lengan,” kata pria 48 tahun itu kepada Mongabay.
Anak dan keponakannya pontang-panting ke hutan, menyeberangi sungai, menempuh lebih dari satu kilometer dalam hujan dan gelap. Anaknya yang tidak bisa berenang bahkan nyaris hanyut saat melarikan diri.
“Kami enggak tahu siapa mereka. Yang pasti, mereka bawa alat berat lima unit. Mereka terus kerja dari jam 2.00 pagi.”
Beberapa bulan terakhir, kawasan perairan rawa Paluh Puntung, Belawan, ramai penimbunan. Prosesnya mereka lakukan malam hari, tanpa dialog, dan seperti yang Iskandar alami, penuh intimidasi.
Kawasan ini merupakan sumber ekonomi masyarakat pesisir. Warga banyak menggantungkan hidup dari tambak, jaring, dan tangkapan udang sorong.
“Saya tanya mereka, ‘yang mau kalian timbun itu paluh atau kolam?’ Mereka bilang paluh. Tapi …..justru kolam kami yang ditimbun. Akses air ditutup. Hari raya pertama, kolam pecah karena air masuk mendadak,” kata Aisyah, istri Iskandar.
Iskandar memutuskan panen darurat karena proses penimbunan itu tidak kondusif. Selain itu, banyak udang stres dan melompat ke permukaan air.
“Semua kami kerjakan sendiri, bibit beli sendiri. Itu tambak tua, warisan orang tua kami.”.
Kejadian malam itu membuatnya syok. Dia baru tahu ada penyerangan ketika menerima pesan video call dari anaknya.
“Anak saya menangis di tengah hutan, bilang, ‘Mak, kami nggak tahu ayah di mana,’” katanya dengan suara tercekat.

Terdesak proyek
Wilayah ini sudah sejak lama bersinggungan dengan proyek-proyek infrastruktur. Mulai dari pembangunan jalan tol, hingga proyek gorong-gorong baru oleh Kementerian Pekerjaan Umum .
“Kami tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu lahan kami ditimbun,” ucap Aisyah.
Paluh Puntung, merupakan perairan yang memiliki fungsi ekologis penting. Tempat berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, hingga kepiting. Penimbunan kawasan paluh tidak hanya merampas hak masyarakat lokal, tapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem.
“Kalau paluh hilang, masyarakat yang biasa melaut dan menjaring udang tidak bisa hidup. Ini bukan cuma soal tambak, tapi soal hidup orang banyak,” katanya.
Apa yang keluarga Iskandar alami merupakan gambaran marakna reklamasi dan alih fungsi mangrove di pesisir Belawan.
Gelombang reklamasi dan alih fungsi lahan mangrove terus mendesak ruang hidup nelayan tradisional di pesisir Belawan. Mereka jadi kehilangan ruang tangkap, peningkatan frekuensi banjir rob, hingga tekanan psikologis akibat intimidasi.
Basir, Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Medan, menyampaikan, banyak perusahaan besar di kawasan Belawan melakukan alih fungsi hutan mangrove dan resapan air secara masif. Akan tetapi, beberapa di antaranya tidak memiliki izin lingkungan atau analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Banyak ditemukan surat-surat HGB (hak guna bangunan) dan SHM (sertifikat hak milik) di lahan itu. Kami curiga ini bagian dari praktik mafia tanah,” katanya pada Mongabay.
Perusahaan, jarang melibatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan lahan mereka, seperti terjadi pada Iskandar dan keluarga. Tekanan yang mereka terima menimbulkan trauma mendalam.
Menurut dia, penimbunan tidak jarang melibatkan organisasi masyarakat (ormas) dan kelompok preman yang beroperasi atas nama perusahaan.
KNTI Medan berupaya melakukan advokasi dan pengaduan ke berbagai lembaga. Meski begitu, dia menyayangkan minimnya perhatian dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah.
“Akibatnya, perusahaan-perusahaan besar di Belawan bebas berbuat sesuka hati.”

Kecaman DPRD
Hadi Suhendra, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan, mengecam keras praktik penimbunan kawasan pesisir di Belawan. Tindakan itu, katanya, bukan hanya merugikan nelayan, tapi juga berpotensi menimbulkan bencana ekologis yang lebih besar.
“Sejak 2015, kami sudah memperjuangkan agar tidak ada lagi hutan mangrove yang dialihfungsikan, apalagi jadi tambak atau sawit oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Kami ingin persoalan banjir rob di pesisir utara Medan ini segera tuntas.”
Pemerintah pusat dan daerah memang telah membangun tanggul rob sebagai solusi banjir. Pengerjaannya tidak maksimal. Pasalnya, ada perusahaan yang menimbun Paluh Puntung sebelum pengerjaan tanggul selesai.
Aksi itu, membuat aliran air terhambat dan menyebabkan air pasang meninggi sampai masuk rumah warga. Dia bulang, di sekitar tempat penimbunan juga tumbuh mangrove alami maupun hasil penanaman warga.
“Mau itu tumbuh liar atau ditanam, tetap tidak boleh ditimbun sembarangan. Itu kawasan sungai, harus ada izinnya. Mereka menimbun begitu saja, itu sudah salah.”
Ihwal kasus yang menimpa Aisyah dan Iskada, Hadi menyebut peristiwa tersebut bisa masuk ranah pidana. Ia pun siap membantu pelaporan kasus secara resmi, baik atas dugaan perampasan hak ataupun pelanggaran lingkungan hidup.
Menurut dia, surat yang Aisyah miliki cukup kuat untuk membuktikan status kepemilikan lahan yang sudah berlangsung sejak tahun 1960-an. Untuk itu, DPRD Medan akan menyurati perusahaan yang melakukan penimbunan untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP). Juga, melayangkan laporan ke Kementerian Lingkungan Hidup.
“Pemerintah harus hadir. Hukum harus netral. Kalau masyarakat kecil tidak lagi bisa percaya pada pemerintah, kepada siapa lagi mereka berharap? Ini soal keadilan. Bukan hanya hak Bu Aisyah, tapi banyak masyarakat Belawan yang dirugikan karena ulah satu perusahaan yang menimbun anak sungai seenaknya.”

*****
Banjir Rob Rutin Landa Belawan, Apa Upaya Pemerintah Daerah?