Kuota Tambah, Masih Banyak PR Benahi Tata Kelola Industri Tuna

8 hours ago 2
  • Indonesia resmi mendapatkan tambahan kuota tuna melalui Sidang Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) yang berlangsung di La Reunion, Prancis, 7-17 April 2025. Penambahan ini  mencakup tiga jenis tuna yang selama ini Indonesia manfaatkan.
  • Tambahan kuota tuna itu untuk tuna mata besar (Thunnus obesus) tuna cakalang (Katsuwonus pelamis), dan madidihang (Thunnus albacores). Sayangnya, tuna sirip biru selatan masih dalam perjuangan untuk mendapatkan tambahan kuota
  • Kendati berhasil meningkatkan kepatuhan IOTC, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk memperbaiki tata kelola industri ini. Terutama, berkaitan dengan penggunaan alat penangkapan ikan (API) tak ramah, kelengkapan informasi kapal perikanan dan juga standar pelaporan data hasil tangkapan ikan.
  • Perikanan tuna memang menjadi salah satu sub sektor penting dalam industri perikanan di Indonesia. KKP bahkan menyebut produksi tuna Indonesia capai 13% dari total produksi tuna secara global. Di waktu sama, sektor ini juga hadapi banyak tantangan akibat praktik penangkapan berlebih dan tak ramah. 

Indonesia resmi mendapatkan tambahan kuota tuna melalui Sidang Komisi Tuna Samudera Hindia (IOTC) yang berlangsung di La Reunion, Prancis, 7-17 April 2025. Penambahan ini  mencakup tiga jenis tuna yang selama ini Indonesia manfaatkan.

Ketiganya adalah tuna mata besar (Thunnus obesus) kuota menjadi 21.396 (+2.791) untuk periode 2026-2028. Kemudian, cakalang (Katsuwonus pelamis) menjadi 138.000  ton, dan madidihang (Thunnus albacores) menjadi 45.426 ton untuk periode 2025.

Lathoria Latif, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementeriajn Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, tambahan kuota menegaskan Indonesia sebagai negara penting dalam industri tuna dunia.

“KKP akan terus memastikan bahwa kepentingan nelayan, industri, dan sumber daya perikanan terlindungi dalam kerangka kerja sama internasional yang adil dan berkelanjutan,” katanya. 

Menyusul tambahan itu, KKP menegaskan komitmen mewujudkan sistem penangkapan  lebih berkelanjutan. Selain penangkapan berlangsung  terukur, indikator lain memastikan kapal dan alat penangkapan ikan (API) memenuhi standar aturan yang baik dan benar.

Hal penting lainnya adalah data pelaporan transparan dan jelas, serta ketelusuran pada seluruh jaringan rantai pasok. “Hal ini tidak akan tercapai bila semua pihak baik nelayan dan pelaku usaha tidak mendukung kebijakan pemerintah tersebut.” 

Tahun lalu, KKP merilis, tingkat kepatuhan Indonesia pada IOTC naik jadi 82,6% dari 80%. Capaian itu menjadi komitmen Indonesia melaksanakan pengelolaan perikanan tuna berkelanjutan.

Selain Indonesia, negara lain yang juga mencatatkan kenaikan tingkat kepatuhan di IOTC, adalah Korea Selatan dan Iran. Selain ketiga negara ini, negara-negara anggota IOTC lain justru mencatatkan penurunan nilai kepatuhan dari 65%  pada 2022 menjadi 56%  pada 2023.

Bongkar muat tuna dari kapal perikanan di Teluk Benoa, Bali. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Banyak pekerjaan rumah

Kendati berhasil meningkatkan kepatuhan IOTC, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk memperbaiki tata kelola industri ini. Terutama, berkaitan dengan kelengkapan informasi kapal perikanan dan juga standar pelaporan data hasil tangkapan ikan. 

Menurut Lathoria, upaya perbaikan tentu tidak hanya terbatas pada tiga komoditas tuna juga  spesies tuna biru selatan (Thunnus maccoyii) yang  harus tunduk pada ketentuan organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO), yaitu Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT).

Sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi, KKP  memastikan untuk memberi perhatian lebih pada tuna biru selatan. Terlebih lagi, spesies ini memang memiliki keunikan karena hanya bisa ditemukan di wilayah Perairan Samudera Hindia bagian Selatan. 

Saat ini, berupaya mengajukan penambahan kuota tangkapan tuna biru selatan pada pihak CCSBT yang diperbarui setiap tiga tahun sekali. Hanya, mereka masih terkendala terbatasnya jumlah observer atau petugas pemantau di atas kapal. 

“Ini menjadi catatan bahwa diperlukan penambahan jumlah observer, frekuensi penempatan observer di atas kapal, peningkatan kemampuan observer termasuk alat komunikasi di atas kapal yang memadai untuk mendukung kinerja observer,” kata Lathoria. 

Hal penting lain yang perlu dorongan adalah memastikan kelengkapan dokumen kapal yang menargetkan tuna sirip biru selatan dan terdaftar dalam CCSBT Record of Authorized. Penggunaan alat penangkapan ikan (API)  lebih ramah serta mitigasi terhadap tangkapan sampingan spesies dilindung, seperti penyu dan hiu juga mutlak dilakukan. 

Bongkar muat tuna dari kapal ikan di Benoa, Bal. Beragam tuna berhasil ditangkap, termasuk tuna sirip biru selatan. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Dia katakan, akan melakukan pembenahan dan evaluasi secara menyeluruh terhadap kapal penangkap tuna sirip biru. Akan ada sanksi tegas kepada para pelaku usaha yang tidak patuh dan melanggar aturan yang  RFMO tetapkan. 

“Sudah saatnya kita kelola penangkapan ikan tuna sirip biru dengan baik dan menghasilkan harga jual yang tinggi sehingga memberikan pemasukan negara yang besar dan meningkatkan kesejahteraan nelayan.”

Perikanan tuna memang menjadi salah satu sub sektor penting dalam industri perikanan di Indonesia. KKP bahkan menyebut produksi tuna Indonesia capai 13% dari total produksi tuna secara global. Di waktu sama, sektor ini juga hadapi banyak tantangan akibat praktik penangkapan berlebih dan tak ramah.

Pemerintah menggandeng sejumlah pihak untuk memperbaiki tata kelola perikanan ini. Salah satunya, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dengan fokus utama pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Nasional Republik Indonesia (WPPNRI) 713, 714 dan 715. 

Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan YKAN menyinggung pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memperbaiki tata kelola perikanan tuna ini. Dengan pendekatan saintifik, dia meyakini pemanfaatan tuna secara berkelanjutan akan terwujud baik ekonomi maupun ekologi. 

Trian Yunanda, Staf Ahli KKP Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengatakan, selain negosiasi tambahan kuota, pertemuan IOTC itu juga menjadi ajang untuk mengawal berbagai isu strategis Indonesia. Mulai dari perlindungan AKP hingga penguatan kerja sama negara pantai (Coastal States Alliance/CSA).

Soal penggunaan observer, katanya,  bila Indonesia memperjuangkan pengecualian dalam kegiatan alih muatan kapal (transhipment) kapal rawai tuna. Selain itu, meningkatkan kepatuhan pemasangan VMS. “Pemerintah juga akan terus menyempurnakan sistem pelaporan dan pemantauan sebagai bentuk komitmen terhadap kepatuhan internasional.” 

Proses pemindahan tuna beku dari kapal ikan di Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Tersebar di perairan nusantara

Mengutip tulisan ilmiah karya peneliti KKP Maulana Firdaus yang terbit pada 2018, tuna dan cakalang bernilai ekonomi penting dan banyak tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Hal itu menjadikan keduanya  komoditas utama untuk produk perikanan.

Tuna dan cakalang adalah bagian dari dari Ikan pelagis besar yang memiliki karakteristik oseanik atau sifatnya selalu beruaya dari suatu perairan ke perairan lain yang mempunyai kondisi oseanografi, biologis dan meteorologis yang sesuai dengan habitatnya.

Sebagai komoditas ekspor penting di Indonesia, daerah tangkapan tuna dan cakalang menyebar mulai dari kawasan barat sampai dengan timur Indonesia. Kawasan barat meliputi Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI) di Samudera Hindia.

Sementara, kawasan timur mencakup WPPNRI pada perairan Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, dan WPPNRI di perairan Sulawesi Utara dan Samudera Pasifik. Juga, Laut Sulawesi, Laut Hindia, Laut Halmahera, perairan utara Aceh, barat Sumatera, selatan Jawa, utara Sulawesi, Teluk Tomini, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura.  

Dia menyebut, API yang banyak digunakan oleh kelompok industri adalah tuna longline yang sudah berkembang sejak 1972 di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia.

Alat tangkap itu untuk menangkap ikan-ikan tuna besar yang ada di kedalaman atas dan di bawah lapisan thermoklin. Biasanya, lapisan tersebut ada pada kedalaman 100 sampai dengan 300 meter. 

Selain tuna long line, alat tangkap  untuk menangkap tuna besar adalah pancing ulur biasanya yang beroperasi di sekitar rumpon laut dalam. Penggunaan pancing ulur banyak ditemukan di Sulut, Teluk Tomini, Laut Maluku, dan Selat Makassar.

Adapun, daerah yang menjadi tempat produksi utama tuna dan cakalang ada di perairan Laut Banda, Laut Maluku, Laut  Sulawesi, Laut Halmahera, Teluk Cendrawasih, dan Laut Arafura. Kemudian, ada Bitung (Sulut), Ternate (Maluku Utara), Ambon (Maluku), dan Sorong (Papua Barat Daya).

Dari semua daerah dan perairan yang menjadi lokasi utama produksi tuna dan cakalang, Bitung menjadi yang terbesar untuk wilayah basis pengembangan perikanan tuna dan cakalang. Bitung sangat strategis karena terletak di antara dua WPPNRI, yaitu 715 dan 716.

*****

Menyoal Keberlanjutan Kala Usaha Perikanan Tuna di Benoa Tangkap Hiu

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|