Menyoal Vonis Bebas Penyelundup Sisik Trenggiling

1 day ago 5
  • Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai, Sumatera Utara, memvonis bebas Eka Wahyuni, terduga otak pelaku upaya penyelundupan 292,3 kg sisik trenggiling, Senin (21/4/2025). Ini jadi preseden buruk, karena kasus yang sama telah memvonis penjara satu tahun terhadap Syamsir, nahkoda kapal KM Fajar 99, yang mengangkut sisik milik Eka Wahyuni.
  • JPU Kejari Tanjung Balai yang memegang perkara langsung merespons vonis bebas dengan mengajukan kasasi, Selasa (22/4/2025). Mereka menilai hakim tidak mempertimbangkan bukti dan fakta soal kiprah Eka melobi pengusaha ekspor-impor, dan pemilik kapal agar bisa membawa sisik trenggiling ke Malaysia.
  • JPU menyebut Eka hendak menjual dua koli sisik trenggiling, yang dia samarkan jadi bibit sawit, ke Port Klang, Malaysia. Pengiriman terjadi pada 25 November 2023, menggunakan KM Fajar 99, lewat jalur Selat Malaka. Petugas Bea Cukai menggagalkannya hanya satu jam setelah keberangkatan dan menangkap Syamsir.
  • Rony Sahputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara, mengatakan, fenomena di PN Tanjung Balai ini jadi kasus perdagangan satwa ilegal (illegal wildlife trade/IWT) kedua yang mendapat vonis bebas sejak tahun lalu. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, membebaskan Willy alias Liem Hoo Kwan Willy dalam kasus pembeli cula badak jawa.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Balai, Sumatera Utara, memvonis bebas Eka Wahyuni, terduga otak pelaku upaya penyelundupan 292,3 kg sisik trenggiling, Senin (21/4/25). Putusan ini dinilai bisa jadi preseden buruk, apalagi dalam kasus sama sudah menghukum penjara Syamsir, nakhoda kapal KM Fajar 99, satu tahun selaku  pengangkut  sisik tenggiling Eka Wahyuni.

Dalam amar putusan, Hakim Nopika Sari Aritonang, Ketua Majelis Hakim, menyatakan, Eka tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang Jaksa Penuntut Umum tuntut. Pemeriksaan saksi dan bukti dalam persidangan pun tidak ada yang memberatkan, atau membuktikan keterlibatan Eka.

JPU Kejari Tanjung Balai yang memegang perkara langsung merespons vonis bebas dengan mengajukan kasasi, Selasa (22/4/25). Mereka menilai hakim tidak mempertimbangkan bukti dan fakta soal kiprah Eka melobi pengusaha ekspor-impor, dan pemilik kapal agar bisa membawa sisik trenggiling ke Malaysia.

Dalam tuntutannya, JPU meminta majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun dan enam bulan penjara, denda Rp50 juta subsider enam bulan kurungan. Tindakan Eka melanggar Pasal 21 Ayat (2) huruf d Jo. Pasal 40 Ayat (2) UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

JPU menyebut, Eka hendak menjual dua koli sisik trenggiling, yang dia samarkan jadi bibit sawit, ke Port Klang, Malaysia. Pengiriman terjadi pada 25 November 2023, pakai  KM Fajar 99, lewat jalur Selat Malaka. 

Petugas Bea Cukai menggagalkannya hanya satu jam setelah keberangkatan dan menangkap Syamsir.

Untuk memperkuat keterlibatan Eka dalam upaya penyelundupan, tim jaksa menunjukkan bukti percakapan dengan penarik becak motor di handphone. Meminta untuk membawa sisik trenggiling tersebut ke pelabuhan, lalu memasukkan ke kapal. Sayangnya, fakta ini tidak majelis hakim lihat.

Sisik trenggiling yang diamankan dari tiga oknum aparat dan seorang sipil di Kabupaten Asahan Sumut. Foto: Ayat S Karokaro / Mongabay Indonesia.

Kasus kedua 

Rony Sahputra, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, mengatakan, kasus di PN Tanjung Balai ini jadi kali kedua perdagangan satwa ilegal  vonis bebas sejak tahun lalu. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, membebaskan Willy alias Liem Hoo Kwan Willy dalam kasus pembeli cula badak Jawa. Namun, dalam perkembangan terbaru, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pandeglang. MA memvonis Willy hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta, subsider kurungan penjara selama 3 bulan.

Mahkamah Agung, khusus bagian pengawasan, perlu memeriksa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Hal ini penting demi menghindari prasangka buruk terhadap Mahkamah Agung yang saat ini mendapat sorotan atas penetapan tersangka beberapa hakim karena diduga terlibat korupsi.

“Kejaksaan Agung pun perlu melakukan supervisi, bahkan pemeriksaan terhadap jaksa penuntut umum dalam perkara bebasnya Eka yang diduga sebagai pemilik sisik trenggiling ini,” ucapnya saat Mongabay hubungi, Jumat (25/4/25).

Rony bilang, penanganan perdagangan satwa dilindungi bukan perkara mudah. Seharusnya, ada proses penegakan hukum kolaboratif dengan melibatkan penegak hukum Kementerian Kehutanan, kepolisian dan kejaksaan sejak mulai penanganan perkara.

Kolaborasi ini akan memperkecil vonis bebas sebuah perkara. Apalagi, katanya, berkaca dari kasus Eka, patut dicurigai ada jaringan besar, dan perbuatan ini bisa saja lebih dari satu kali dia lakukan.

Untuk membongkarnya pun tidak bisa dengan satu undang-undang tertentu. Perlu  kejelian penegak hukum dalam menegakkan aturan. Bahkan, mereka bisa menggunakan undang-undang atau pasal berlapis. 

Menurut dia, perdagangan satwa liar dilindungi dengan pola yang hampir serupa dengan peredaran narkotika, banyak melibatkan berbagai pihak, dari pemburu, kurir, pemilik, dan konsumen, atau pembeli.

“Sangat disayangkan kasus sebesar ini bisa bebas dan hanya dijerat menggunakan UU KSDAE. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan penyidik tindak pidana asal bisa menggunakan UU TPPU untuk menyelidiki jika dalam tindak pidana asal diduga juga terdapat pencucian uangnya.”

Mahkamah Agung, katanya, sudah mengeluarkan kebijakan penanganan kasus-kasus lingkungan, termasuk konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya, harus oleh hakim-hakim dengan sertifikasi lingkungan hidup. Bahkan, ada perlakuan khusus dalam penanganan kasus-kasus lingkungan hidup. 

Namun, dia menyayangkan masih adanya beberapa hakim di pengadilan yang menyidangkan perkara-perkara lingkungan belum memiliki sertifikat lingkungan. Hal ini bisa saja menjadi salah satu penyebab masih adanya pelaku kejahatan di sektor lingkungan mendapat vonis bebas. 

Sementara, menurutnya, penjara masih tidak memberikan efek jera, karena banyak pelaku yang menjadi residivis. Untuk itu, perlu tindakan lebih, seperti memiskinkan para pelaku. Jika dimiskinkan maka peluang dia melakukan kejahatan kembali, jadi mengecil.

Penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum, lanjutnya, harus melihat kejahatan terhadap satwa liar dilindungi sebagai kejahatan yang tidak berdiri sendiri. Sehingga penggunaan lebih dari satu undang-undang jadi prioritas. 

Contoh, di kasus Syamsir, Dia hanya dijerat dengan UU Kepabeanan. Padahal UU KSDAE juga dapat digunakan secara bersamaan.

Rony bilang, kasus IWT yang masuk ke pengadilan mulai perdagangan burung, trenggiling, sisik trenggiling, kulit harimau, rangkong, orangutan, serta penyu dan telur penyu. Di antara kasus itu, yang paling banyak adalah kasus perdagangan burung dan sisik trenggiling. 

Negara, menurutnya, mengalami kerugian sekitar US$7,8 miliar hingga US$10 miliar per tahun, atau lebih kurang Rp9 triliun pertahun. Belum termasuk penghitungan kerugian akibat kerusakan ekologis, ekosistem dan hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu.

Sisik trenggiling yang terus diperjualbelikan secara ilegal. Untuk mendapatkan sisik ini tentu saja trenggiling harus dibunuh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

*****

Oknum Polisi cs Curi dan Perdagangkan Sisik Trenggiling Sitaan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|