Jika Karst Ditambang, Banggai Kepulauan Menuju Kehancuran Ekologis

7 hours ago 3

Banggai Kepulauan, di Sulawesi Tengah, dikenal dengan kekayaan hayati dan ekosistem karst yang luar biasa. Keindahan pantai berpasir putih yang tenang, terumbu karang yang memukau, serta kejernihan air laut menjadi daya tarik utama kawasan ini.

Kekayaan tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber mata pencaharian, terutama sebagai nelayan, sekaligus dikelola sebagai destinasi wisata berbasis komunitas.

Salah satu destinasi unggulan adalah Danau Paisupok, yang menarik wisatawan lokal dan mancanegara karena kejernihannya dan keindahan bawah airnya. Keberadaan hutan mangrove di sepanjang pesisir menambah pesona alam kawasan ini.

Banggai Kepulauan juga menjadi habitat biota laut seperti udang, gurita, dan ikan endemik Banggai Cardinal Fish (Pterapogon kauderni), yang kini berstatus langka menurut IUCN Red List (2023).

Namun, alih-alih memperkuat sektor kelautan dan ekonomi rakyat, pemerintah membuka jalan bagi ekspansi tambang yang mengancam kelestarian ekosistem dan mata pencaharian masyarakat pesisir.

Politik ruang di Banggai Kepulauan menunjukkan keberpihakan kuat kepada kepentingan kapitalis, mengabaikan identitas ekologis masyarakat lokal, dan mempercepat krisis ekologis.

Nelayan kepiting di Desa Ambelang, Banggai Kepulauan tengah menyiapkan bubu lipat sambil menunggu air pasang. Warga di Banggai Kepulauan tergantung kepada hasil laut dan pesisir mangrove. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Banggai Kepulauan di Bawah Bayang-bayang Tambang

Banggai Kepulauan bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah etalase kekayaan hayati laut Indonesia. Karena ekosistemnya yang unik, kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 53/KEPMEN-KP/2019.

Di samping kekayaan laut yang melimpah, wilayah Banggai Kepulauan juga memiliki keistimewaan geologis yang tak ternilai, lanskap batuan karst yang kompleks. Dengan perannya yang unik, ekosistem karst menjadi tumpuan bagi ketersediaan air bersih di banyak wilayah pesisir yang bergantung padanya.

Namun, seluruh kekayaan ini kini berada di bawah ancaman serius. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah dan Koalisi Advokasi Kawasan Karst Sulawesi Tengah (2023), terdapat permohonan konsesi tambang seluas 3.395,55 hektar oleh 28 perusahaan batu gamping.

Konsesi tersebut tersebar di enam kecamatan dan 19 desa, termasuk wilayah dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan ekologis.

Yang menjadi kekhawatirkan adalah sekitar 95% daratan Banggai Kepulauan merupakan ekosistem karst aktif yang mencakup 124 mata air, 103 sungai permukaan, dan lima danau, termasuk Danau Paisupok, salah satu danau penting yang menjadi sumber air bagi penduduk sekitar.

Jika ekspansi tambang dibiarkan, maka sistem ekologis yang menopang kehidupan masyarakat akan runtuh, mengakibatkan krisis air bersih, gagal panen, dan penurunan kualitas hidup masyarakat pesisir.

Situasi ini membutuhkan sikap tegas dari pemerintah daerah dan pusat. Pemerintah perlu segera mengevaluasi dan mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang tumpang tindih dengan kawasan karst dan wilayah pesisir yang dilindungi sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang ini telah secara tegas menyatakan bahwa kawasan pesisir harus dikelola secara berkelanjutan dan berbasis perlindungan ekosistem. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memasukkan kawasan karst sebagai wilayah lindung geologi yang tidak boleh dialihfungsikan.

Ekspansi tambang di Banggai Kepulauan bukan hanya bentuk pengabaian terhadap fungsi ekologis karst dan kedaulatan ruang hidup masyarakat, tetapi juga cermin ketidakseriusan negara dalam menegakkan hukum lingkungan yang telah diatur dengan jelas.

Ketika 95% daratan berupa ekosistem karst aktif, penyangga air bersih dan kehidupan pesisir, justru dilelang kepada investor batu gamping, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar alam, melainkan masa depan generasi yang hidup dari dan untuk tanah ini.

Pemerintah harus memilih, berdiri bersama rakyat dan alamnya, bukan terus tunduk pada logika kapital yang rakus dan jangka pendek.

Gagak banggai (Corvus unicolor), keberadaannya sempat dianggap punah, namun ditemukan kembali di Pulau Peling. Banggai Kepulauan. Dok: Wikipedia/Jo Ibo Lausala/ CC.BY 4.0

Konservasi di Atas Kertas vs Eksploitasi Nyata

Dalam perspektif sosiologis Henri Lefebvre, ruang tidak netral, tetapi diproduksi oleh relasi kuasa. Di Banggai, ruang hidup masyarakat direduksi menjadi komoditas. Pemerintah lebih berpihak pada investor, bukan warga yang hidup berdampingan dengan alam.

Dalam perspektif konstruktivisme hubungan internasional, seperti dikemukakan Alexander Wendt, kepentingan negara terbentuk melalui interaksi sosial.

Di Banggai, pembangunan dipahami sebagai industrialisasi ekstraktif, bukan keberlanjutan ekologis. Identitas masyarakat lokal yang terhubung erat dengan alam diabaikan, yang memicu konflik sosial dan ekologis.

Padahal mayoritas masyarakat Banggai Kepulauan menggantungkan hidup pada sektor perikanan dan pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.

Laut bukan hanya hamparan air biru, ia adalah nadi kehidupan yang mengalirkan nafkah, budaya, dan identitas bagi ribuan nelayan. Mereka menggantungkan penghidupan pada hasil tangkapan ikan pelagis seperti tongkol, kembung, hingga lobster yang menjadi komoditas unggulan wilayah ini.

Studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2019 mencatat bahwa sektor perikanan menyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih besar dibanding pertanian di beberapa kecamatan pesisir Banggai Kepulauan.

Ironisnya, alih-alih mendukung dan memperkuat sektor yang jelas-jelas memberi kontribusi nyata ini, pemerintah justru lebih memprioritaskan industri pertambangan. Arah pembangunan tampak berpaling dari laut ke darat, dari masyarakat ke modal.

Salah satu sumber air di Banggai Kepulauan. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Menjaga Harapan dan Kehidupan

Banggai Kepulauan bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah rumah, warisan, dan masa depan. Jika tambang dibiarkan, maka bukan hanya ekosistem yang lenyap, tetapi juga harapan ribuan keluarga. Ini adalah wajah ketidakadilan yang harus dilawan.

Dalam menghadapi ancaman ini, sudah seharusnya pemerintah berpihak kepada rakyat dan bumi yang menopangnya. Prioritas pembangunan harus diarahkan pada model yang berkelanjutan, berbasis komunitas lokal, dan menghormati daya dukung serta daya tampung lingkungan.

Bukan sebaliknya, menyerahkan ruang hidup rakyat kepada kapitalisme ekstraktif yang rakus dan serampangan.

Refleksi dari kondisi ini menunjukkan bahwa perjuangan mempertahankan ruang hidup bukanlah tanggung jawab satu kelompok semata, tetapi sebuah kewajiban kolektif. Banggai Kepulauan sedang dihadapkan pada pilihan historis, membiarkan identitas ekologis Banggai Kepulauan dirampas, atau berdiri dan melawannya bersama-sama.

Jika kita memilih diam, maka yang akan tersisa hanyalah kehancuran ekologis dan kemiskinan struktural yang diwariskan kepada generasi mendatang.

Inilah saatnya kita berdiri, berbicara, dan berjuang bersama. Sebab menjaga Banggai Kepulauan berarti menjaga kehidupan itu sendiri.

Referensi:

  • Alexander Wendt. (1999). Social Theory of International Politics. Cambridge University Press.
  • bpk.go.id. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 53/KEPMEN-KP/2019. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • go.id. (2022). Profil SDA & Potensi Wisata Banggai Kepulauan.
  • Henri Lefebvre. (1974). The Production of Space. Blackwell Publishing.
  • IUCN Red List. (2023). Pterapogon kauderni (Banggai Cardinal Fish). https://www.iucnredlist.org/species/63572/12698969
  • JATAM Sulteng & Koalisi Advokasi Kawasan Karst Sulawesi Tengah. (2023).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
  • Pemerintah Banggai Kepulauan & UGM. (2019). Studi Ekonomi Perikanan.
  • WALHI Sulteng & JATAM. (2022). Laporan Dampak Tambang Bunta & Bokan.

*Ahmed Maulady Hakim, penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Pegiat Sosial & Lingkungan Rasera Project. artikel ini adalah opini penulis

Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|