Generasi Muda Kalsel Tolak Hutan Meratus jadi Taman Nasional

9 hours ago 3
  • Muda mudi terdiri dari mahasiswa, pelajar, aktivis lingkungan hingga musisi memenuhi bundaran utama di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Mereka datang untuk menyuarakan satu hal: cinta untuk alam Kalimantan Selatan. Tuntutan utama mereka adalah pembatalan rencana pembentukan Taman Nasional (TN) Meratus.

  • Mereka juga memperingatkan pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan penerbitan izin perusahaan-perusahaan ekstraktif baru, baik pertambangan maupun perkebunan monokultur, yang kian masif.

  • Lemon Kurniawan, vokalis band Democrust yang tampil dalam kegiatan tersebut, mengaku antusiasme timbul karena juga resah terhadap kerusakan lingkungan. “Kami lahir dan besar di Kalsel, begitu marah ketika melihat adanya ketidakadilan terhadap masyarakat lokal, pertambangan yang tak terkendali serta penebangan hutan yang begitu masif.” 
  • Rudy Fahrianoor, aktivis Walhi Kalsel, menyebut sengaja mengemas kampanye ini dengan konsep yang dekat dengan anak muda. Alasannya, gaung gerakan kesadaran lingkungan yang berkeadilan masih terbatas pada kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat adat. 

Muda mudi Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengerubungi bundaran kota mereka di pagi yang terik. Spanduk 90 meter dengan tagar #SaveMeratus #OurPowerOurPlanet, #EndCoal, #TransisiEnergiSekarang, dan #StopDeforestasi terbentang mengelilingi area itu, Sabtu (26/4/25). 

Mereka yang berasal dari berbagai elemen aktivis lingkungan, mahasiswa, pelajar, hingga musisi datang ke lokasi itu untuk menyuarakan kecintaan mereka terhadap alam Kalsel. Dalam aksi peringatan Hari Bumi itu, mereka menuntut pembatalan rencana pembentukan Taman Nasional (TN) Meratus.

Mereka juga mengingatkan pemerintah untuk mengevaluasi dan menghentikan penerbitan izin perusahaan-perusahaan ekstraktif baru, baik pertambangan maupun perkebunan monokultur, yang kian masif. 

Ana Syafina, pelajar SMAN 2 Banjarbaru, berdiri di antara keramaian. Tangannya sedikit bergetar memegang microphone. Suaranya lantang membaca puisi. 

Hari ini… bumi berbicara. Tapi, apakah kita mendengarnya? Ia telah memberi kita segalanya: udara untuk bernapas, air untuk hidup, tanah untuk tumbuh. Namun sering kali, kita lupa. Bumi bukan milik kita. Kita bagian dari bumi.” 

Bait puisi itu mengingatkan tindakan kecil yang dilakukan manusia berdampak besar pada dunia ini.  

Di sudut lain kerumunan, Rohmah, mahasiswi dari STAI Darussalam Martapura, menyampaikan orasi penuh kekhawatiran. Dia resah dampak negatif  dari rencana pembentukan TN Meratus.

“Bagaimana nasib masyarakat adat yang hidup bergantung pada sumber daya alam? Apakah hak-hak mereka akan dihormati dan dilindungi?” 

Dia pun sangsi terhadap efektivitas taman nasional menjaga lingkungan, mengacu pada kasus taman nasional lain yang tetap terambah aktivitas ilegal. 

“Jika penetapan taman nasional hanya menjadi alat untuk mengusir masyarakat adat, lebih baik rencana ini dibatalkan saja.” 

Menurut dia, kekayaan biodiversitas Kalsel dalam ancaman serius. Eksploitasi sumber daya alam serampangan menghancurkan hutan yang jadi rumah bagi spesies itu.

Sejumlah anak meramaikan lomba mewarna pada peringatan Hari Bumi 2025. Harapannya, mereka akan tumbuh dengan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.


Lagu perlawanan

Selesai berorasi, massa bergerak ke halaman Museum Lambung Mangkurat. Suasana berubah menjadi konser musik pada sore harinya. 

Empat belas band lokal tampil, salah satunya Democrust, grup punk hardcore asal Banjarbaru. 

Lemon Kurniawan, sang vokalis, merasa antusiasme timbul karena juga resah terhadap kerusakan lingkungan. “Kami lahir dan besar di Kalsel, begitu marah ketika melihat adanya ketidakadilan terhadap masyarakat lokal, pertambangan yang tak terkendali serta penebangan hutan yang begitu masif,” katanya. 

Di sela penampilannya, Lemon Kurniawan menyempatkan waktu berorasi. Mengutarakan segala keprihatinan terhadap kondisi lingkungan Kalsel. 

“Berapa banyak tambang dan kebun sawit yang telah merampas hutan kita? Ribuan hektar hutan berubah menjadi kebun sawit dan lubang tambang. Kita kehilangan banyak nyawa karena tanah kita dirampas oleh ‘setan tanah’ yang hanya memikirkan keuntungan semata. Dan kita di sini hanya diam?” 

Penuh amarah, pria kurus itu mengajak masyarakat untuk bertindak. “Sebelum tanah Kalimantan berubah menjadi lubang-lubang kehancuran, kita harus berdiri tegak. Jangan biarkan hutan kita rata, jangan biarkan bukit-bukit tersisa dihancurkan oleh kebiadaban penguasa dan ‘setan tanah’.” 

Para aktivis lingkungan, mahasiswa, pelajar, hingga musisi melakukan aksi damai di bundaran utama Kota Banjarbaru pada peringatan Hari Bumi 2025. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

Gaungkan kesadaran lingkungan

Rudy Fahrianoor, aktivis Walhi Kalsel, menyebut sengaja mengemas kampanye ini dengan konsep yang dekat dengan anak muda. Alasannya, gaung gerakan kesadaran lingkungan yang berkeadilan masih terbatas pada kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat adat. 

“Makanya kami menggelar aksi ini. Pesan-pesan lingkungan harus sampai kepada publik yang lebih luas, terutama anak muda, agar mereka turut bersuara dalam melindungi alam.” 

Isu penetapan TN Meratus jadi salah satu yang mereka sorot. Mereka menolak ide ini karena potensi penggusuran ruang hidup masyarakat adat.

Di beberapa tempat, regulasi yang pemerintah buat dengan dalih pelestarian lingkungan justru menjadi alat menyisihkan masyarakat adat dari tanah mereka. “Ini yang kita hindari, supaya mereka tidak terusir,” katanya. 

Kehilangan wilayah hidup, berarti menghapus identitas dan budaya yang telah masyarakat adat jaga selama ratusan tahun. Seharusnya, pemerintah cukup mengakui dan melindungi hak masyarakat adat untuk menerapkan konservasi berkeadilan.

Masyarakat adat di Meratus, katanya, memiliki sistem pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan turun-menurun mereka wariskan. Contoh, sistem ladang gilir balik, yang masyarakat luar kerap salah pahami. 

“Banyak yang menuduh mereka peladang liar, berpindah-pindah tanpa aturan. Padahal, sistem mereka sangat lestari.”  

Dalam sistem ini, masyarakat adat mengelola lahan secara bergilir. Lahan yang mulai kehilangan produktivitas mereka tinggalkan supaya pulih alami, sementara mereka berpindah ke lahan lain. 

Mereka pun menanam pohon-pohon hutan berakar kuat yang membantu jaga keseimbangan ekosistem di lahan yang mereka tinggalkan. “Suatu saat, lahan yang pernah ditinggalkan itu akan ditanami kembali. Siklus ini berulang, memastikan lingkungan tetap terjaga,” 

Rudy bilang, metode ini bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dia berharap aksi ini membuat banyak anak muda yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan dan berani ambil tindakan nyata. 

“Mereka adalah generasi penerus dengan peran besar dalam memastikan keberlanjutan bumi untuk masa depan.”

Panorama Hutan Hujan Meratus yang dipotret dari Puncak Peniti Ranggang, Kecamatan Batang Alai Timur, Hulu Sungai Tengah. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

*****

Rencana Penetapan Taman Nasional Meratus, Was-was Singkirkan Masyarakat Adat

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|