Kongkalikong Korporasi dan Penegak Hukum dalam Korupsi Sawit

18 hours ago 6
  • Korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang melibatkan perusahaan sawit besar dan pejabat pengadilan menambah carut marutnya tata kelola. Masyarakat sipil menilai sektor sawit selalu memiliki modus untuk mengecoh aparat penegak hukum.
  • Refki Saputra, Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan tindakan koruptif dilakukan secara sistematis oleh korporasi untuk menghindari jeratan hukum. Dia bilang kasus ini membuktikan suatu kemunduran dalam upaya reformasi di sektor industri kelapa sawit sebagai salah satu sektor yang meresikokan hutan dan lingkungan.
  • Mansuetus Darto, praktisi sawit, dalam acara yang sama, mengatakan, perusahaan sebenarnya memiliki komitmen berkelanjutan yang tertulis dalam kebijakan mereka. Hanya saja, ada oknum yang melanggengkan sejumlah modus demi memaksimalkan keuntungan.
  • Sayyidatihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi, perusahaan sesungguhnya memiliki komitmen No-Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE). Tapi ini cuma omong kosong, karena adanya korupsi.

Korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang melibatkan perusahaan sawit besar dan pejabat pengadilan menambah karut marut tata kelola. Masyarakat sipil menilai, sektor sawit selalu memiliki modus untuk mengecoh aparat penegak hukum.

Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka kasus ini, yakni, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera Muda PN Jakpus Wahyu Gunawan (WG), dua pengacara Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR), serta tiga majelis hakim perkara, yakni, Djumyanto (D), Agam Syarif Baharuddin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM).

Kasus bermula dari putusan PN Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakpus, 19 Maret 2025, ihwal perkara ekspor CPO. Mereka memutus Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).  Atau mereka terbukti melakukan yang dituduhkan, tetapi menurut hukum, perbuatan itu bukan  kejahatan atau tindak pidana. 

Kemudian, Kejagung menjerat para pelaku berdasarkan petunjuk kuat. Temuan penyidik Kejaksaan Agung mengungkapkan, dua pengacara MS dan AR selaku advokat memberikan Rp60 miliar agar majelis hakim yang mengadili kasus CPO memberi putusan lepas. Dalam dakwaan Kejaksaan, kerugian negara dalam kasus ekspor CPO ini mencapai Rp35 triliun.

Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, ini tindakan koruptif sistematis oleh korporasi untuk menghindari jeratan hukum. Kasus ini, katanya, membuktikan kemunduran reformasi sektor industri sawit.

Korporasi besar, katanya, menguasai rata-rata penyediaan CPO. Monopoli kebun sawit dan upaya ekspor membuat minyak goreng langka di dalam negeri.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut, luas konsesi perkebunan sawit mencapai 20.9 juta hektar dan 3,8 juta hektar  tumpang tindih dengan konsesi lain. Dari luas itu, perusahaan menguasai 92% lahan, sementara perkebunan sawit rakyat hanya 8%. 

“Ini yang kemudian menyebabkan kebutuhan minyak sawit dalam bentuk minyak goreng yang harusnya itu kan bisa terdistribusi oleh berbagai penyedia barang. Untuk dalam negeri akhirnya yang kita rasakan dampaknya adalah kelangkaan,” katanya dalam diskusi bersama koalisi transisi bersih di Jakarta Selatan, Senin (28/4/25) 

Sayangnya, pemerintah cenderung menyelesaikan masalah di industri ini dengan jalan pintas. Misal, soal perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Alih-alih membereskan, pemerintah malah ambil kebijakan pemutihan. Pengelolaan kebun sawit yang bermasalah jatuh ke BUMN.

Mereka abai masalah mendasar seperti birokrasi tata ruang dan perizinan, serta masalah state capture sebagaimana terlihat di dalam korupsi minyak goreng ini. Sedang pemerintah berambisi menggenjot produksi CPO untuk biofuel.

Warga mulai ada tanam sawit mencapai 30 hektar tersebar di beberapa desa di Pulau Enggano. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Komitmen kosong

Mansuetus Darto, praktisi sawit, dalam acara yang sama, mengatakan, perusahaan sebenarnya memiliki komitmen berkelanjutan yang tertulis dalam kebijakan mereka. Hanya saja, ada oknum yang melanggengkan sejumlah modus demi memaksimalkan keuntungan.

“Mereka bermain licik,” katanya.

Berdasarkan pantauannya, dia menemukan sejumlah modus licik itu, mulai dari manipulasi laporan pemenuhan kebutuhan domestik, menggunakan perusahaan fiktif, hingga melancarkan praktik suap pada pemangku kepentingan. 

Manipulasi pemenuhan kebutuhan domestik, mereka lakukan dengan membuat data fiktif, supaya mereka bisa ekspor. Yang kemudian berlanjut pada kongkalikong dengan distributor dan pemerintah. Di beberapa tempat, para distributor ini pun fiktif dan buatan perusahaan. 

“Karena kalau mau ekspor itu mereka harus penuhi dulu kebutuhan domestik kurang lebih 20% sekian. Padahal data ini sebenarnya itu tidak benar, makanya semua itu dimanipulasi agar mereka ini bisa ekspor.”

Dia juga menemukan manipulasi isi tangki. Untuk ini, ada oknum perusahaan yang memodifikasi isi tangki, seolah menunjukkan kapasitas sebenarnya. Misal, dari luar tangki tertulis kapasitas 5.000 liter, namun ada lapisan dalam tangki yang bervolume lebih kecil. 

Sayyidatihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi, mengatakan, perusahaan sesungguhnya memiliki komitmen No-Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE). Tapi ini cuma omong kosong, karena adanya dugaan korupsi.

Kebijakan NDPE, katanya, dapat bertindak sebagai pilar mitigasi iklim dengan melindungi hutan, lahan gambut, dan mempromosikan praktik rendah karbon. Hanya saja, ini hanya perusahaan gunakan untuk memancing pembeli.

“Omong kosong dari perusahaan-perusahaan besar, karena sekalipun mereka secara gamblang menyatakan bahwa mereka anti korupsi, tapi ternyata mereka melakukan korupsi kuadran.”  

Hayaa, panggilan karibnya, menyebut, praktik korupsi menyabotase dan mengikis tiap lapisan tata kelola lingkungan yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan NDC Indonesia berdasarkan Perjanjian Paris.

Kebun sawit warga yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit hingga berkonflik sejak lama. Foto: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Pasar global

Inisiatif keberlanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR), harusnya bisa menekan tiga grup perusahaan yang melakukan korupsi ini. Menurut Hayaa, tidak ada respons serius dari ketiganya.

“Jangan-jangan inisiatif ini cuma omong-omong di atas kertas juga. Korupsi ini tidak bisa terpisahkan dan terisolir  dari tata kelola pasar dan suplai yang berkelanjutan.” 

Dia menyerukan agar RSPO menjatuhkan sanksi tegas berupa penangguhan sertifikat keanggotaan terhadap Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Pasalnya, mereka melanggar due diligence Risk assessment, hak asasi manusia, dan korupsi.

Selain itu, Uni Eropa juga harus memperhatikan dinamika kasus korupsi tersistematis yang dilakukan oleh tiga eksportir CPO ini ke pasar Uni Eropa. Pasal 4 EUDR tertulis penegakan hukum merupakan salah satu faktor penentu uji tuntas sebagai non-negligible risks. 

“Kasus korupsi 3 perusahaan besar ini seharusnya Diambid action serius oleh Uni Eropa Dengan memblokir produk Dari tiga perusahaan tersebut Ke pasar Uni Eropa.”

Grahat Nagara, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, mengatakan kasus korupsi ini menunjukkan betapa rusaknya korupsi dalam peradilan Indonesia. Suap Rp60 miliar dalam kasus ini jauh lebih besar daripada kasus suap lain, seperti Ronald Tanur yang hanya Rp4 miliar. 

Integritas lembaga hukum terlihat rapuh. Pejabat pengadilan memanfaatkan kasus ini untuk menggandakan nilai suap, dengan sisa dana hasil korupsi yang bahkan belum seluruhnya terlihat.

Situasi ini, katanya, memperlihatkan praktik mafia peradilan masih merajalela hingga ke level Mahkamah Agung. Keterlibatan Wilmar, perusahaan yang memiliki rekam jejak panjang dalam berbagai kasus pelanggaran hukum di sektor sumber daya alam, seharusnya menjadi peringatan besar.

Reformasi sektor hukum terlihat gagal, dan wewenang serta kepercayaan publik tidak menghasilkan perubahan berarti. Sistem peradilan yang tertutup, manipulatif, dan rentan terhadap suap hanya mempermalukan profesi yang seharusnya paling mulia di negeri ini.

“Ini harusnya menjadi catatan bagi Mahkamah Agung, mengingat sudah terlalu banyak korupsi yang dilakukan oleh mereka (hakim), karena faktanya mafia peradilan masih sangat besar..

Grahat juga menyoroti uang suap sebesar Rp60 miliar yang disebutkan Kejaksaan. Dari total itu, Rp 22 Miliar dibagikan kepada para hakim. Sedangkan, penyidik baru menyita Rp 260 juta di rumah MAN.

“Masih ada Rp 35 miliar yang sama sekali tidak terungkap uangnya ada di mana.”

Aktivitas panen sawit di PT. DMP. Foto: Fahmi/Ficus

*****

Kasus Ekspor CPO Seret Korporasi jadi Tersangka

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|