-
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bondowoso, Jawa Timur, memvonis bersalah tiga petani Lereng Ijen yang berkonflik lahan dengan PT Perkebunan Nusantara I Regional V. Hukuman mereka beragam. Tiga petani yang mendapat julukan Trio Bondowoso ini berupaya memperjuangkan hak atas tanah mereka kelola turun-temurun, yang kini masuk dalam program Jawa Coffee Estate.
- Achmad Yudi Purwanto terkena vonis sepuluh bulan kurungan, Jumari satu tahun kurungan, dan Fajariyanto enam bulan kurungan. Padahal, tiga petani yang mendapat julukan Trio Bondowoso ini hanya perjuangkan hak atas tanah yang mereka kelola turun-temurun, yang jadi program Jawa Coffee Estate.
- Achmad Roni, Kuasa Hukum Trio Bondowoso menyebut belum bisa menerima putusan. Dia yakin, para petani ini tidak melakukan penghasutan sebagaimana yang Majelis Hakim katakan. “Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum. Harus dilindungi.”
- Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, menilai, vonis Majelis Hakim kembali menunjukkan ketidakadilan di pengadilan. Saat masyarakat memperjuangkan hak atas tanah, justru mereka yang mendapatkan perlakuan tidak adil.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bondowoso, Jawa Timur, memvonis bersalah tiga petani Lereng Ijen yang berkonflik lahan dengan PT Perkebunan Nusantara I Regional V. Hukuman mereka beragam. Hakim sebut, mereka langgar Pasal 160 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Achmad Yudi Purwanto kena vonis 10 bulan kurungan, Jumari satu tahun, dan Fajariyanto enam bulan penjara.
Tiga petani yang mendapat julukan Trio Bondowoso ini berupaya memperjuangkan hak atas tanah mereka kelola turun-temurun, yang kini masuk dalam program Jawa Coffee Estate.
Achmad Roni, Kuasa Hukum Trio Bondowoso mengatakan, para petani ini tidak melakukan penghasutan sebagaimana majelis hakim katakan.
“Mereka hanya menyampaikan pendapat di muka umum. Harus dilindungi,” katanya pada Mongabay, Selasa (28/4/25).
Dia bilang, akan melakukan upaya hukum dan masih berkoordinasi dengan tim. Masih ada waktu tujuh hari untuk menyatakan banding.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, menilai, vonis majelis hakim kembali menunjukkan ketidakadilan di pengadilan. Saat masyarakat memperjuangkan hak atas tanah, justru mereka yang mendapatkan perlakuan tidak adil.
“Kita tentu masih mengingat kasus para petani Pakel, termasuk trio Pakel yang sempat divonis bersalah karena dituduh menyebarkan berita bohong. Putusan itu akhirnya dianulir lewat kasasi di Mahkamah Agung, setelah kemenangan masyarakat sipil dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Kasus Trio Bondowoso menambah daftar ketidkadilan oleh hakim di Jawa Timur. Vonis itu mempertegas kriminalisasi terhadap warga yang bersuara seolah legal secara terselubung.
Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, institusi peradilan justru menjadi penghambat bagi penyelesaiannya.
“Sudah sepatutnya institusi kehakiman belajar untuk benar-benar berlaku adil, terutama kepada korban konflik agraria.”

Mengerdilkan yang lemah
Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan, bilang, vonis ini mempertegas makna dasar kriminalisasi oleh pemerintah.
“Sebagaimana kita tahu, bahwa kriminalisasi ini tindakan dari otoritas yang punya kewenangan atas kuasa regulasi, lalu menggunakan untuk mengalahkan yang lebih lemah. Vonis kepada Trio Bondowoso ini jadi bukti nyata,” katanya.
Vonis ini, merupakan kriminalisasi karena praktik korporatokrasi. Situasi saat negara disandera korporasi.
Negara justru tidak hadir membela rakyat. “Kemana negara dalam kasus ini? Petani yang berjuang dalam sengketa ini, hanya demi mendapatkan haknya dan akses sumber daya alam yakni tanah untuk kehidupan sehari-hari atau bertani di lahan yang dipersoalkan itu.”
Peneliti Sajogyo Institute ini juga menilai, peradilan Indonesia masih ‘gelap’ karena hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Terjadi korupsi dan perselingkuhan antara penguasa dan pemodal. Situasi ini, katanya, membuat rakyat jarang menang, justru jadi korban.
“Terutama dijerat pasal karet yang multi tafsir.”

Hal inilah yang menunjukkan praktik ‘regulatory chapture’. Saat badan regulasi yang seharusnya mengabdi demi kepentingan umum, justru bias dan condong membela kepentingan politik penguasa yang mendominasi industri dan sektor yang seharusnya mereka atur.
“Akibatnya, kelompok rentan dan marjinal tak akan pernah bisa menghirup keadilan di depan hukum.”
Politik agraria, katanya, belum berpihak ke rakyat. Karena itu, perlu pengadilan khusus agraria yang sudah lama masyarakat sipil suarakan.
Kalau tidak, kasus serupa akan terulang. “Rakyat hanya punya celah pintu sempit untuk menang, terlebih saat dihadapkan pada penguasa politik dan ekonomi.”

*****