- Nelayan Kepulauan Riau (Kepri) mengeluhkan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), terutama berkaitan dengan aturan zona tangkap nelayan. Apalagi belakangan KKP mewajibkan kapal yang beroperasi di atas 12 mil untuk memasang Vessel Monitoring System (VMS) atau alat pemantau kapal.
- Lima kapal nelayan di Kepulauan Riau (Kepri) ditangkap PSDKP KKP karena melanggar aturan larangan zona tangkap 12 mil ke atas. Padahal karakter nelayan lokal di Kepri sudah biasa melaut jauh di saat musim teduh kapal ukuran kecil.
- Misdi, Pengawas Perikanan PSDKP Batam menjelaskan, kapal yang tertangkap menggunakan jaring insang hanyut (drift gillnet) dan beroperasi di atas 12 mil. Padahal, izin yang dikantongi dari daerah (provinsi).
- Rudy Irwansyah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tanjungpinang menyayangkan penangkapan tersebut. Menurutnya nelayan di Kepri tidak bisa dibatasi dengan zona tangkap yang imajiner. Apalagi, nelayan di Kepri terutama di Bintan melaut mengikuti musim.
Nelayan Kepulauan Riau (Kepri) mengeluhkan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT), terutama berkaitan dengan aturan zona tangkap nelayan. Apalagi, belakangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mewajibkan kapal yang beroperasi di atas 12 mil untuk memasang vessel monitoring system (VMS) atau alat pemantau kapal.
Baru-baru ini, tiga kapal asal Kabupaten Bintan dan dua kapal asal Tanjungpinang, Kepri tertangkap kapal patroli Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam. Kelima kapal tersebut melanggar aturan zona tangkap yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 59/Permen-KP/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan (JPI) dan Alat Penangkapan Ikan (API).
“Pada saat beroperasi, kapal tidak sesuai dengan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) yang dimiliki kapal,” kata Misdi, Pengawas Perikanan PSDKP Batam, kepada Mongabay, Jumat (25/4/25).
Kapal yang tertangkap menggunakan API jaring insang hanyut (drift gillnet) dengan izin Pemerintah Kepri. Itu berarti kapal hanya boleh beroperasi di bawah 12 mil. Namun saat itu, kapal tengah beroperasi di atas 12 mil atau di titik 17 mil.
Begitu juga kapal yang menggunakan jaring hela dasar, izinnya juga pemerintah daerah yang terbitkan, berarti juga terlarang beroperasi di atas 12 mil. “Tetapi kapal patroli kita menemukan mereka di atas 12 mil, maka dilakukan pemeriksaan dan penangkapan, disuruh kembali ke pelabuhan pangkalan dan dokumen diamankan,” kata Misdi.
Sampai saat ini kedua kapal masih dalam pemeriksaan.

Tak bisa batasi nelayan Kepri seperti itu
Rudy Irwansyah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tanjungpinang menyayangkan penangkapan tersebut. Menurutnya nelayan di Kepri tidak bisa dibatasi dengan zona tangkap yang imajiner. Apalagi, nelayan di Kepri terutama di Bintan melaut mengikuti musim.
“Misalnya sekarang, kenapa mereka melaut di atas 12 mil, karena beberapa bulan ke depan musim angin teduh, jadi ikan di laut 12 mil ke atas sedang melimpah,” kata Rudy. Biasanya, bulan teduh berlangsung dari awal sampai tengah tahun (Juni).
Saat musim teduh, nelayan tradisional bubu melaut di atas 8 mil dari yang biasanya di bawah 4 mil. Sedangkan nelayan dengan kapal 6-10 gross tonnage (GT) bergeser ke atas melewati 12 mil. “Itu dilakukan untuk menghindari bentrok sesama nelayan, tetapi sekarang ketika mereka naik di atas 12 mil, malah melanggar zona tangkap,” kata Rudy yang juga mengadvokasi proses hukum lima kapal yang ditangkap PSDKP tersebut.
Dalam konteks ini, kata Rudy, aturan soal zona tangkap menjadi dilema. Sebab, ketika aturan 12 mil itu diterapkan secara saklek, justru memicu konflik antar nelayan. Tidak hanya di Tanjungpinang, tetapi juga di tempat lain. Sebab, seperti di Natuna, kapal 5 GT melaut sampai 20 mil karena pada bulan tertentu di dekat pesisir tidak ada hasil.
Namun, Misdi memiliki pandangan berbeda soal larangan 12 mil ini. Menurutnya, regulasi itu justru menutup celah potensi konflik antar nelayan. “
Ada kapal di bawah 5 GT, alat tangkapnya untuk daerah 12 mil, ya kami dorong menangkap di atas 12 mil, seperti kapal gillnet, atau jaring insang tadi supaya tidak terjadi konflik dengan nelayan yang operasi di bawah 12 mil,” katanya.
Karena di atas 12 mil sudah menjadi kewenangan pusat, Misdi pun mendorong kapal-kapal yang izinnya dikeluarkan daerah untuk melakukan migrasi perizinan ke pusat. Selain lebih aman saat melaut, potensi terjadinya konflik dapat dihindari.
Masalahnya, katanya, proses migrasi juga tak mudah karena akses yang sulit. Beberapa kapal yang sudah migrasi hari ini juga mengeluh lantaran adanya penerapan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca produksi serta kewajiban untuk memasang VMS.
Menurut dia, penerapan pungutan PNBP pasca produksi itu memberatkan nelayan karena tanpa mempertimbangkan batas hasil tangkapan. Dia mengilustrasikan, untuk satu kali berangkat nelayan harus keluarkan modal Rp 20 juta dengan target hasil tangkap 5 ton.
Meski pada akhirnya hanya mendapat 3 ton, nelayan tetap membayar PNBP. “Sudah pulang tekor, tambah lagi bayar PNBP, semakin tekor,” katanya. Soal kewajiban memasang VMS, Rudy juga mengkritiknya. Dengan harga Rp10-16 juta, jelas itu memberatkan nelayan.
Miswadi, Ketua HNSI Kepri mengatakan, beberapa kebijakan KKP membuat nelayan di Kepri kian terhimpit. Di satu sisi nelayan diminta untuk menjadi mata dan telinga melaporkan maraknya KIA Vietnam yang leluasa mencuri ikan. Tetapi disisi lain nelayan terbebani aturan larangan melaut 12 mil, kewajiban memasang VMS, hingga pungutan PNBP hasil tangkapan.
Belum lagi katanya, batas laut ini imajiner. Banyak nelayan yang beroperasi hanya karena mengikuti arus hingga di atas 12 mil. Menurutnya, aturan zonasi itu tidak karakteristik nelayan. Padahal, masing-masing daerah memiliki karakteristik berbeda.
“Misalnya sekarang mereka migrasi, kalau tiba-tiba ikannya di bawah 12 mil, mereka ditangkap kapal patroli. Ini penderitaan nelayan semakin panjang, akhirnya nelayan kecil bertambat aja,” katanya.

Misdi pun mendorong nelayan melakukan migrasi aturan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat agar bisa melaut di atas 12 mil. “Ada yang menangkap sampai perairan Bangka, sampai ke Kalimantan, kita demi keamanan mereka (nelayan) di laut, kita sarankan mereka migrasi,” katanya.
Dia bilang, migrasi ini hanya untuk perubahan perizinan dari daerah ke pusat, agar kapal bisa melaut di atas 12 mil dan menggunakan VMS.
Begitu juga dengan aturan VMS. Ketika nelayan sudah migrasi ke aturan pusat, katanya, maka wajib menggunakan VMS. VMS tidak serta merta berguna mengawasi nelayan, ini banyak keuntungan kata Misdi. Misalnya, pemilik kapal bisa memantau kapal-kapal mereka jika terjadi hal yang tidak diinginkan, bisa dilakukan pertolongan.
Misdi juga membantah keluhan nelayan terkait ribetnya proses migrasi perizinan. Menurutnya, nelayan bisa melakukan registrasi migrasi melalui OSS. Bahkan, untuk mendukung program ini, KKP juga menjemput bola dengan membuka gerai di sejumlah daerah.
Untuk nelayan kecil di bawah 5 GT, katanya, masih mendapat kebebasan melaut di atas 12 mil maupun di bawah 12 mil. “Kalau di atas 5 GT, kategorinya bukan nelayan kecil lagi, kebanyakan yang migrasi sekarang ukuran kapal 12 GT, atau 20 sampai 30 GT, total sudah 300 kapal yang sudah migrasi di Kepri.”
Misdi memahami keinginan nelayan untuk bisa melaut di bawah maupun di atas 12 mil. Namun, regulasi itu dibuat untuk menciptakan ketertiban dan menghindari konflik antar nelayan. “Apalagi kita sudah ada indikasi terjadi penangkapan berlebihan.”
*****
Polemik Cantrang : Akurasi Data Jadi Modal Utama Perikanan Terukur (6)