- Puluhan ribu hektar hutan alam di Jambi terancam hilang atas nama transisi energi. Upaya meninggalkan energi fosil, beralih menggunakan energi terbarukan, dengan menyasar hutan lewat izin-izin hutan tanaman energi juga menimbulkan kekhawatiran. Alih-alih, kurangi emisi, yang terjadi malah berisiko lepas emisi dari hutan yang hilang dan munculkan persoalan sosial dengan masyarakat.
- Dalam satu dekade terakhir, Jambi kehilangan tutupan hutan 175.104 hektar. Pada 2015, data KKI Warsi menunjukkan luas hutan di Jambi 1.132.857 hektar, tetapi pada 2024, luas menyusut menjadi 957.753 hektar. Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi mengingatkan, ada sejumlah bahaya mengintai karena hilangnya hutan. HTE berisiko merusak keanekaragaman hayati, stok karbon berkurang, kekeringan dan bencana ekologi.
- Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, alasan pemerintah menggunakan campuran biomassa untuk bahan bakar PLTU cofiring, sebagai upaya decarbonisasi atau ‘menghijaukan PLTU batubara.’ Dalam target Enhanced Nationally Determined Contribution, cofiring pada PLTU batubara dapat menurunkan emisi 8,88 juta ton pada 2030.
- Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia bilang, HTE hanya kamuflase untuk melanggengkan bisnis kayu dan batubara lewat narasi transisi energi. Beberapa pemegang izin HTE merupakan pemilik tambang batubara. Sedang pelet kayu Indonesia justru ekspor untuk memenuhi pasar Korea Selatan dan Jepang.
Puluhan ribu hektar hutan alam di Jambi terancam hilang atas nama transisi energi. Upaya meninggalkan energi fosil, beralih menggunakan energi terbarukan, dengan menyasar hutan lewat izin-izin hutan tanaman energi juga menimbulkan kekhawatiran. Alih-alih, kurangi emisi, yang terjadi malah berisiko lepas emisi dari hutan yang hilang dan munculkan persoalan sosial dengan masyarakat.
Hutan tanaman energi (HTE) terus pemerintah gaungkan sebagai transisi energi lebih bersih. Pemerintah mengeklaim pencampuran biomassa dengan batubara untuk bahan bakar akan membuat emisi PLTU lebih ramah lingkungan.
Tutupan hutan puluhan ribu hektar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, Jambi, bakal jadi perkebunan sengon dan kaliandra untuk produksi pelet kayu.
Warga Desa Ranggo di Kecamatan Limun, Sarolangun was-was kebun mereka di dalam konsesi PT Hijau Artha Nusa (HAN) akan tergusur. Perusahaan asal Korea Selatan itu telah mendapatkan izin multi usaha pada 2013 di area seluas 32.620 hektar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun untuk HTE.
Hasil analisis citra satelit Walhi Jambi menunjukkan ada bukaan lahan di konsesi HAN di perbatasan Desa Ranggo, Panca Karya, Tambang Tinggi dan Kampung Tujuh yang diduga kebun masyarakat.
Banyak warga Ranggo tak tahu desa mereka masuk dalam konsesi HAN. Saida, sudah 24 tahun tinggal di Trans Sungai Dingin tak pernah ketemu orang HAN. Begitu juga dengan Mashuri, warga Ranggo lainnya.
“Kami tidak tahu kalau ada izin perusahaan di wilayah kami. Karena tidak pernah ada sosialisasi ke desa,” katanya.
Peta konsesi PT HAN di Kabupaten Merangin.dok.FWI

Protes warga
Pada 2015, penduduk desa berkumpul di Kantor Camat Tabir Barat, Kabupaten Merangin untuk menolak HAN. Ada empat desa di Kecamatan Tabir dengan yang wilayah masuk konsesi perusahaan, Tanjung Beringin, Pulau Tebakar, Baru Kibul dan Muara Kibul.
Jamaludin, sekarang Ketua Hutan Adat Penghulu Marajolelo Serumpun Pusako Desa Tanjung Beringin, bersikeras menolak HAN sampai akhir. Warga desa khawatir kebun tergusur.
Mereka anggap kedatangan perusahaan tidak memberi manfaat, justru akan menimbulkan masalah.
“Dari dulu, sejak perusahaan itu datang, kami sudah menolak. Karena tidak ada manfaatnya buat kami,” kata Jamaludin saat Mongabay, temui.
Ketika banyak penolakan di Tabir Barat, HAN tetap beroperasi di Desa Baru Nalo dan Nalo Gedang, Kecamatan Nalo Tantan, Merangin. Jamaludin bilang, perusahaan tidak pernah sosialisasi ke masyarakat terkait proyek HTE maupun tapal batas izin konsesi.
“Sampai sekarang, kami tidak tahu dimana batas izin perusahaan itu, apakah kebun-kebun masyarakat itu masuk di dalamnya atau tidak, kami tidak tahu.”
Di Desa Tanjung Beringin, berbatasan dengan Desa Pulau Terbakar terdapat 400-500 hektar kawasan hutan belum masyarakat garap, yang akan mereka usulkan jadi hutan desa.
“Ketimbang digarap perusahaan, kami tidak dapat apa-apa, mending jadi hutan desa, jelas ada manfaatnya buat masyarakat,” kata Mantan Sekretaris Camat Tabir Ulu itu.
Warga Desa Pulau Terbakar menuding perusahaan asal Korea Selatan itu hanya mengincar kayu hutan. Idra Yohan, Sekretaris Desa Pulau Tebakar, mengatakan, sejak perusahaan menebang hutan dan mengambil kayu di Desa Baru Nalo dan Nalo Gedang bagian hulu, Desa Pulau Terbakar jadi gampang kebanjiran.
“Kapan hujan lebat beberapa hari pasti banjir. Dulu tidak.”
Beberapa kali masyarakat menemukan potongan batang kayu besar terbawa arus saat banjir besar. Tambang emas ilegal yang marak beroperasi di sepanjang sungai, juga ikut memperparah banjir.
Abdullah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, mengatakan, ekspansi kebun tanaman energi akan menyebabkan banyak petani kehilangan ruang kelola. “Masyarakat akan tergusur, akhirnya timbul konflik agaria. Akan ada kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.”
Dia mendesak, evaluasi izin HTE di Jambi dan meminta pemerintah memberi peluang pada masyarakat menggarap kawasan hutan dengan skema perhutanan sosial.
“Rakyat juga berhak atas akses terhadap sumber daya alam dan hutan yang tersisa.”

Izin terlantar, hutan rusak
HAN berhenti setelah tiga tahun beroperasi. Lebih dari 4.800 hektar kawasan hutan di Merangin mereka tinggalkan setelah hutan gundul untuk proyek HTE.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, selama beroperasi 2019-2021 perusahaan hanya menanam 64,5 hektar kebun sengon. Angka itu jauh dibandingkan dengan dokumen rencana penanaman 2015-2024 yang menargetkan penanaman sengon 18.087 hektar.
Dalam rapat bedah kinerja perizinan berusaha pemanfaatan hutan di Hotel Shang Ratu, Kota Jambi pada 28 Oktober 2024, Han Man Seong, pengusaha asal Korea Selatan sekaligus pimpinan HAN mengaku kehabisan modal. Saat ini, perusahaan masih berusaha mencari investor baru.
Dalam dokumen akta perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Han Man Seong tercatat memiliki 30.475 lembar saham HAN, senilai Rp3,45 miliar. Pemilik saham lain adalah Mohamad Sukri, sebagai komisaris. Sukri memiliki 5.025 lembar saham, Rp502,5 juta.
Pemegang saham mayoritas HAN adalah Woorim Energy Co., Ltd. berkedudukan di Bangi-dong, Songpa, Seoul, Korea Selatan. Perusahaan yang bergerak di bisnis pembangkit listrik tenaga surya dan energi terbarukan di Korsel itu menguasai 142.000 lembar saham setara Rp14,2 miliar.
Konsesi HAN terbagi dalam tiga blok. Blok I terletak di Kecamatan Tabir, Tabir Ulu, dan Tabir Barat seluas 11.494 hektar. Blok II 10.239 hektar berada di Kecamatan Nalo Tantan, dan Renah Pemberap. Blok I dan II berada di Merangin. Sedangkan Blok III seluas 10.947 hektar di Kecamatan Limun, Cermin Nan Gedang dan Batang Asai di Sarolangun.
Saat ini, konsesi HAN di Merangin banyak masyarakat garap untuk kebun sawit. Sementara lahan di Sarolangun yang terbengkalai sejak 2013, telah diobok-obok para penambang emas ilegal.
Berdasarkan analisis citra satelit KKI Warsi, luas tambang emas ilegal di konsesi HAN mencapai 1.300 hektar. Lebih 800 hektar berada di Sarolangun.
Sukmareni, Koordinator Devisi Komunikasi Warsi, menyebut, aktivitas tambang emas ilegal paling banyak di Desa Tambang Tinggi, Kecamatan Cerminan Nan Gedang, Sarolangun, seluas 385 hektar.
“Harusnya pemerintah evaluasi atas izin yang telah diterbitkan, jika HAN tidak mampu mengelola lahan, sebaiknya dikembalikan ke negara,” katanya.

Mau ada izin baru?
Di tengah banyak penolakan HTE, di Jambi justru muncul izin multi usaha baru. Abdullah menyebut, ada tiga perusahaan yang saat ini proses mengajukan perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) baru di Jambi. Ketiganya, yaitu, PT Wahana Elang Perkasa (WEP), PT Rimba Tanaman Industri (RTI) dan PT Merial Dino Plantarum (MDP).
“Merial Dino Plantarum ini mengajukan izin untuk HTE. Sedangkan Wahana Elang Perkasa itu restorasi ekosistem, izinya di Tanjung Jabung Barat,” katanya.
Berdasarkan data yang Walhi Jambi dapatkan, MDP akan menggarap kawasan hutan di Sarolangun dan Merangin seluas 9.246 hektar untuk perkebunan kaliandra.
Arbain, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Limau Unit VII Hulu Sarolangun, mengatakan, MDP akan membangun pabrik wood pellet di Kecamatan Pamenang, Merangin. “Info yang saya dapat seperti itu. Tapi pastinya nanti setelah izinnya resmi keluar,” katanya.
Pada 26 Juli 2024, Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan (KLHK) mengeluarkan surat perihal Rapat Komisi Penilian Amdal Pusat Pembahasan Dokumen Andal RKL-RPL PT Merial Dino Plantarum. Satu tahap lagi, MDP mendapatkan izin PBPH.
Wahyu Nurhidayat, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah IV Jambi, mengatakan, MDP telah menyelesaikan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Setelah membayar iuran izin, mereka bisa mulai beroperasi.”
Abdullah menduga, izin MDP ada kaitan dengan rencana pemerintah membuka 20,6 juta hektar kawasan hutan untuk pangan dan energi.
Alih-alih ramah lingkungan, HTE justru berisiko menyebabkan deforestasi, degradasi lahan dan pelepasan emisi karbon tinggi.
“Lewat izin HTE, pemerintah akan melegalkan pembabatan hutan dengan dalih transisi energi,” katanya.
Dalam satu dekade terakhir, Jambi kehilangan tutupan hutan 175.104 hektar. Pada 2015, data KKI Warsi menunjukkan luas hutan di Jambi 1.132.857 hektar, tetapi pada 2024, luas menyusut menjadi 957.753 hektar.
Abdullah mengingatkan, ada sejumlah bahaya mengintai karena hilangnya hutan. “HTE berisiko merusak keanekaragaman hayati, stok karbon berkurang, kekeringan dan bencana ekologi.”
Pertengahan Maret 2025, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jambi mencatat, hampir 100.000 orang di Kota Sungai Penuh, Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi dan Kota Jambi, terdampak banjir. Lebih dari 2.500 hektar lahan pertanian gagal panen.
Dia skeptis dengan narasi transisi energi yang pemerintah bangun, setelah banyak pemegang izin HTE hanya mengincar kayu hutan dan bisnis ekspor kayu pelet.
“Saya khawatir MDP juga hanya mengincar kayu alam.”

Modus kuasai lahan
Aturan pemerintah yang mengharuskan pencampuran biomassa untuk bahan bakar PLTU batubara, mendorong ekspansi perkebunan tanaman energi di berbagai wilayah. Dalam RUPTL PLN 2021-2030, kebutuhan biomassa untuk 52 PLTU cofiring mencapai 14 juta ton per tahun, dengan asumsi cofiring 70%. 8 Juta ton akan pasok dari HTE dan 900.000 ton dari sampah.
Pemerintah mengeklaim, dengan menambahkan biomassa sebagai bahan bakar ke dalam boiler PLTU batubara akan meningkatkan bauran energi terbarukan. Pengoperasian PLTU cofiring berkapasitas 18.895 MW akan menghasilkan energi terbarukan 2,7 GW.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, penggunaan biomassa untuk campuran PLTU batubara justru akan menghasilkan emisi jauh lebih besar. Untuk menghasilkan listrik perlu jutaan ton biomassa.
FWI memperkirakan, 4,65 juta hektar hutan alam akan rusak karena izin multi usaha kehutanan termasuk skema perhutanan sosial yang turut mengusahakan HTE. “Berbagai proyek berlabel hijau akan merusak setidaknya 50% hutan tersisa,” katanya.
Dalam dua tahun terakhir, banyak izin multi usaha baru mencapai 500.000 hektar. Tahun 2025, pemegang izin HTE bakal bertambah jadi 43 perusahaan.
Anggi menuding, HTE hanya akal-akalan pengusaha untuk mengusai lahan. “HTE akan menjadi alat para pemegang izin PBPH untuk memperpanjang cengkeraman mereka atas sumber daya hutan dan lahan.”
Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membantah semua tudingan miring terkait biomassa dan HTE.
Dia bilang, alasan pemerintah menggunakan campuran biomassa untuk bahan bakar PLTU cofiring, sebagai upaya decarbonisasi atau ‘menghijaukan PLTU batubara.’
“Seperti halnya BBN (bahan bakar nabati) mensubstitusi BBM (bahan bakar minyak) dan biogas, atau biometana mensubstitusi gas bumi atau LPG,” katanya.
Dalam target Enhanced Nationally Determined Contribution, cofiring pada PLTU batubara dapat menurunkan emisi 8,88 juta ton pada 2030.
Menurut mantan Peneliti Ahli Utama Organisasi Energi dan Manufaktur BRIN itu, isu penggunaan biomassa membuat emisi lebih besar karena pembakaran dan pembukaan hutan untuk HTE, perlu diluruskan.
Eniya mengatakan, sepanjang 2020-2024, biomassa untuk campuran batubara PLTU menggunakan limbah serbuk gergaji, limbah kayu, cangkang dan sekam padi.
“Dalam roadmap cofiring pun, penggunaan tanaman energi dari HTE untuk cofiring berasal dari penanaman lahan marginal atau kritis dan penanaman konsesi lahan (hutan industri), bukan dari pembukaan hutan baru.”
Dia klaim, emisi CO2 hasil pembakaran biomassa jauh lebih kecil dibanding CO2 yang diserap hutan tanaman energi. Dia pun membuat gambaran, setiap 1 Megawatt (MW) listrik perlu sekitar 30 ton biomassa per hari, dengan kebutuhan lahan 400-500 hektar per MW.
Dengan asumsi produktivitas lahan 25 ton per hektar per tahun, emisi dari pembakaran 30 ton biomassa akan jauh lebih kecil dibanding penyerapan CO2 oleh 400-500 hektar tanaman biomassa.
“Sehingga kekhawatiran penggunaan biomassa dari tanaman HTE mengancam 4,65 juta hutan yang tersisa dan menyebabkan emisi yang lebih besar, tidak akan terjadi.”
Klaim itu Amalya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia, bantah. Dia menyebut, ada 450.000 hektar hutan alam di dalam 31 konsesi HTE yang terancam terdeforestasi secara terencana.
Trend Asia menghitung, untuk memenuhi pasokan 10% biomassa pada 52 PLTU cofiring, pemerintah perlu membangun setidaknya 2,33 juta hektar HTE yang berisiko menyebabkan deforestasi 1 juta hektar.
Amel panggilan akrab Amalya, menyebut, pemerintah membuat kepalsuan dengan menarasikan PLTU cofiring ramah lingkungan. Riset Trend Asia menunjukkan, pencampuran 10% biomassa berpotensi menghasilkan emisi karbon hingga 26,48 juta ton dioksida (CO2e) per tahun, berasal dari deforestasi sampai dengan pengelolaan HTE. Angka itu belum termasuk emisi dari proses produksi pelet kayu dan distribusinya.
Sepanjang 2024, setidaknya 1,62 juta ton biomassa dibakar untuk campuran batubara PLTU. Emisi dari CO2, CH4 dan NO2 diperkirakan mencapai 2,87 juta ton. Pencampuran biomassa justru akan menambah emisi PLTU batubara terus naik jadi 298,9 juta ton CO2e pada 2030.
“Penggunaan biomassa tidak pernah menghilangkan emisi dari pembakaran batubara. Itu yang tidak pernah dikatakan oleh pemerintah.”
Amel meminta, pemerintah transparan menghitung emisi dari pembakaran biomassa, pembakaran batubara, pembukaan hutan dan emisi yang mampu terserap HTE, untuk membuktikan bahwa biomassa netral karbon.

Greenwashing
Amel bilang, HTE hanya kamuflase untuk melanggengkan bisnis kayu dan batubara lewat narasi transisi energi. Beberapa pemegang izin HTE merupakan pemilik tambang batubara. Sedang pelet kayu Indonesia justru ekspor untuk memenuhi pasar Korea Selatan dan Jepang.
“Ini greenwashing. Jadi cara mereka cuci dosa.”
Amel mendesak, segera pensiunkan PLTU batubara. “Itu baru netral karbon.”
Syaharani, Kepala Devisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, Indonesia sangat berisiko gagal mencapai target net zero emission pada 2060 bila PLTU terus beroperasi.
Emisi dari sektor energi bisa tembus 1.500 juta ton CO2 pada 2030. Publik juga akan menanggung kerugian besar akibat PLTU.
Setiap tahun polusi PLTU bisa menyebabkan dampak kesehatan dan kerugian produktivitas sebesar US$2,1 miliar-US$4,1 miliar (Greenpeace & Harvard, 2015). Bahkan risiko stranded asset dari PLTU yang bisa mencapai US$26 miliar kalau tetap dipertahankan.
Selain itu, pemerintah juga terbebani kontrak take or pay dengan swasta yang membuat PLN merugi karena harus membayar listrik meski tidak digunakan.
“Memensiunkan PLTU sebenarnya bukan hal mustahil bagi Indonesia. Yang dibutuhkan hanya kebijakan jelas, perencanaan mulai sedini mungkin, dan keberanian memulai,” kata Syaharani.

Transisi energi berkeadilan
Syaharini mengatakan, transisi energi di Indonesia belum sepenuhnya adil. Banyak proyek energi, termasuk energi terbarukan, justru menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Menurut dia, ada tiga hal perlu pemerintah lakukan agar transisi energi benar-benar adil. Pertama, pemerintah harus punya komitmen kuat beralih ke energi terbarukan, termasuk menargetkan bauran energi terbarukan yang ambisius dalam dokumen kebijakan energi seperti kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional, rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).
“Saat ini, RUKN kita masih belum menargetkan pemensiunan PLTU.”
Kedua, pemerintah perlu melihat kembali aturan yang masih melemahkan perlindungan sosial dan lingkungan. Ketiga, proses transisi harus melibatkan masyarakat mulai dari perencanaan sampai implementasi.
Dia menyarankan, pemerintah membuka peluang membangun energi berbasis komunitas di daerah.
“Itu langkah penting untuk memujudkan transisi energi.”
******
Potret Perusahaan HTE di Jambi, Tebang Hutan Luas Minim Tanam