- Gorontalo terus menghadapi ancaman kerusakan ekologis. Hutan alam di provinsi ini perlahan-lahan menyusut, sementara izin-izin pemanfaatan lahan kembali terbit atas nama bioenergi. Kondisi ini, membuka babak baru dalam cerita panjang deforestasi di Bumi Serambi Madinah ini.
- Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, hingga 2023, hutan alam tersisa di Gorontalo tinggal 693.795 hektar, atau 57% dari total luas daratan. Dalam rentang waktu enam tahun terakhir (2017–2023), provinsi ini kehilangan 35.770 hektar tutupan hutan. Provinsi ini tercatat memiliki 10 izin bioenergi tersebar di 282.100 hektar lahan.
- Terry Repi, peneliti dari Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Gorontalo mengatakan, proyek bioenergi tidak hanya berdampak pada manusia, juga ancaman serius bagi keanekaragaman hayati.
- Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kerap kena banjir bandang, terutama di Kecamatan Popayato, Popayato Barat, dan Popayato Timur. Peristiwa banjir ini berulang hingga mengakibatkan permukiman dan jalanan terendam air. Aktivitas industri ditengarai menjadi dalang penyebab deforestasi hingga lebih rentan terjadi banjir.
Gorontalo terus menghadapi ancaman kerusakan ekologis. Hutan alam di provinsi ini perlahan-lahan menyusut, sementara izin-izin pemanfaatan lahan kembali terbit atas nama bioenergi. Kondisi ini, membuka babak baru dalam cerita panjang deforestasi di Bumi Serambi Madinah ini.
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, pengembangan bioenergi berbasis hutan dan lahan yang melibatkan korporasi besar justru berisiko mendorong deforestasi.
Alih-alih mempercepat pencapaian target pengurangan emisi, katanya, pendekatan ini dapat menjerumuskan Gorontalo dan bahkan Indonesia ke dalam “jurang-jurang” deforestasi baru yang masif.
“Jika tidak dikaji ulang secara serius, strategi ini dapat menggagalkan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi di tingkat global,” katanya melalui keterangan yang Mongabay terima, belum lama ini.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, hingga 2023, hutan alam tersisa di Gorontalo tinggal 693.795 hektar, atau 57% dari total luas daratan. Dalam rentang waktu enam tahun terakhir (2017–2023), provinsi ini kehilangan 35.770 hektar tutupan hutan.
Provinsi ini tercatat memiliki 10 izin bioenergi tersebar di 282.100 hektar lahan.
Skema bioenergi ini melibatkan tiga jenis sumber lahan, eks perkebunan sawit yang mendapatkan “amnesti” dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), transformasi hutan tanaman industri, dan areal bekas hak pengusahaan hutan (HPH) kadaluwarsa.
Dua perusahaan sawit, PT Inti Global Laksana (IGL) seluas 11.860 hektar dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) 15.493 hektar sudah mengantongi izin pemanfaatan hutan hak dari KLHK untuk mengembangkan industri wood pellet di Pohuwato. Keduanya dapat izin mengelola hutan 27.353 hektar.
Dua perusahaan lain, PT Gema Nusantara Jaya (GNJ) dan PT Gorontalo Citra Lestari (GCL), awalnya hutan tanaman industri (HTI) untuk kayu pertukangan, kini bertransformasi ke bisnis bioenergi. Mereka membangun industri primer pengolahan kayu lewat entitas bernama PT Gorontalo Panel Lestari, dengan izin PBPH 74.146 hektar di Gorontalo Utara.
Selain itu, baru-baru ini muncul kabar akan ada izin-izin baru lagi. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Gorontalo mengkonfirmasi ada rencana penerbitan enam izin baru untuk hutan tanaman energi (HTE).
Setidaknya ada 180.000 hektar tambahan akan kawasan hutan untuk kepentingan bioenergi, tersebar di Pohuwato, Boalemo, dan Gorontalo Utara.
Keenam perusahaan yang mengantri izin itu antara lain, PT. Hutani Cipta (7.800 hektar), PT. Keia Lestari Indonesia 1 (41.000), PT Lumintu Ageng Joyo (38.000), PT Keia Lestari Indonesia 2 (43.000), PT. Nawa Waskita Utama (41.000), PT Sorbu Agro Energi (9.800).
Penerbitan izin baru ini ‘bagian dari upaya’ mencapai target net sink sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU Net Sink) pada 2030. Dalam rencana operasional FoLU Net Sink 2030, pemerintah menargetkan pembangunan hutan tanaman baru seluas 6 juta hektar secara nasional. Gorontalo mendapatkan alokasi melalui penerbitan izin baru seluas 17.411 hektar.
Anggi mengatakan, tak dapat membenarkan deforestasi terencana akibat pembangunan proyek bioenergi dalam konteks apapun, terutama ketika terbungkus narasi transisi energi dan pengurangan emisi.
Pemanfaatan kayu dari hutan alam, katanya, tidak akan pernah bisa menjawab persoalan energi berkelanjutan.
Anggi mengatakan, proyek bioenergi yang bergantung pada eksploitasi hutan alam hanya akan memperparah krisis ekologis dan sosial.
Alih-alih mempercepat pencapaian target emisi, katanya, pendekatan ini justru memperluas jejak kerusakan lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal yang hidup bergantung pada hutan.
“Mengorbankan hutan untuk produksi wood pellet bukan solusi, melainkan ironi dalam agenda transisi energi.”

Solusi palsu
Amalya Reza, Juru Kampanye Bioenergi dari Trend Asia, menegaskan, penggunaan biomassa kayu sebagai sumber energi terbarukan adalah solusi palsu yang justru memperparah krisis ekologis.
Proyek-proyek biomassa, terutama dalam skema co-firing di PLTU merupakan bentuk greenwashing, atau pencitraan palsu ramah lingkungan, sejatinya untuk menunda pemensiunan pembangkit energi kotor berbasis batubara.
“Biomassa kayu itu boros lahan, menyebabkan deforestasi, dan dalam praktiknya, hanya menjadi dalih untuk mempertahankan PLTU. Seperti yang terlihat di Gorontalo, terutama di Pohuwato, dampaknya sangat timpang. Masyarakat sekitar menanggung beban ekologis,” kata Amel, sapaan akrabnya dalam rilis.
Analisis Trend Asia, sepanjang 2020-2024, deforestasi di Pohuwato lebih 17.000 hektar. Sebagian besar dari kehilangan tutupan hutan itu terjadi akibat ekspansi perkebunan kayu energi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biomassa.
Dalam riset Trend Asia pada 2022 dengan judul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,” menyebut, pengembangan HTE untuk memenuhi bahan baku biomassa wood pellet berisiko menimbulkan deforestasi, paling rendah 630.000 hektar hingga tertinggi 2,1 juta hektar. Perhitungan FWI mencatat, deforestasi terencana dari pembangunan HTE dapat mencapai 420.000 hektar.
Alih-alih menjadi solusi bagi krisis iklim dan transisi energi, kata Amel, penggunaan hutan alam untuk proyek bioenergi kayu justru menjadi faktor penyebab bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Ini bukan sekadar isu lokal. Dampak negatif biomassa kayu sudah terlihat di banyak wilayah Indonesia. Yang paling mengkhawatirkan, risikonya kini semakin meluas seiring bertambahnya izin konsesi di kawasan-kawasan rentan seperti Popayato Grup,” katanya.

Kaya keanekaragaman hayati
Kritik serupa juga dari Terry Repi, peneliti dari Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) sekaligus dosen Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Dia bilang, proyek bioenergi tidak hanya berdampak pada manusia, juga ancaman serius bagi keanekaragaman hayati.
“Konversi hutan untuk bioenergi mempercepat hilangnya habitat, terutama bagi spesies yang sangat spesifik dan memiliki wilayah jelajah luas. Ini dapat mempercepat kepunahan, mengubah struktur dan komposisi ekosistem, serta memicu munculnya spesies invasif yang mengganggu keseimbangan lingkungan,” katanya dalam diskusi FWI.
Dia permah penelitian langsung di Bendang Alam Popayato-Paguat pada 2021 dan kawasan bernilai konservasi tinggi.
Distribusi konservasi tinggi di Pohuwato, juga diakui dalam dokumen Folu Net Sink 2030 Gorontalo. Dokumen itu menyebut, ada sekitar 84.566,87 hektar wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di Pohuwato. Angka itu terbesar dari kabupaten/kota lain di Gorontalo.
Bentang Alam Popayato-Paguat, kata Terry, menjadi wilayah tangkapan air, habitat, menjadi koridor penting biodiversitas dan berbagai spesies kunci, serta menghubungkan wilayah timur dan barat Sulawesi.
Dia bilang, jika ini wilayah ini hilang akibat kebun energi, akan memfrekmentasi koridor itu.
“Sebanyak 23 spesies mamalia di wilayah itu, dan 16 jenis merupakan endemik, serta ada 4 jenis dilindungi. Ada sebanyak 175 jenis burung di wilayah itu juga, dan 41 jenis diantaranya endemik, dan 21 jenis dilindungi,” katanya.
Terry juga menyoroti kekeliruan asumsi bahwa bioenergi kayu bersifat netral karbon. Berdasarkan kajian ilmiah, hutan membutuhkan waktu antara 44 hingga 104 tahun untuk menyerap kembali karbon dioksida (CO₂) yang lepas dari proses penebangan.
Artinya, penggunaan bioenergi justru berisiko menunda upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif dan cepat.
Abubakar Siddik Katili, anggota Japesda dan peneliti di Pusat Kajian Ekologi Pesisir Berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) Universitas Negeri Gorontalo, mengingatkan, kerusakan ekosistem akibat proyek bioenergi tidak hanya berdampak lokal, juga global.
“Rusaknya ekosistem berarti hilangnya fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan, termasuk pengatur iklim dan penyedia air bersih. Ini akan memperparah perubahan iklim global. Pada akhirnya, kerusakan ini mencerminkan karakter dan perilaku manusia yang abai terhadap keseimbangan ekologis,” ujar Abubakar, melalui rilis yang Mongabay terima.

Picu bencana
Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kerap kena banjir bandang, terutama di Kecamatan Popayato, Popayato Barat, dan Popayato Timur. Peristiwa banjir ini berulang hingga mengakibatkan permukiman dan jalanan terendam air. Aktivitas industri ditengarai menjadi dalang penyebab deforestasi sehingga lebih rentan terjadi banjir.
Walhi Gorontalo menilai, kondisi ini merupakan akibat kerentanan lingkungan yang makin parah oleh kerusakan hutan alam. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai wilayah tangkapan air terus menyusut, hingga mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air.
Defry Sofyan, Direktur Eksekutif Walhi Gorontalo mengatakan, dalam satu dekade terakhir, pembukaan lahan perusahaan pemegang konsesi di wilayah Kecamatan Popayato, Popayato Barat, dan Popayato Timur menggerus tutupan hutan yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air. Di tiga kecamatan itu, katanya, setidaknya ada lima perusahaan beroperasi seluas puluhan ribu hektar.
Selain itu, penambahan enam izin konsesi HTE akan makin memperparah kondisi lingkungan dengan menciptakan ancaman ekologis baru di Gorontalo.
Kalau tidak ada tindakan tegas menghentikan eksploitasi hutan dan melakukan pemulihan ekosistem, kata Defry, bencana ekologis akan lebih buruk dari tahun ke tahun.
“Degradasi lingkungan juga berdampak pada kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup pada keberlanjutan ekosistem hutan dan sungai. Apalagi di Gorontalo memiliki risiko bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor yang cukup tinggi.”

*******