Pria Ini Rela Digigit Ular 200 Kali, Kini Darahnya Jadi Penawar Racun Ular

1 week ago 20
Situs Informasi Sore Jitu Terpercaya
  • Tim Friede, seorang mantan montir truk dari Wisconsin, secara sukarela digigit lebih dari 200 kali dan menyuntikkan dirinya 700 kali dengan racun ular mematikan demi membentuk kekebalan tubuh dan membantu dunia mengembangkan penawar racun ular.

  • Peneliti dari Centivax dan Columbia University menggunakan darahnya untuk mengidentifikasi antibodi netralisasi luas yang mampu melindungi dari racun neurotoksik berbagai spesies ular elapid, dengan cakupan perlindungan yang belum pernah dicapai sebelumnya.

  • Hasil penelitian ini menjadi fondasi pengembangan antivenom sintetis manusia pertama di dunia, dan membuka jalan menuju penawar racun ular universal yang dapat melindungi dari semua jenis ular berbisa, termasuk viper.

Di saat kebanyakan orang berusaha mati-matian menghindari ular berbisa, Tim Friede justru rela digigit oleh mereka. Dia adalah seorang mantan montir truk asal negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat, yang telah menjalani eksperimen pribadi paling ekstrem di dalam dunia medis. Selama hampir dua dekade, ia rela digigit lebih dari 200 kali dan menyuntikkan dirinya lebih dari 700 kali dengan racun dari berbagai ular paling mematikan di dunia—termasuk black mamba, kobra, taipan, dan krait.

Awalnya, tujuan eksperimennya adalah untuk membentuk kekebalan pribadi terhadap racun ular agar dapat menangani ular secara aman. Namun seiring waktu, misi ini berubah menjadi dedikasi penuh untuk menyelamatkan nyawa manusia di seluruh dunia.

Tim Friede (tengah) ingin membantu mengembangkan terapi yang lebih baik bagi para korban gigitan ular | Foto oleh Dr Jacob GlanvilleTim Friede (tengah) ingin membantu mengembangkan terapi yang lebih baik bagi para korban gigitan ular | Foto oleh Dr Jacob Glanville

Pada awal percobaannya, Friede sempat mengalami kondisi kritis: dua gigitan kobra secara beruntun membuatnya koma selama empat hari. Namun bukannya berhenti, ia justru semakin tekun, bertekad mengembangkan terapi antiracun yang lebih baik. “Saya tidak ingin mati, tidak mau kehilangan jari, dan tidak ingin absen kerja,” ujarnya. “Tapi kemudian saya sadar—ini bukan cuma tentang saya. Ini tentang orang-orang ribuan kilometer jauhnya yang tidak memiliki akses ke penawar racun.”

Kini, darahnya menjadi objek penelitian ilmiah yang menghasilkan penemuan penawar racun ular dengan cakupan terluas dalam sejarah.

Penelitian Terobosan: Antibodi Luas dari Darah Manusia

Penelitian revolusioner ini dipimpin oleh Dr. Jacob Glanville, CEO perusahaan bioteknologi Centivax, bekerja sama dengan para ilmuwan dari Columbia University dan lembaga lainnya. Fokus utama mereka adalah mengembangkan antibodi sintetis yang mampu menetralkan racun dari kelompok ular elapid—yang mencakup spesies berbahaya seperti kobra, mamba, taipan, krait, dan ular karang. Ular-ular ini menggunakan racun neurotoksik, yang menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan hingga kematian hanya dalam hitungan menit.

Darah Tim Friede, yang telah terpapar berbagai jenis racun selama hampir 20 tahun, menjadi sumber biologis yang sangat unik. Paparan berulang terhadap racun dari puluhan spesies ular memungkinkan sistem imunnya membentuk respons antibodi yang sangat luas—sesuatu yang mustahil dicapai dengan teknik imunisasi tradisional pada hewan.

Para peneliti yang sedang mengembangkan penawar racun ular universal | Foto Dr Jacob GlanvillePara peneliti yang sedang mengembangkan penawar racun ular universal | Foto Dr Jacob Glanville

Dari darah Friede, para peneliti berhasil mengidentifikasi dua antibodi netralisasi luas (broadly neutralizing antibodies) yang tidak hanya mengenali racun dari satu spesies, tetapi mampu menargetkan domain molekuler yang konservatif, yaitu bagian dari racun yang sama dan tidak berubah di berbagai spesies. Mereka juga menambahkan satu molekul kecil yang telah terbukti memiliki kemampuan untuk memblokir efek racun tertentu, sehingga terbentuklah koktail antivenom tiga komponen.

Koktail ini kemudian diuji pada tikus laboratorium, dengan hasil yang sangat mengesankan. Dari 19 spesies elapid paling mematikan yang masuk dalam daftar prioritas WHO, antivenom ini memberikan:

  • Perlindungan penuh terhadap 13 spesies, termasuk black mamba, beberapa spesies kobra dari Afrika dan Asia, taipan Australia, serta krait dari Asia Tenggara.

  • Perlindungan parsial terhadap enam spesies lainnya, yang menunjukkan potensi perlindungan lintas spesies yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Yang lebih mengesankan, cakupan proteksi ini meliputi ular dari lima benua: Asia, Afrika, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Ini menandai untuk pertama kalinya antivenom buatan manusia berbasis antibodi sintetis berhasil menunjukkan efek multi-spesies yang nyata dalam pengujian in vivo.

Penelitian ini kemudian dipublikasikan secara resmi di jurnal ilmiah bergengsi Cell, dan langsung menarik perhatian komunitas imunologi dan toksikologi global. Tim peneliti menyebut hasil ini sebagai “perlindungan paling luas terhadap neurotoksin ular yang pernah dicapai dalam sejarah sains.” Sebagai langkah lanjutan, Centivax berencana untuk melakukan uji coba pada anjing di Australia—khususnya anjing yang secara alami terkena gigitan ular berbisa saat berkegiatan di pedalaman. Pengujian ini akan menjadi jembatan penting menuju uji klinis tahap awal pada manusia, sambil menyempurnakan formula dengan penambahan komponen keempat untuk mengatasi keterbatasan perlindungan parsial pada enam spesies tersisa.

 Wikimedia Commons/TimVickers/Public DomainBlack mamba (Dendroaspis polylepis). Foto: Wikimedia Commons/TimVickers/Public Domain

Lebih jauh, tim peneliti tidak berhenti pada kelompok elapid saja. Mereka juga menargetkan pengembangan penawar racun untuk kelompok ular viper, yang dikenal memproduksi hemotoksin—jenis racun yang menyerang sistem peredaran darah, merusak jaringan, dan dapat menyebabkan pembekuan atau pendarahan fatal. Pendekatan imunoterapi yang telah berhasil pada neurotoksin elapid ini diharapkan juga dapat diadaptasi untuk menghadapi racun kompleks dari viper dan jenis lainnya.

Jika strategi ini berhasil, maka dunia akan berada di ambang terciptanya penawar racun ular universal sejati—terapi tunggal atau ganda yang efektif untuk semua jenis gigitan ular berbisa, tak peduli dari spesies mana atau berasal dari benua mana.

Menuju Penawar Racun Universal

Selama lebih dari satu abad, metode pengembangan antivenom relatif tidak berubah: racun disuntikkan ke hewan seperti kuda, dan antibodi yang dihasilkan dalam tubuh hewan tersebut kemudian dipanen dan diolah menjadi penawar racun. Meski terbukti menyelamatkan banyak nyawa, pendekatan ini memiliki keterbatasan mendasar: setiap penawar harus sesuai dengan spesies ular tertentu, dan bahkan bisa menjadi tidak efektif ketika digunakan pada ular dari populasi geografis yang berbeda.

Penemuan dari darah Tim Friede membawa pendekatan baru yang revolusioner. Koktail antibodi sintetis ini adalah yang pertama dikembangkan dari sistem imun manusia yang terpapar berbagai jenis racun selama bertahun-tahun—menandai langkah besar menuju pembuatan antivenom universal yang lebih fleksibel, luas cakupannya, dan siap digunakan secara global.

Para peneliti kini bekerja untuk menyempurnakan formula dengan menambahkan komponen keempat, guna menutup celah perlindungan yang belum optimal. Target akhirnya adalah memiliki satu suntikan universal untuk keluarga ular elapid dan satu lagi untuk viper—dua kelompok utama ular berbisa yang bertanggung jawab atas sebagian besar kematian akibat gigitan di dunia.

Menurut Prof. Peter Kwong dari Columbia University, dunia masih menghadapi tantangan besar: setidaknya ada 12 kelas racun berbeda dalam keluarga ular berbisa, termasuk neurotoksin, hemotoksin, sitotoksin, dan lainnya. Namun ia tetap optimis bahwa, “dalam 10 hingga 15 tahun, kita akan memiliki terapi efektif untuk masing-masing jenis racun tersebut.”

Reaksi Dunia Ilmiah: Antara Antusiasme dan Kehati-hatian

Penemuan ini tentu saja tak luput dari perhatian dunia medis dan ilmiah. Para pakar seperti Prof. Nick Casewell dari Liverpool School of Tropical Medicine dan David Williams dari World Health Organization (WHO) menyambut baik hasil penelitian ini sebagai sebuah terobosan besar dalam pengembangan terapi gigitan ular. Mereka mengakui bahwa pendekatan inovatif ini membuka peluang baru, jauh melampaui metode konvensional yang selama ini terbatas hanya pada kecocokan racun dan spesies ular secara spesifik.

Namun, seperti semua inovasi medis berskala besar, jalan menuju penerapan klinis masih panjang dan penuh tantangan. Para ahli menekankan perlunya uji klinis berskala besar, pengawasan ketat dari lembaga regulator, serta pengujian keamanan dan efektivitas pada manusia sebelum terapi ini dapat digunakan secara luas. Mereka juga mengingatkan bahwa keberhasilan pada keluarga ular elapid hanyalah awal; pengembangan terapi yang efektif untuk kelompok ular viper dan racun lainnya seperti hemotoksin dan sitotoksin masih menjadi tantangan berikutnya.

Meski demikian, banyak kalangan ilmuwan menyebut penelitian ini sebagai “bukti kuat bahwa pendekatan imunisasi manusia terhadap berbagai jenis racun sangat mungkin dikembangkan secara luas.” Tidak hanya mengubah paradigma dalam dunia antivenom, penemuan ini juga memberikan arah baru dalam dunia imunoterapi sintetis, dan membuka kemungkinan penggunaan pendekatan serupa untuk melawan berbagai jenis racun atau toksin lainnya di masa depan.

Bagi Friede, perjalanan panjang penuh risiko ini bukanlah sebuah pengorbanan sia-sia. “Saya sadar saya sedang melakukan sesuatu yang baik untuk kemanusiaan. Itu penting bagi saya. Saya bangga.” ujarnya. Apa yang dulu dianggap gila—rela menantang maut demi ilmu pengetahuan—kini terbukti sebagai salah satu kontribusi paling berarti dalam perjuangan umat manusia melawan salah satu ancaman tertua dalam sejarah: racun ular.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|