Mengapa Banjir Parah Terjadi di Pegunungan Papua?

1 day ago 4
  • Banjir besar di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua, sejak pertengahan hingga penghujung April lalu merendam ratusan kampung. Bencana ini jadi pengingat kondisi lingkungan hidup dan krisis iklim makin nyata. 
  • Subahari,  Kepala BMKG Wamena, mengatakan, banjir Lembah Baliem tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim. Indikasinya tak hanya curah hujan, juga dinamika parameter lain seperti suhu udara, kelembaban udara, dan cuaca berubah cukup ekstrem dari tahun-tahun.
  • Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Walhi Papua mengatakan, kondisi Wamena saat ini gambaran nyata dari kegagalan tata kelola lingkungan. Banjir ini,  harus menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa ekosistem Pegunungan Papua sedang mengalami tekanan serius.
  • Abner Mansai Ar, Plt. Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua menyebut,  banjir yang belakangan terjadi di Wamena, harus menjadi peringatan serius. Untuk itu, perlu penyusunan kebijakan baru yang berpihak pada perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, terutama dalam tata ruang dan daerah aliran sungai (DAS).

Banjir besar melanda wilayah Pegunungan Papua di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, sejak pertengahan hingga penghujung April lalu merendam ratusan kampung. Bencana ini jadi pengingat kondisi lingkungan hidup dan krisis iklim makin nyata.

“Banjir sebelumnya tidak begini. Yang besar baru 2025 ini. Saya sempat tanya orang-orang tua di sini mungkin dulu pernah ada seperti in, Mereka bilang dulu tidak ada. Banjir biasa saja. Kali ini dia banjir memang betul-betul besar,” kata Sonny Wammu, warga Kampung Maima, Distrik Maima, Kabupaten Jayawijaya, Papua 1 Mei lalu.

Rumah Sonny ikut terendam banjir. Dari Kampung Maima yang terletak di tepi timur Kali Baliem itu, mereka mengungsi ke perbukitan menghindari genangan air. Dalam pengamatan Sonny, banjir sudah mulai 17 dan 18  April. Banjir makin besar pada 26 hingga 28 April.

“Sekarang semua rumah masih tenggelam. Dalam Kampung Maima ada sekitar 17 keluarga yang rumahnya terendam. Rumah yang tinggi terendam, kebun sudah pasti. Danau langsung. Mau beraktivitas tidak bisa karena semua masih terendam banjir jadi masyarakat mau bikin apa-apa tidak ada.”

Kampung Maima,  satu dari 203 kampung di Kabupaten Jayawijaya yang terendam banjir. Kabupaten Jayawijaya,  ada di hamparan Lembah Baliem pada ketinggian 1.500–2.000 meter di atas permukaan laut. Lembah ini dikelilingi pegunungan Jayawijaya dengan tiga puncaknya yang diberi nama Puncak Trikora (4.750 m), Puncak Mandala (4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m).

Wilayah administrasi Kabupaten Jayawijaya terbagi menjadi 40 distrik. Sebanyak 203 kampung terendam banjir melingkupi 34 distrik.

“Distrik paling parah Maima, Pisugi, Libarek, Kurulu, Witawaya, Hubikiak, Musatfak, dan Usilimo,” kata Amos Asso, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayawijaya.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jayawijaya menunjukkan, 16.785 keluarga terdampak dan 832 jiwa terpaksa mengungsi.

“Curah hujan bulan ini paling tinggi dan sesuatu yang belum pernah terjadi di Kabupaten Jayawijaya.”

Hujan deras mengguyur wilayah pegunungan Papua pada 25 April 2025. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Wamena menunjukkan, curah hujan ini masuk kategori hujan lebat. Sebelumnya,  juga hujan sedang.

Distrik Maima, salah satu wilayah yang tergenang banjir. Foto: Dinas Lingkungan Hidup Jayawijaya

Dampak perubahan iklim

Subahari,  Kepala BMKG Wamena, mengatakan, banjir Lembah Baliem tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim. Indikasinya tak hanya curah hujan, juga dinamika parameter lain seperti suhu udara, kelembaban udara, dan cuaca berubah cukup ekstrem dari tahun-tahun.

“Dulu tahun 1990-an kalau kita lihat data rata-rata per tahun, masih bisa dapat suhu udara 10 derajat celcius saat musim kemarau. Beberapa tahun terakhir ini kalau dibuat dalam grafik meningkat sekitar dua derajat per tahun. Suhu normal biasa 14 atau 15,  sekarang suhu normal paling rendah 16 derajat celcius,” kata Subahari.

Penduduk Lembah Baliem adalah Orang Hubula yang sebagian besar mengandalkan pertanian dan peternakan sebagai sumber penghidupan. Sonny mengatakan,  banjir merusak lahan-lahan pertanian mereka hingga berisiko kesulitan pangan untuk manusia maupun ternak peliharaan,

BMKG menyatakan curah hujan di Lembah Baliem masih akan berlangsung sampai bulan ke delapan. “Perlu diwaspadai potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor khususnya di daerah rawan,” kata Subahari.

Walhi Papua menyatakan, banjir di di pegunungan ini bukan semata-mata karena faktor alam, melainkan gejala dari krisis ekologis. Krisis ini ditandai terus menurun kualitas dan fungsi lingkungan karena berbagai aktivitas tak ramah lingkungan.

Maikel Peuki, Direktur Eksekutif Walhi Papua mengatakan, perubahan tutupan lahan, deforestasi masif, alih fungsi hutan, serta lemahnya pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan yang merusak di Papua, menjadi pemicu utama kerentanan Wamena terhadap bencana.

Bencana ini, katanya,  tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik pada permukiman dan infrastruktur, juga mengguncang kedaulatan pangan lokal.

“Wamena saat ini berada dalam kondisi krisis ekologis. Ini bukan lagi bencana biasa, melainkan sinyal keras alam Papua sedang rusak. Kami menyerukan kepada masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan, dan kepada pemerintah agar menghentikan pola pembangunan yang eksploitatif,” katanya kepada Mongabay, 14 Mei lalu.

Maikel mengatakan, kondisi Wamena saat ini gambaran nyata dari kegagalan tata kelola lingkungan. Banjir ini,  harus menjadi peringatan keras bagi semua pihak bahwa ekosistem Pegunungan Papua sedang mengalami tekanan serius.

“Jika tidak ada perubahan dalam pola pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam, maka kejadian serupa bukan tidak mungkin akan terus berulang dengan skala kerusakan yang lebih besar,” ucap Maikel.

Walhi Papua menggarisbawahi dampak luas yang timbul oleh banjir, terutama aspek kedaulatan pangan lokal. Sebagian besar masyarakat di Wamena masih bergantung pada pertanian subsisten dan hasil hutan sebagai sumber pangan utama.

Dengan kerusakan lahan pertanian, sistem irigasi alami terganggu, serta produktivitas kebun turun, katanya, risiko krisis pangan pun makin mengancam.

Dalam jangka pendek, ketersediaan bahan pangan tradisional seperti ubi, sayuran lokal, dan hasil hutan non-kayu dapat menurun drastis. Kondisi ini, akan berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama anak-anak dan kelompok rentan.

Pemukiman warga di Distrik Pisugi yang terendam banjir. Foto oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jayawijaya. Foto: Dinas Lingkungan Hidup Jayawijaya

Dia bilang, kondisi ini menjadi lebih kompleks karena dalam situasi bencana, kelompok yang selama ini termarjinalkan seringkali menjadi pihak paling terdampak.

Menurut dia, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia sering kali memiliki akses terbatas terhadap bantuan, informasi, dan mekanisme pemulihan.

Keadilan ekologis, katanya,  tidak lepas dari keadilan sosial hingga pendekatan inklusif dan berkeadilan sangat penting dalam setiap respons dan kebijakan pemerintah.

Walhi Papua mendesakkan beberapa tuntutan kepada Pemerintah Papua Pegunungan dan Pemerintah Jayawijaya. Pertama, perlu evaluasi menyeluruh kebijakan tata ruang dan arah pembangunan yang berdampak pada ekosistem lokal.

“Pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hanya akan memperparah kondisi ekologis yang sudah kritis.”

Kedua, setop semua proyek pembangunan yang berisiko merusak lingkungan sementara waktu. Pemerintah juga perlu audit lingkungan terbuka dan partisipatif, melibatkan masyarakat adat, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dalam proses penilaiannya.

“Ini penting untuk memastikan, setiap kebijakan pembangunan benar-benar berpihak pada keberlanjutan dan kesejahteraan jangka panjang.”

Ketiga, perlu penyusunan rencana pemulihan ekologi yang inklusif. Rencana ini, katanya,  harus melibatkan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah secara kultural dan ekologis, serta mengutamakan kebutuhan kelompok rentan. Masyarakat lokal,  bukan hanya sebagai penerima manfaat, juga pengambil keputusan dalam upaya pemulihan dan perlindungan wilayahnya.

Keempat, bantuan kemanusiaan seperti pangan, air bersih, dan layanan kesehatan bisa terjangkau seluruh kelompok terdampak, terutama perempuan dan anak-anak. Akses setara terhadap bantuan, katanya,  merupakan bagian dari pemenuhan hak dasar warga negara dalam situasi krisis.

Seorang ibu dan anaknya menggunakan perahu di tengah pemukiman untuk menghindari banjir. Foto: Dinas Lingkungan Hidup Jayawijaya

Abner Mansai Ar, Plt. Sekretaris Eksekutif Forum Kerjasama (Foker) LSM Papua menyebut,  banjir yang belakangan terjadi di Wamena, harus menjadi peringatan serius. Untuk itu, perlu penyusunan kebijakan baru yang berpihak pada perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, terutama dalam tata ruang dan daerah aliran sungai (DAS).

Dia bilang, hujan memang memicu banjir Wamena  tetapi intensitas hujan tidak dapat dilihat terpisah dari dinamika perubahan iklim.

Walau Wamena tak ada aktivitas industri skala besar atau alih fungsi lahan masif, katanya, bencana ini sebagai dampak tak langsung dari pembangunan eksploitatif di daerah lain. Bencana ini, katanya, harus menjadi peringatan dini bagi pemerintah daerah dan masyarakat agar mulai menyusun langkah antisipatif sebelum kerusakan lingkungan lebih parah.

Abner menyoroti, rencana jadikan Kabupaten Jayawijaya sebagai ibu kota provinsi Papua Pegunungan. Status baru ini, katanya,  akan membawa peluang sekaligus tantangan besar.

Sebagai titik konsentrasi penduduk dan pusat pemerintahan, Jayawijaya berpotensi mengalami lonjakan pembangunan, migrasi penduduk, dan tekanan terhadap sumber daya alam.

“Wilayah ini akan menjadi pusat pertumbuhan baru di Tanah Papua. Jika tidak dirancang secara hati-hati, akan terjadi tekanan terhadap hutan, air, dan wilayah resapan. Karena itu, kebijakan tata ruang dan lingkungan menjadi hal mutlak yang harus segera dipikirkan,” katanya.

Dia menekankan pentingnya penataan wilayah yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek krusial, kata Abner, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang mencakup perlindungan hulu, rehabilitasi vegetasi, dan pengendalian aliran permukaan.

Meskipun Papua Pegunungan dan Kabupaten Jayawijaya masih tergolong baru, Abner berharap,  ada keseriusan para pengambil kebijakan untuk tak mengulang kesalahan masa lalu di wilayah lain, di mana pembangunan berlangsung cepat tanpa pertimbangan lingkungan.

“Saya berharap ada intervensi dari sisi kebijakan, bukan hanya reaktif terhadap bencana, tetapi proaktif untuk membangun sistem tata kelola lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Kita tidak boleh menunggu sampai kerusakan sudah tidak bisa diperbaiki.”

Dia mendorong, partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam penyusunan kebijakan itu. Kearifan lokal masyarakat Papua, katanya,  terbukti mampu menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Untuk itu, perencanaan pembangunan dengan pendekatan bottom-up berbasis pengetahuan dan pengalaman masyarakat.

Distrik Maima, salah satu wilayah yang tergenang banjir. Foto: Dinas Lingkungan Hidup Jayawijaya

******

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|