- Laporan Primates in Peril 2023–2025 mengungkapkan 25 spesies primata paling terancam punah di dunia, dengan hanya tersisa puluhan hingga ratusan individu di alam liar.
- Empat spesies berasal dari Indonesia, termasuk orangutan Tapanuli dan tarsius Sangihe, yang menghadapi ancaman serius akibat deforestasi, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur.
- Meski situasinya genting, beberapa kisah sukses menunjukkan bahwa konservasi bisa berhasil jika melibatkan masyarakat lokal, penegakan hukum, dan dukungan pendanaan jangka panjang.
Dunia tengah menghadapi krisis keanekaragaman hayati yang kian mendalam, dan primata menjadi kelompok yang paling terdampak. Laporan kolaboratif dari para ilmuwan global mengungkapkan bahwa 25 spesies primata kini berada di ambang kepunahan. Banyak dari mereka hanya tersisa puluhan hingga ratusan individu di alam liar, menjadikan nasib mereka sangat rentan. Tanpa intervensi konservasi yang cepat dan terukur, spesies-spesies ini bisa menghilang dalam satu dekade mendatang.
Primates in Peril 2023–2025, diterbitkan oleh IUCN SSC Primate Specialist Group, International Primatological Society, dan Re:wild, memuat hasil penelitian lebih dari 100 pakar primata. Ini merupakan edisi ke-12 dari daftar dua tahunan yang mengidentifikasi spesies primata paling membutuhkan tindakan konservasi. Dalam edisi terbaru ini, 15 nama diganti dengan spesies lain yang menghadapi ancaman serupa, bukan karena kondisi spesies sebelumnya membaik, melainkan agar sorotan publik dan ilmiah bisa merata.
Empat Spesies dari Indonesia Masuk Daftar
Indonesia menjadi satu dari dua negara—bersama Madagaskar—yang tercatat menyumbangkan empat spesies dalam daftar. Spesies-spesies tersebut menjadi simbol darurat konservasi tropis:
-
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) – Populasinya hanya sekitar 767 individu, menjadikannya kera besar paling langka di dunia. Hidup terbatas di ekosistem hutan Batang Toru, Sumatra Utara, spesies ini terus kehilangan habitat akibat pembangunan PLTA dan aktivitas pertambangan. Kini, mereka hanya menempati sekitar 2,5% dari wilayah jelajah aslinya pada abad ke-19.
-
Langur buntut babi Mentawai (Simias concolor) – Primata endemik Kepulauan Mentawai ini mengalami penurunan populasi yang signifikan akibat deforestasi dan pembukaan lahan. Habitatnya semakin terfragmentasi dan di banyak wilayah kini sulit ditemukan.
-
Langur belang Kalimantan (Presbytis chrysomelas) – Ditemukan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, langur ini sangat tergantung pada hutan dataran rendah. Penebangan liar dan ekspansi pertanian skala besar menjadi ancaman utama, ditambah kurangnya perlindungan habitat yang efektif.

-
Tarsius Sangihe (Tarsius sangirensis) – Spesies mungil ini hanya ditemukan di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara. Dengan wilayah jelajah yang sangat terbatas dan tekanan dari konversi lahan, tarsius ini menghadapi risiko tinggi kehilangan habitat secara total.
Ancaman Utama yang Dihadapi Spesies Terancam
Meskipun berasal dari empat benua berbeda—Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Madagaskar—semua primata dalam daftar menghadapi ancaman yang mirip: perusakan habitat, perburuan, perdagangan ilegal, dan tekanan iklim. Penebangan hutan untuk pertanian, tambang, dan proyek infrastruktur menjadi penyebab utama menurunnya populasi.
Baca juga: Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya
Tapanuli Orangutan (Pongo tapanuliensis) | Indonesia (Sumatra) | Populasi hanya sekitar 767 individu; kera besar paling langka; terancam oleh pembangunan PLTA dan pertambangan di Batang Toru. |
Langur Buntut Babi Mentawai (Simias concolor) | Indonesia (Kepulauan Mentawai) | Endemik Mentawai; terancam oleh deforestasi dan fragmentasi habitat; populasinya terus menurun. |
Langur Belang Kalimantan (Presbytis chrysomelas) | Indonesia, Brunei, Malaysia | Terancam oleh illegal logging dan konversi lahan; sangat tergantung pada hutan dataran rendah Kalimantan. |
Tarsius Sangihe (Tarsius sangirensis) | Indonesia (Sangihe, Sulawesi) | Populasi sangat kecil; habitat sangat terbatas; rentan terhadap perubahan penggunaan lahan dan deforestasi. |
Gorila Cross River (Gorilla gorilla diehli) | Nigeria, Kamerun | Kurang dari 250 individu; habitat terfragmentasi; konflik politik dan perburuan memburuk sejak 2016. |
Madame Berthe’s Mouse Lemur (Microcebus berthae) | Madagaskar | Primata terkecil di dunia (30 gram); populasi turun 80% dalam 10 tahun; tidak ada di penangkaran. |
Cao-vit Gibbon (Nomascus nasutus) | Vietnam, China | Populasi hanya sekitar 90 ekor; sempat dianggap stabil, tapi data terbaru menunjukkan kekeliruan estimasi. |
Di Afrika Barat, Gorila Cross River hanya tersisa kurang dari 250 ekor dewasa yang hidup terpencar di 11 situs hutan kecil di perbatasan Nigeria dan Kamerun. Di Madagaskar, Microcebus berthae terakhir, tanpa ada cadangan populasi di penangkaran. Sedangkan di Asia Tenggara daratan, Siamang Cao-vit kini hanya tersisa sekitar 90 individu, setelah sebelumnya sempat diperkirakan lebih dari 100 karena kesalahan survei.
Penyebab Penurunan Populasi Primata
Penyebab utama kepunahan primata sangat konsisten: deforestasi, hilangnya koridor ekologi, dan konflik manusia-satwa. Di Indonesia, misalnya, pembangunan PLTA Batang Toru berdampak langsung pada habitat orangutan Tapanuli—satu-satunya tempat mereka hidup. Fragmentasi hutan menyebabkan populasi menjadi terisolasi, menghambat proses reproduksi alami.

Di sisi lain, lemur-lemur Madagaskar menghadapi tekanan dari sistem pertanian tavy (ladang berpindah), yang mempercepat degradasi hutan kering. Bahkan di beberapa kawasan lindung sekalipun, seperti Kirindy Forest, populasi satwa menurun drastis karena lemahnya pengawasan dan dampak perubahan iklim yang memperburuk kondisi vegetasi.
Baca juga: Tarsius, Si Imut Nan Misterius
Peluang Konservasi di Indonesia
Meski Indonesia menjadi salah satu pusat krisis primata, negara ini juga menyimpan peluang besar untuk keberhasilan konservasi. Beberapa komunitas lokal di Kepulauan Mentawai dan Sulawesi telah terlibat dalam program pelestarian berbasis masyarakat. Selain itu, dukungan NGO dan pengakuan hukum terhadap hutan adat menjadi fondasi penting untuk solusi jangka panjang.
Laporan ini menekankan bahwa keberhasilan konservasi selalu bertumpu pada tiga pilar: partisipasi lokal, penegakan hukum yang tegas, dan pendanaan jangka panjang. Tanpa ketiganya, segala bentuk perlindungan hanya akan bersifat sementara.
Tidak semua isi laporan ini bersifat suram. Beberapa kisah menunjukkan keberhasilan nyata. Di Vietnam dan Tiongkok, kerja sama lintas negara berhasil menciptakan kawasan lindung baru bagi siamang Cao-vit dan memperkerjakan warga lokal sebagai penjaga hutan. Di Nigeria, kamera jebak berhasil menangkap gambar bayi gorila Cross River—bukti bahwa konservasi bisa berhasil jika habitat dipulihkan dan jerat dihilangkan.
Seperti disampaikan dalam laporan Primates in Peril, daftar ini bukanlah daftar kematian. Ini adalah peta jalan untuk penyelamatan spesies, dan bagaimana dunia bereaksi terhadapnya akan menentukan apakah kita memilih aksi atau sekadar mengenang. Kita masih memiliki waktu—tetapi tidak banyak.