- Perusahaan sawit Indonesia, PT Equator Sumber Rezeki (ESR), yang merupakan bagian dari First Borneo Group, mulai membuka lahan di habitat kritis orangutan di Provinsi Kalimantan Barat, mengancam hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) serta kelangsungan hidup orangutan kalimantan yang terancam punah.
- Meskipun pembukaan lahan baru berlangsung sebagian, para konservasionis memperingatkan bahwa ESR berencana melakukan ekspansi besar-besaran, yang dapat menyebabkan hilangnya hutan hingga 10.000 hektar (sekitar 25.000 akre), serta mengancam keanekaragaman hayati Indonesia.
- First Borneo Group memiliki rekam jejak panjang dalam deforestasi skala besar melalui berbagai anak perusahaannya. Hal ini mendorong pembeli sawit skala besar seperti Nestlé dan Musim Mas untuk menghentikan atau memutus pasokan dari grup tersebut, meski beberapa perusahaan masih terhubung melalui rantai pasok.
- Kelompok lingkungan menyerukan penghentian segera pembukaan lahan oleh ESR, melakukan audit ekologis menyeluruh, dan tindakan cepat perusahaan yang masih mengambil pasokan dari First Borneo Group untuk mencegah bencana ekologis bagi orangutan dan hutan di wilayah tersebut.
Sebuah perusahaan sawit yang bersiap memperluas operasinya ke habitat orangutan di Kalimantan, memicu kekhawatiran kelangsungan hidup kera besar berstatus sangat terancam punah ini.
PT Equator Sumber Rezeki (ESR), anak perusahaan First Borneo Group yang berbasis di Jakarta, termasuk salah satu pelaku deforestasi paling aktif dalam industri sawit di Indonesia. ESR baru-baru ini mulai membuka hutan di konsesinya seluas 15.000 hektar (setara 37.000 akre), di Kalimantan Barat.
Analisis kelompok kampanye berbasis di Amerika Serikat, Mighty Earth, menemukan bahwa lebih dari 200 hektar (sekitar 500 akre) hutan telah dibuka di bagian barat konsesi ESR antara Agustus 2024 hingga Februari 2025.

Terdapat indikasi bahwa ESR berencana membuka hutan lebih luas lagi. Saat ini, perusahaan dalam proses memetakan batas pasti konsesinya —yang mencakup wilayah seluas kota Washington, D.C.— dan melakukan survei lahan untuk mencocokkan kondisi fisik lapangan dengan batas-batas hukum, dalam proses yang dikenal sebagai pendaftaran tanah (kadaster).
Proses ini biasanya menjadi tahapan sebelum diterbitkannya izin yang dikenal sebagai hak guna usaha (HGU), yaitu izin terakhir dalam rangkaian perizinan yang dibutuhkan sebelum pembukaan lahan besar-besaran dan kegiatan perkebunan dimulai.
Masalahnya, konsesi ESR sebagian besar terdiri hutan utuh yang berkualitas tinggi.
Meskipun First Borneo Group belum pernah melakukan penilaian resmi, para konservasionis memperkirakan bahwa sekitar 80% konsesi ESR memenuhi kriteria sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (NKT). Hal ini disebabkan wilayah tersebut tumpang tindih dengan habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) yang sangat terancam punah.
Berdasarkan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) yang disusun tim primatolog dan Pemerintah Indonesia, seperempat dari konsesi ESR —seluas 3.827 hektar (9.457 akre)—berada di habitat orangutan.
Antara Januari 2024 hingga Maret 2025, sebanyak 27 hektar (67 akre) wilayah ini telah dibuka, yang setara gabungan luas sekitar 20.000 area parkir mobil.

Meskipun pembukaan lahan sejauh ini tergolong kecil, namun aktivitas tersebut menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup orangutan di wilayah, menurut Amanda Hurowitz, pimpinan komoditas hutan di Mighty Earth.
“Ekspansi ke habitat penting orangutan sangat tidak dapat diterima, merusak lingkungan alami dan menyulitkan orangutan untuk mencari makan, tempat tinggal, dan pasangan,” katanya kepada Mongabay.
Kegiatan ini juga mengancam hutan hujan yang tersisa di dalam konsesi. Para konservasionis memperkirakan hingga 10.000 hektar (hampir 25.000 akre) hutan dapat hilang jika pembukaan lahan terus berlanjut sesuai rencana.
Andi Muttaqien, Direktur LSM Satya Bumi, menyebut rencana pembukaan hutan oleh ESR sebagai sesuatu yang “sangat mengkhawatirkan.” Ia menekankan bahwa pembukaan hutan di dalam kawasan NKT dan habitat spesies dilindungi jelas bertentangan dengan prinsip keberlanjutan serta komitmen Indonesia terhadap keanekaragaman hayati dan konservasi hutan. Termasuk, target menjadikan hutan sebagai penyerap karbon bersih/carbon net sink pada 2030, melalui pengendalian deforestasi dan reforestasi.
Andi juga mempertanyakan alasan pemerintah menetapkan konsesi ESR sebagai kawasan bukan hutan, sebuah status tata ruang yang memungkinkan pembangunan komersial meskipun masih terdapat tutupan hutan alam.
Dilaporkan bahwa perubahan status ini disetujui pemerintah pada tahun 2000. Menurut Andi, jika pemerintah kini melanjutkan dengan memberikan izin HGU kepada ESR untuk membuka hutan konservasi tinggi dalam konsesi tersebut, maka pemerintah telah gagal total dalam menjalankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan lingkungan.
Dia menyerukan kepada pemerintah untuk segera menghentikan proses pengajuan HGU, melakukan audit ekologi menyeluruh terhadap konsesi ESR, dan meninjau kembali kelayakan tata guna lahan di wilayah tersebut.
“Kegiatan semacam ini harus dihentikan sebelum menimbulkan kerusakan lebih lanjut terhadap ekosistem Kalimantan Barat dan memperparah krisis deforestasi serta iklim,” ujar Andi kepada Mongabay.
Dia juga menambahkan bahwa First Borneo Group harus segera menghentikan seluruh aktivitas pembukaan lahan dan melakukan penilaian NKT secara independen dan transparan. Langkah ini sangat penting untuk melindungi habitat orangutan dan kawasan NKT di konsesi ESR secara menyeluruh, kata Andi.
Mongabay telah menghubungi First Borneo Group untuk meminta tanggapan, namun hingga artikel ini diterbitkan, perusahaan tersebut belum memberikan jawaban.

Sejarah deforestasi
Risiko lingkungan dari ekspansi ESR semakin besar mengingat rekam jejak deforestasi First Borneo Group. Anak-anak perusahaannya secara konsisten dikaitkan dengan kehilangan hutan di berbagai konsesi dan tercatat sebagai salah satu kontributor utama deforestasi terkait sawit, menunjukkan pola ekspansi agresif yang mengorbankan ekosistem hutan.
Mighty Earth melaporkan bahwa mereka mendeteksi 2.650 hektar (6.548 akre) deforestasi terintegrasi antara Maret 2023 hingga Maret 2025 di konsesi PT Borneo International Anugerah (BIA), anak perusahaan First Borneo Group. Angka ini menjadikannya sebagai tingkat deforestasi tertinggi untuk sektor sawit di Indonesia periode 2023–2024.
Mighty Earth juga mencatat terjadinya deforestasi seluas 600 hektar (1.483 akre) pada paruh pertama 2022 di konsesi BIA, menjadikan perusahaan tersebut sebagai pelaku berulang atas pembukaan hutan skala besar dan berkelanjutan, selama beberapa tahun.
Selain itu, Mighty Earth melaporkan adanya 750 hektar (1.853 akre) deforestasi terintegrasi antara Maret 2023 hingga Maret 2025 di konsesi anak perusahaan First Borneo Group lainnya, yakni PT Arjuna Utama Sawit (AUS).
Semua temuan ini mengonfirmasi bahwa beberapa anak usaha First Borneo secara aktif melakukan ekspansi, menimbulkan kekhawatiran bahwa ESR kemungkinan besar akan mengikuti jejak yang sama, menurut para pengawas lingkungan.
Risiko dalam rantai pasok
Sebagai respons terhadap deforestasi yang terus terjadi di berbagai konsesi First Borneo Group, sejumlah besar pembeli minyak sawit, termasuk perusahaan seperti Musim Mas dan Golden Agri-Resources (GAR), dengan cepat mengambil langkah untuk menghentikan pembelian dari grup tersebut.
Setidaknya enam perusahaan — Fuji Oil, Mewah, LDC, Permata, Nestlé, dan Barry Callebaut — telah mengonfirmasi kepada Mighty Earth bahwa First Borneo Group telah dimasukkan dalam daftar hitam mereka. Sementara itu, 15 perusahaan lainnya, seperti Wilmar, Apical, Hershey, dan Pepsi, menyatakan bahwa mereka tidak mengambil pasokan dari grup tersebut.
Namun demikian, beberapa perusahaan masih mencantumkan anak usaha First Borneo Group, AUS, dalam daftar pabrik penggilingan terbaru mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk produsen biofuel seperti Avril, Indorama, Oleon, Sakamoto Yakuhin Kogyo, Stearinerie Dubois, dan VVF, serta merek barang konsumen seperti Avon, Barry Callebaut, Beiersdorf, General Mills, Grupo Bimbo, Lion Corporation, Meiji, Mondelēz, Nestlé, P&G, PZ Cussons, Reckitt Benckiser, dan Unilever.
Artinya, terdapat risiko tinggi bahwa rantai pasok global untuk produk-produk seperti pasta gigi Crest hingga biskuit Oreo dapat tercemar oleh praktik deforestasi.
First Borneo Group juga terhubung melalui rantai pasok dengan PT Samboja Inti Perkasa, anggota Damai Group, yang menurut laporan Mighty Earth memasok ke sejumlah merek global besar seperti Nestlé, Mondelēz, Colgate-Palmolive, dan lainnya.
“Kami telah mengirim surat kepada perusahaan-perusahaan yang mengambil pasokan dari Damai Group, termasuk perusahaan perdagangan seperti AAK, Cargill, dan Wilmar, untuk meminta intervensi segera dalam kasus ini,” kata Hurowitz.

Untuk menghapus risiko deforestasi dari rantai pasok global yang berasal dari minyak sawit Indonesia, para pembeli harus segera meninjau kembali hubungan bisnis mereka dengan perusahaan-perusahaan di bawah First Borneo Group, ujar Andi. Ia menambahkan, situasinya sangat mendesak mengingat orangutan kalimantan kini berada di ambang kepunahan di alam liar.
Populasi orangutan Kalimantan telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan hampir 150.000 individu hilang antara 1999 hingga 2015. Pada 2016, diperkirakan hanya tersisa 9.210 orangutan di Kalimantan Barat, wilayah yang terdapat konsesi First Borneo Group.
Konsesi ESR tampaknya tumpang tindih dengan dua metapopulasi orangutan, yaitu di Taman Nasional Betung Kerihun yang menjadi habitat bagi 1.790 orangutan, dan Danau Sentarum yang menampung sekitar 680 individu. Artinya, bahkan gangguan kecil terhadap habitat ini dapat berdampak besar terhadap proporsi populasi global spesies tersebut, ujar Andi.
Jika ESR tetap melanjutkan rencana ekspansinya, “Bencana ekologis tidak akan terhindarkan” papar Andi.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 29 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Studi: Deforestasi Ancaman Serius Kehidupan Orangutan Kalimantan