- Naiknya harga kopi di pasaran global dan Indonesia, bukan hanya meningkatkan kesejahteraan petani. Juga hadirnya ancaman perambahan hutan untuk dijadikan kebun.
- Berdasarkan pemantauan Mongabay Indonesia, terlihat adanya pembukaan kebun kopi baru di kawasan hutan di sekitar Gunung Raya dan Gunung Seminung, di Sumatera Selatan dan Lampung. Gunung Raya merupakan habitat gajah sumatera, harimau sumatera, dan beragam jenis kucing hutan.
- Berdasarkan pencitraan satelit oleh Wilayah 2 Balai TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan), saat ini terdapat sekitar 1.190 bangunan semi permanen di Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS). Suoh dan BNS adalah kawasan di TNBBS.
- Meskipun harga kopi naik, tapi selama 10 tahun terakhir produksi kopi mengalami penurunan. Penyebabnya, karena cuaca atau musim yang tidak menentu.
Hampir setahun, harga kopi mengalami kenaikan, baik global maupun di Indonesia. Kenaikan ini memberi dampak baik bagi kesejahteraan petani kopi di Sumatera Selatan dan Lampung. Tapi, kenaikan harga kopi juga mengancam kawasan hutan, sebab banyak hutan dibuka dijadikan kebun.
Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia sepekan, pada sejumlah wilayah penghasil kopi di Sumatera Selatan dan Lampung, ditemukan sejumlah titik kawasan hutan perbukitan yang dibuka untuk dijadikan kebun kopi. Misalnya, di kawasan Gunung Raya dan Gunung Seminung.
Di wilayah Gunung Raya, yang berbatasan dengan kawasan Margasatwa Gunung Raya, serta kaki Gunung Seminung yang masuk Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS), Sumatera Selatan, dan Lampung Barat, Lampung, kebun kopi dibuka di lereng perbukitan dengan kemiringan rerata 80-90 derajat.
“Yang banyak membuka kebun baru ini umumnya para pendatang. Sementara warga lokal kebanyakan mengubah tanaman, misalnya dari alpukat menjadi kopi,” kata Leno (36), warga Desa Kuto Batu, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten OKUS, Sabtu (3/5/2025).
Baca: Kopi Tapia, Simbol Kepedulian Masyarakat Penukal Terhadap Hutan

Dua tahun lalu, ketika harga kopi (green bean) kisaran Rp15 ribu per kilogram, banyak petani yang berkebun di kaki Gunung Seminung mengganti tanaman kopinya dengan alpukat atau lada. Tapi, ketika harga kopi yang saat ini mencapai Rp70-75 ribu per kilogram, justru sebaliknya, banyak yang menebang alpukat menjadi kopi.
“Di sini, tidak ada yang mengubah tanaman alpukat menjadi kopi. Memang ada warga yang membuka lahan baru untuk kebun kopi, dengan lokasi lebih tinggi,” kata Muslim (39), warga Pekon Lombok, Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat.
Hasil alpukat di sini lumayan baik. Dijual setiap hari dengan kisaran harga Rp15-35 ribu per kilogram, yang tergantung ukuran.
“Warga di sini juga mendapatkan penghasilan dari kopi, sebab kebun di sini tumpang sari atau campuran. Ada alpukat, kopi, dan lada.”
Gunung Seminung yang tingginya 1.880 meter dari permukaan laut berada di Kecamatan Sukau, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, dengan Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten OKUS, Sumatera Selatan. Sebagian besar gunung ini berada di tepi Danau Ranau.
Danau Ranau yang luasnya sekitar 12.590 hektar, merupakan danau terbesar kedua di Pulau Sumatera. Danau ini terbentuk dari proses tektonik dan vulkanik sekitar 55 ribu tahun lalu. Letusan gunung berapi purba dan gempa bumi besar membentuknya.
Gunung Seminung bagian dari TNBBS (Taman Nasional Bukit Barisan Selatan) yang merupakan habitat bagi sejumlah satwa khas Sumatera, khususnya beragam jenis kucing, baik kecil dan besar, seperti harimau.
Foto: Kopi adalah Identitas Suku Semende

Pembukaan lahan baru untuk kebun kopi, juga terlihat di sejumlah wilayah perbukitan yang berbatasan dengan Suaka Margasatwa Gunung Raya, Kabupaten OKUS.
“Banyak yang buka kebun sejak harga kopi melambung,” kata Erwin (39), warga Desa Perikan Tengah, Kecamatan Gunung Raya.
“Bahkan harga kebun kopi yang sebelumnya kisaran Rp200 juta untuk seribu meter persegi kini melambung hingga Rp500 juta,” katanya.
Gunung Raya yang luasnya 50.950 hektar merupakan wilayah dataran tinggi di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan, yang terkoneksi dengan Gunung Pesagi [Sumatera Selatan-Lampung], Bukit Sigigok, dan Sukau [Sumatera Selatan-Lampung].
Lanskapnya berupa ekosistem hutan hujan tropis, berbukit, dengan ketinggian antara 500-1.643 meter dari permukaan laut (mdpl). Sejak 2001, Gunung Raya ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa melalui Kepmen Menhut No.76/Kpts-II/2001.
Gunung Raya merupakan habitat bagi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera, dan beragam jenis kucing hutan.
Baca: Bisakah Indonesia Kuasai Pasar Kopi Dunia?

Perambahan di Bukit Barisan
Perambahan di wilayah Bukit Barisan, termasuk di lanskap Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Perambahan ini umumnya untuk pembukaan kebun kopi. Misalnya, perambahan kawasan Suoh dan Bandar Negeri Suoh (BNS), Lampung Barat, Lampung.
Dikutip dari Kompas.com, Sanandre Jatmiko, Kepala Bidang Wilayah 2 Balai TNBBS, menjelaskan berdasarkan pencitraan satelit untuk kawasan Suoh dan BNS, terdapat bangunan semi-permanen di dalam kawasan hutan.
“Totalnya mencapai 1.190 rumah yang menyebar di beberapa titik lokasi. Diperkirakan sebanyak 4.517 orang menetap di kawasan tersebut,” terangnya, Senin (28/4/2025).
Perambahan ini diduga meningkatkan konflik manusia dengan harimau sumatera. Setahun terakhir, tercatat empat orang tewas diterkam harimau di wilayah Suoh dan BNS.
“Kami sudah membuka hutan di kawasan Bukit Barisan untuk dijadikan kebun jauh sebelum pemerintah menetapkannya sebagai taman nasional. Jadi secara adat, Bukit Barisan adalah wilayah hidup kami,” kata Napawi (45), warga Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, awal Mei 2025.
Saat membuka hutan, kami tidak sembarang. Ada aturannya. Pertama, kawasan itu bukan tempat hidup atau jalur harimau dan gajah. Kedua, lahannya dekat air dan cenderung datar atau kemiringannya tidak terlalu tajam. Ketiga, selama berkebun di sekitar hutan, kami wajib bersikap santun, menjaga moral, serta tidak mengganggu hewan di hutan.
“Alhamdulillah kami, jeme (orang) Semende jarang berkonflik dengan harimau dan gajah,” lanjut Napawi yang memiliki kebun kopi seluas tiga hektar di Semende Darat Tengah.
Baca juga: Kopi Arabika dan Kelestarian Hutan Batang Toru

Anomali cuaca
Naiknya harga kopi ternyata tidak sebanding dengan produksi 10 tahun terakhir.
“Tahun 2014 saya panen kopi sekitar dua ton. Produksinya terus menurun dan saat ini saya baru dapat 300 kilogram,” kata Suparto (55), Warga Desa Way Wangi Seminung, Kecamatan Warkuk Ranau Selatan, Kabupaten OKUS.
Penyebabnya, kata Suparto, tanaman kopinya di kebun seluas satu hektar terganggu cuaca tidak menentu. “Saat bunga tumbuh di musim kemarau, tiba-tiba turun hujan yang menyebabkan gugur.”
Begitu pun sebaliknya, saat buah kopi membutuhkan air, justru hujan jarang datang di musim penghujan.

Bahkan, kata Erwin (39), warga Desa Perikan Tengah, Kecamatan Gunung Raya, kebun kopinya seluas enam hektar pada 2018-2020 tidak berbunga. “Penyebabnya, karena musim penghujan dan kemarau yang tidak jelas.”
Padahal pada 2008, kebun kopinya dapat menghasilkan 10 ton kopi. “Naiknya harga, sebetulnya membayar kekecewaan kami.”
Sejak 2020, akibat menurunnya produksi dan harga kopi, membuat banyak warga di Buana Pemaca, OKUS, mengubah kebun kopinya dengan tanaman lain. Misalnya, jagung.
“Saat harga kopi naik seperti sekarang, banyak juga yang kecewa. Tapi rezeki dari jagung cukup menjanjikan untuk jangka panjang,” kata Roni (38), warga Damarpura, Kecamatan Buana Pemaca, yang memiliki kebun seluas tiga hektar.