Kawanan Lumba-lumba Muncul di Pulau Pramuka, Tanda Lingkungan Sehat?

3 weeks ago 41
  • Kawanan lumba-lumba terlihat di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta yang direkam petugas DLH Jakarta.
  • Interaksi lumba-lumba dengan kapal dianggap alami dan positif oleh pakar, namun pengejaran intensif dalam ekowisata bisa menyebabkan mamalia laut ini
  • Kehadiran lumba-lumba tidak sepenuhnya menandakan perbaikan kualitas laut, karena faktor utama mereka adalah ketersediaan pakan, bukan kebersihan air.
  • Penelitian tentang populasi lumba-lumba di Kepulauan Seribui penting dilakukan, terutama untuk memahami tren populasi dan dampak lingkungan terhadap kehidupan mereka.

Kawanan lumba-lumba terlihat di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Kehadiran mereka direkam awak Kapal Sampah Samtama 6, yang juga dikenal ‘pasukan oranye’ Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta.

Asep Kuswanto, Kepala Dinas DLH Jakarta mengatakan kehadiran lumba-lumba tersebut mencerminkan keberhasilan upaya perbaikan lingkungan laut. Langkah-langkah seperti pengelolaan sampah dan pembersihan perairan mulai menunjukkan hal positif.

Menurutnya, lumba-lumba dikenal mempunyai kepekaan tinggi terhadap kondisi lingkungan, sehingga kehadiran mereka menunjukkan tanda yang menggembirakan.

“Ini merupakan indikator positif,” jelasnya, keterangan resminya, di Jakarta, Jumat (10/1/2025).

Baca: Tidak Hanya Pariwisata, Kondisi Lingkungan Pulau Pramuka Harus Diperhatikan

Lumba-lumba jenis hidung botol yang terpantau di perairan Malang, Jawa Timur. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Direktur Kampanye Dolphin Project di Indonesia Femke Den Haas, menjelaskan bahwa interaksi tersebut merupakan hal positif bila dibandingkan dengan orang yang melihat pertunjukan lumba-lumba di kolam renang atau di captive.

Lumba-lumba, secara alami suka bermain dengan arus dan ombak. Mereka, sering mendekati kapal untuk bermain, bukan karena dipaksa atau dikejar.

“Itu perilaku yang sangat normal,” ucapnya kepada Mongabay, Jumat (10/1/2025).

Meski begitu, Femke mengingatkan bahaya ekowisata, seperti yang sering terjadi di Lovina, Bali, yaitu lumba-lumba dikejar puluhan kapal setiap hari.

Menurutnya, ada pengendali perahu yang memahami aturan jaga jarak. Namun, tidak jarang ada yang kelewat batas, memaksa mendekat demi mendapatkan gambar.

“Ini tidak baik untuk lumba-lumba. Mereka butuh waktu istirahat dan jika terus dikejar menyebabkan stres,” katanya.

Baca: Pulau Pramuka, Bukan Objek Wisata Menyelam Semata

Kondisi perairan laut di Jakarta yang tercemar sampah plastik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Bukan Fenomena Baru

Femke berpandangan, kemunculan lumba-lumba di Kepulauan Seribu bukanlah fenomena baru. Ia memastikan, ini jenis hidung botol (Tursiops). Menurutnya, di kepulauan yang memiliki 110 pulau ini merupakan habitat alaminya.

“Kami telah bekerja di kawasan ini sejak 2004 dan sering menemukan mereka, terutama saat berburu ikan mengikuti arus laut.”

Lumba-lumba di Kepulauan Seribu, kerap mengikuti jalur migrasi ikan yang menjadi sumber makanan utama. Ini mencerminkan karakternya yang sangat adaptif, bergerak mengikuti musim ikan. Namun, apakah mereka menetap di Kepulauan Seribu sepanjang tahun atau hanya singgah, perlu penelitian mendalam.

“Di Karimunjawa, kami melakukan survei populasi lumba-lumba hingga tiga kali. Namun, di Kepulauan Seribu, penelitian serupa belum dilakukan. Ini belum bisa diketahui apakah populasinya meningkat, stabil, atau menurun.”

Untuk itu, klaim kemunculan lumba-lumba di wilayah ini sebagai indikator peningkatan kebersihan laut dinilai prematur. Sebab, sampah masih menjadi masalah besar di Kepulauan Seribu, terutama plastik yang terbawa arus dari Jakarta dan sungai-sungai sekitar.

“Tantangan ini masih jauh dari selesai.”

Berdasarkan kajian yang diterbitkan dalam Marine Pollution Bulletin (2018), lumba-lumba sering dijadikan indikator kesehatan ekosistem laut karena kepekaan mereka terhadap perubahan lingkungan.

Baca juga: Begini, Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Seribu

Kondisi bibir pantai Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, yang tercemar berbagai macam sampah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Indikator Kualitas Lingkungan

Danielle Kreb, Manajer Program Ilmiah Yayasan Konservasi RASI mengungkapkan, walaupun lumba-lumba bisa memberikan gambaran ekosistem, namun tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator kualitas lingkungan.

“Kehadiran lumba-lumba di suatu wilayah bukan berarti lingkungan laut membaik,” katanya, Sabtu (11/1/2025).

Faktor utama yang mempengaruhi kehadiran lumba-lumba adalah ketersediaan pakan. Jika ikan sebagai sumber makanan masih melimpah, lumba-lumba cenderung bertahan, meskipun lingkungan tercemar. Bahkan, di perairan dengan tingkat polusi tinggi, seperti kawasan dekat pelabuhan atau sungai besar.

Beberapa parameter kualitas air, seperti kadar oksigen terlarut, suhu, pH, dan tingkat pencemaran, lebih mempengaruhi ikan ketimbang lumba-lumba. Sebagai mamalia yang bernapas menggunakan paru-paru, lumba-lumba tidak terpengaruh langsung kadar oksigen di air.

Namun, ikan yang menjadi sumber makannya sangat sensitif terhadap parameter tersebut.

“Pencemaran seperti logam berat atau plastik menjadi ancaman terbesar,” jelasnya.

Ikan yang terkontaminasi logam berat bisa mencemari predator puncak seperti lumba-lumba melalui rantai makanan. Sebagai contoh, pesut (Orcaella brevirostris), mamalia air tawar yang menjadi fokus penelitian Danielle, seringkali menunjukkan tanda-tanda melalui kutil pada tubuhnya.

“Ini menjadi indikator habitat terpolusi,” paparnya.

Ingatan Hebat Lumba-lumba: Mengenali Teman Setelah Berpisah 20 Tahun

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|