- Pemerintah resmi membubarkan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Melalui surat Mensesneg B- 175/M/D-1/HK.03.00/04/2025, restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove pecah ke Kemenhut, Kementerian LH, dan KKP. Berbagai respons pun hadir di tingkat tapak hingga organisasi masyarakat sipil.
- Desa Tanjung Pasir dan Kuala Selat, Riau, yang merasakan langsung manfaat lembaga ad hoc ini pun khawatir akan upaya rehabilitasi mangrove di daerah mereka. Jika putus, maka sebagian daerah mereka tenggelam.
- Syahruddin, yang pernah menjadi tenaga penghubung BRGM di Riau, menanyakan keseriusan pemerintah melanjutkan program gambut yang sudah berjalan, seperti meneruskan pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan kapasitas masyarakat.
- Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menilai surat Mensesneg sumir. Isinya hanya menyebutkan tanggung jawab restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove beralih pada tiga kementerian. Sementara, tidak pernah ada penjelasan ihwal kesuksesan dan evaluasi BRGM.
Pemerintah resmi membubarkan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Melalui surat Mensesneg B- 175/M/D-1/HK.03.00/04/2025, restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove pecah ke Kemenhut, Kementerian LH, dan KKP. Berbagai respons pun hadir di tingkat tapak hingga organisasi masyarakat sipil.
Suara Amron terdengar cemas merespons kabar pembubaran Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Kepala Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ini, berpendapat, kehadiran BRGM memberikan dampak positif bagi mereka selama lima tahun terakhir.
Dari ujung telepon, dia menyampaikan supaya program pemulihan mangrove yang pembentukan lembaganya berdasarkan Peraturan Presiden 120/2020 ini tidak berhenti. Selama ini, BRGM menjalankan pekerjaan di lapangan lewat kelompok-kelompok yang mereka bentuk.
Amron bilang, ratusan warga yang terlibat kelompok pemulihan mangrove di desa dapat mengatasi kesulitan ekonomi mereka. “Apalagi musim sekarang, di laut agak susah. Kalau ada kegiatan penanaman mangrove otomatis yang nganggur di rumah bisa kerja.”
Mereka yang ikut dalam menjalankan program BRGM pun mengadu ke dia sejak awal tahun. Berharap penanaman mangrove tidak berhenti. Bahkan, mereka tetap berhubungan dengan lembaga ad hoc ini untuk menangani untuk menangani kerusakan dan permasalahan di pesisir desa.
Kehendak spontan masyarakat itu keluar kala mereka tahu informasi kegiatan serupa akan beralih ke Kementerian Kehutanan. Bukan tidak percaya, tetapi mereka kadung nyaman dengan BRGM yang mendampingi dari nol, hingga urusan administrasi laporan pertanggungjawaban.
Tahun lalu, misal, BRGM menyelesaikan penanaman mangrove 120 hektar dalam waktu lebih kurang 6 bulan. Jumlah itu belum termasuk pohon-pohon yang mereka tanam sejak 2022.
“Alhamdulillah, menurut kelompok pertumbuhan mangrove sangat bagus. Banyak efeknya. Kepiting mulai banyak. Sampai orang Tanjung Pasir, pusat desa, cari kepiting di sana,” kata Amron.
Desa Tanjung Pasir terdiri dari tiga dusun, Tanjung Pasir, Sungai Rumah, dan Sungai Bandung. Dusun terakhir, paling terdampak perubahan iklim. Lebih 21.000 hektar, sekitar 80%, kebun kelapa tenggelam dan mati akibat masuknya air laut.
Hutan mangrove yang terus menipis jadi pemicunya hingga tanggul pelindung daratan berulang jebol. Tidak hanya menelan kebun kelapa, abrasi dan intrusi juga memaksa penduduk Sungai Bandung migrasi, hingga hanya tersisa 60-an keluarga.
“Pekerjaan rumah paling besar di Tanjung Pasir adalah kerusakan kebun kelapa yang terpusat di Sungai Bandung. Dua puluh tahun ke belakang, masyarakat di sana adalah petani kelapa.”
Akhir tahun lalu, Ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR) ini kirim surat ke Presiden Prabowo Subianto, minta kegiatan rehabilitasi mangrove di Tanjung Pasir yang berlangsung sejak Presiden Joko Widodo tetap lanjut.

Masalahnya, masyarakat Duanu yang bermukim di Dusun Tanjung Pasir dan Sungai Rumah, bergantung pada mangrove. Aktivitas mereka sebagai nelayan sangat bergantung pada ekosistem pesisir itu. Bentangan hutan mangrove merupakan habitat udang dan ikan bertelur. Ketika biota ini berkembang biak dan membesar lalu pergi ke laut, di situlah nelayan Duanu menangkapnya.
Mereka juga pencari kerang, mempraktikkan budaya menongkah, mencari kerang dengan sekeping papan buat selancar di permukaan lumpur. Keberadaan mangrove sangat terkait dengan kerang ini.
“(Orang) Duanu tidak mau merusak hutan. Karena mangrove tempat segala habitat yang ditangkap di laut. Udang, kepiting dan ikan berkembangbiak di akar-akar mangrove itu. Kalau pun ada menebang pohon mangrove hanya untuk keperluan buat rumah dan kayu bakar.”
Harapan serupa dari Nurjaya, Kepala Desa Kuala Selat, pesisir Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir. Sebanyak 1.600 hektar kebun kelapa sebelah utara lenyap terendam air laut. Lalu, sekitar 2.000 hektar- 2.500 hektar kebun kelapa sebelah selatan juga berpotensi tenggelam kalau tanggul pelapis jebol.
Masyarakat gerak cepat memperbaiki tanggul pembatas agar sebaran air tidak menyebar jika tanggul paling depan jebol. Sudah Rp850 juta masyarakat keluarkan untuk memperbaiki tanggul-tanggul pembatas sebelah selatan itu.
Seperti Tanjung Pasir, masyarakat berangsur-angsur eksodus setelah kebun kelapa mati. Mereka yang masih bertahan berharap program penanaman mangrove dan pemulihan ekonomi yang BRGM jalankan, beberapa tahun belakangan, tetap berlanjut.
Sejauh ini, bibit mangrove yang mereka tanam tumbuh dengan baik, sekitar 80%-90% dari keseluruhan yang tertanam. Tahun lalu, terlaksana 120 hektar.
Kondisi itu melahirkan mata pencaharian baru dan kegiatan produktif. Kelompok masyarakat yang terlibat, rutin turun merawat mangrove sembari mencari kepiting dan memungut sampah laut.
“Selama program BRGM, setidaknya bisa bantu masyarakat bangkit kembali untuk berusaha lagi, walau tidak dari hasil perkebun kelapa lagi.”

Nasib gambut
Tidak hanya mangrove, pembubaran BRGM juga menimbulkan kekhawatiran nasib lahan gambut di Indonesia. Syahruddin, yang pernah menjadi tenaga penghubung BRGM di Riau, menanyakan keseriusan pemerintah melanjutkan program gambut yang sudah berjalan, seperti pembangunan infrastruktur pembasahan gambut, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan kapasitas masyarakat.
BRGM, katanya, juga mendorong desa-desa intervensi buat kebijakan restorasi gambut lewat penganggaran dana desa, dari pemeliharaan infrastruktur yang terbangun di desa, hingga revegetasi. Bahkan, sebagian desa justru membangun sekat kanal atau sumur bor sendiri.
Udin, panggilan akrabnya, masih ingat kala masyarakat mendesak pemerintah membuat lembaga khusus yang serius dan fokus menangani karhutla di wilayah gambut. BRGM jadi jawaban akan kritikan terhadap kementerian terkait yang bertanggungjawab terhadap gambut.
“Sebelumnya melindungi gambut tidak jadi fokus dan menempatkan pekerjaan itu bukan prioritas. Kalau BRGM tidak dilanjutkan setelah sepuluh tahun berjalan, apakah kementerian yang bertanggungjawab penuh akan lebih serius?”
Dia membayangkan upaya pemulihan dan perlindungan gambut yang selanjutnya jatuh ke kementerian terkait. Menurutnya, pola mereka tidak akan sama dengan BRGM, karena mengedepankan birokratis kental.
Apalagi, keterbatasan anggaran karena efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Kementerian jadi sulit bergerak. Sekarang saja, hampir setengah tahun, belum ada tanda-tanda lanjutnya pemulihan gambut maupun mangrove.

Sementara, selama 10 tahun dia kerja dengan BRGM, tidak mudah mendapat penilaian baik atas segala capaian. Selama lima tahun awal kerja, BRGM fokus bangun chemistry dan penayadartahuan masyarakat, supaya turut serta dalam restorasi gambut.
“Prinsipnya yang melanjutkan restorasi gambut adalah masyarakat setempat. BRGM secara badan hanya punya program dan anggaran. Yang melakukan adalah masyarakat. Kalau dananya ada tapi masyarakat tidak terorganisir capaian juga tidak maksimal,” katanya.
Keberadaan BRGM, katanya, turut berdampak dalam pengurangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Meski karhutla tetap ada, infrastruktur pembasahan gambut yang telah terbangun dapat mencegah kebakaran lebih luas. Sebab sumber air di sekitar lokasi terbakar relatif lebih terjaga.
Selain itu, kelembagaan di pusat maupun tingkat tapak lebih siap dan respons cepat. Masyarakat sudah terlatih dengan kapasitas dan fasilitas yang disediakan.
“Kalau bicara nol kebakaran memang terlalu muluk. Kami orang yang bekerja tingkat tapak melihat respon cepat penanganan, kesiapan fasilitas dan peralatan, sebagai capaian.”
Untuk menjamin keberlanjutan, BRGM telah membangun kelembagaan tingkat desa untuk merawat sekat kanal. Hanya saja masih ada beberapa desa belum menetapkan kebijakan tersebut. Juga, bergantung pada kesadaran masyarakat terkait manfaat sekat kanal di sekitar perkebunan mereka.
“Sebagian desa sudah dipastikan melanjutkan restorasi gambut, karena mereka lihat dampak positif dari kegiatan yang sudah dilakukan. Keberadaan sekat kanal dan embung mempermudah pekerjaan mereka. Itu dianggap penting dan akan tetap dipertahankan.”

Harus evaluasi
Pemerintah mengakhiri masa tugas BRGM lewat surat Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi pertengahan April lalu. Satu dari lima poin isi surat itu menginstruksikan pelaksanaan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove beralih ke Kemenhut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menilai, surat itu sumir. Isinya hanya menyebutkan tanggung jawab restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove beralih pada tiga kementerian.
Tak ada penjelasan ihwal kesuksesan dan evaluasi BRGM. “Itu jadi penting. Bukan hanya untuk BRGM tapi juga kementerian terkait, khusus dalam konteks gambut di KLH dan Kemenhut, yang dulu satu kementerian.”
Menurut dia, surat itu juga tidak menjelaskan detail pemulihan gambut dan mangrove yang ke depannya. Sebab itu, dia mendesak segera ada kepastian fungsi dan kewenangan masing-masing kementerian terlebih soal kewenangan supervisi
Wahyu bilang, awalnya BRG memiliki tanggung jawab memastikan pemulihan gambut di area konsesi perusahaan bekas terbakar. Namun, kewenangan itu pemerintah hapus seiring penambahan kewenangan mengurus mangrove dan jadi BRGM.
Hal ini jadi evaluasi buat Presiden Prabowo dan pekerjaan rumah kebijakan politik pemerintah. Termasuk upaya penegakan hukum yang menyasar perusahaan-perusahaan yang terbakar.
Catatan Pantau Gambut, masih terjadi kebakaran berulang di area restorasi pemerintah. Salah satu penyebabnya, sinergi lembaga dan fungsi kementerian yang tidak berjalan selaras. Alhasil, kerusakan ekosistem gambut berlanjut tanpa upaya restorasi yang serius.
Studi Pantau Gambut 2024 berjudul Gelisah di Lahan Basah, mencatat 95% dari 289 titik sampel gambut di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (tree cover loss/TCL), berubah menjadi perkebunan tanaman lahan kering dan semak belukar.
Mereka pun hanya menemukan 3% area sampel gambut yang kembali menjadi hutan. Kondisi lebih memprihatinkan ada di konsesi perusahaan, hanya 1% dari 240 titik sampel konsesi yang pernah terbakar dan kehilangan tutupan pohon yang kembali jadi hutan.
Melimpahkan kerja BRGM ke sejumlah kementerian membuat Wahyu khawatir pelemahan perlindungan ekosistem gambut. Misal, ada upaya pemutihan konsesi ilegal di kawasan hutan. Dari olah spasial mereka, lebih 400.000 hektar dari 3,3 juta sawit berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG).
“Masalahnya itu diizinkan regulasi. Deforestasi yang direncanakan akhirnya. Dalam konteks penegakan hukum, gimana memberikan efek jera kalau yang ilegal malah diberi kesempatan izin?”
Dia pun memprediksi adanya ego sektoral dan lempar tanggung jawab oleh masing-masing kementerian. Ini akan membuat pemulihan gambut dan mangrove lemah.
Apalagi, cara pandang pemerintah cenderung melihat ekosistem gambut dalam batas administrasi. Seakan-akan KHG tak bisa lintas kabupaten dan provinsi.
Wahyu pun tetap memandang penting ada lembaga khusus yang jadi ruang jembatan koordinasi antar kementerian. Namun harus memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang proporsional.
“Harusnya pemerintah tentukan prioritas. Masalah lingkungan, karhutla dan kerusakan gambut terus berulang. Artinya jadi problem prioritas dan hal strategis yang harus segera ditangani.”

Okto Yugo Setyo, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), mengingatkan, pemerintah agar memastikan keberlanjutan restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove. Sebab program itu sudah sampai ke level masyarakat.
Dia bilang, banyak desa yang mempersiapkan bibit. Bila tidak ada program pemerintah untuk meneruskannya, masyarakat akan kecewa dan waktu mereka terbuang percuma.
Pemerintah, katanya, juga harus menyampaikan capaian BRGM selama hampir 10 tahun terakhir. Hal itu sesuai target yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 120/2020.
“Yang harus diukur target yang ada di Perpres. Menurut kita tidak ada data dan laporannya. Berapa persen capaian dari target yang ada di perpres itu?”
Laporan itu penting, sekaligus mengecek klaim BRGM atas capaiannya. Kalau klaim mereka benar, maka pencegahan karhutla harusnya tidak lagi heboh seperti sekarang. Pasalnya, kata Okto , pemerintah pusat sudah menyiapkan empat helikopter di Riau untuk merespons siaga darurat.
“Semua itu dengan biaya besar di tengah efisiensi anggaran. Artinya orang gak percaya juga. Berbanding terbalik dengan klaim capaian.”
Klaim capaian ini mengacu pada siaran pers resmi yang mereka bagikan sebulan sebelum surat Mensesneg antara lain, keberhasilan merestorasi lahan gambut seluas 1,6 juta hektar di luar konsesi dan rehabilitasi mangrove seluas 84.396 hektar. Kemudian, membangun 22.349 infrastruktur restorasi gambut, berupa sumur bor, sekat kanal dan kanal timbun.
Mereka pun klaim restorasi gambut terbukti menurunkan kebakaran sebesar 29,59%. Tidak hanya itu, rehabilitasi mangrove yang dikerjakan merupakan program terbesar di dunia. Sehingga mampu meningkatkan tutupan lahan, produktivitas tambak dan menciptakan lapangan kerja.
*****