Jejak Kerusakan Proyek PLTP Baturraden di Gunung Slamet  

6 hours ago 3
  • Eksplorasi Pembangkit Listrik Tenaka Panas Bumi (PLTP) Baturraden di Gunung Slamet telah berhenti. Namun, jejak kerusakaannya masih terlihat hingga sekarang. Selain jejak pembukaan hutan yang belum direhabilitasi, akses jalan juga meningkatkan ancaman kegiatan ilegal. Seperti perburuan dan pembalakan. 
  • Juni dan Trisno, warga setempat katakan, proyek ini sejak awal bermasalah karena picu pencemaran sumber-sumber air sekitar. Di Kecamatan Cilongok misal, warga enam desa kesulitan air karena sumber air berubah warna kecokelatan
  • Nur R Fajar, Direktur Biodiversity Society Purwokerto, sebelumnya, area tersebut merupakan kawasan tertutup dengan ekosistem unik. Telaga Dringo, sebuah telaga alami di tengah hutan lebat juga jadi habitat satwa endemik Gunung Slamet. Seperti katak pohon spesies baru Zhangixalus faritsalhadi, burung Teledekan Gunung (Cyornis banyumas) dan Poksai Kuda (Garrulax rufifrons). 
  • Mochamad Risqon, Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) katakan, hasil penelusurannya dokumen Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) untuk eksplorasi panas bumi telah habis tahun 2023 lalu. Tetapi sampai sekarang belum ada perpanjangan.

Usai melewati perkebunan teh Kaligua di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes, Jawa Tengah (Jateng), kami akhirnya tiba di  tanah lapang lereng selatan Gunung Slamet. Warga biasa menyebutnya, Ratamba, tak jauh dari Telaga Dringo.

Dulu, lokasi dengan luas separuh lapangan sepak bola itu adalah hutan belantara. Saat inisiatif proyek Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Baturraden dimulai, tegakan yang ada di lokasi pun ditebangi untuk eksplorasi. 

Untuk kesana pun tidak terlalu sulit, meski berada sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Bisa terakses dengan mobil atau motor. Apalagi, setelah proyek PLTP Baturraden berhenti, tak ada lagi penjagaan. Beberapa bangunan yang ada di lokasi pun terlihat tak terurus dan berselimut belukar. Pun demikian dengan sejumlah peralatan pengeboran, tak lagi terawat. 

Kendati akses paling mudah dari Brebes, sebagian besar lokasi PLTP masuk Banyumas. Itu mengapa proyek ini disebut sebagai PLTP Baturraden. Sehingga kalau dengan jalan kaki, bisa ditempuh dari Banyumas, misalnya lewat desa-desa di Kecamatan Cilongok atau Kedungbanteng.

“Tempat ini dulu jauh dari mana-mana, baik dari Banyumas maupun Brebes. Hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki saja. Itu pun, bagi yang tidak pengalaman butuh waktu seharian,” kata Juni, warga kepada Mongabay, Sabtu (3/5/25). 

Itu dulu. Setelah hutan rimba dibuka untuk mobilisasi peralatan ke lokasi, wilayah itu menjadi lebih terbuka untuk kendaraan. Masalahnya, kendati pun kelanjutan proyek tidak jelas, tidak ada rehabilitiasi atas hutan-hutan yang terlanjur dibuka. 

Hutan rima di Gunung Slamet yang dibuka untuk akses jalan kegiatan eksplorasi PLTP Baturraden. Foto: L. Darmawan/Mongabay Indonesia.

Juni pun tahu betul bagaimana perubahan lingkungan yang terjadi setelah proyek PLTP Baturraden itu. Saat sosialisasi yang dilaksanakan berkali-kali, PT Sejahtera Alam Energi (SAE) dan pemerintah selalu klaim bahwa PLTP merupakan pembangkit yang ramah lingkungan. Kenyataannya, saat eksplorasi tahun 2017, dampaknya luar biasa. 

“Ada beberapa desa yang tidak bisa mendapatkan air bersih, karena tercemar lumpur akibat pembukaan areal hutan untuk eksplorasi PLTP Baturraden. Di Desa Sambirata tempat saya tinggal, air Sungai Prukut yang tercemar menyebabkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) tidak beroperasi,” cerita Juni yang dari awal getol tolak proyek ini.

Warga lain, Trisno yang merupakan penduduk Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, mengatakan, sekitar lima atau enam tahun lalu, penduduk desa tidak bisa mengakses air. Sungai Prukut yang biasa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tercemar. “Waktu itu, warnanya coklat selama berbulan-bulan gara-gara PLTP itu. Sekarang sudah bersih lagi, karena tidak ada aktivitas di atas.”

Juni dan Trisno, menjadi saksi, jika PLTP Baturraden yang digadang-gadang menjadi sumber energi bersih malah memunculkan persoalan lingkungan. 

Proyek PLTP Baturraden mulai setelah  SAE mendapat izin panas bumi berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1557 k/30/MEM/2010, yang kemudian diperbarui menjadi Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 4577k/30/MEM/2015. Luasannya mencapai 24.660 hektar. 

Luas konsesi mencakup lima kabupaten yaitu Banyumas, Purbalingga, Tegal, Brebes, dan Pemalang dengan potensi cadangan panas bumi sebesar 175 Megawatt (MW). Kenyataannya, baru eksplorasi saja langsung berdampak pada lingkungan. Apalagi sekarang, ditinggalkan begitu saja.

Telaga Dringo yang berada di Gunung Slamet, tak jauh dari titik ekplorasi PLTP Baturraden. Telaga ini menjadi tempat minum satwa liar. Foto: L. Darmawan/Mongabay Indonesia.

Air tercemar

Hendy, pegiat Save Slamet,  mengatakan,  bersama teman-temannya sejak awal mengkritik proyek  itu. Betapa tidak, baru dalam tahap eksplorasi, sejumlah desa terdampak akibat sumber airnya tercemar. “Di Kecamatan Cilongok, ada enam desa yakni Karangtengah, Panembangan, Kalisari, Pernasidi, Cikidang dan Karanglo. Save Slamet yang merupakan wadah gerakan masyarakat sipil secara tegas menolak proyek ini.”

Penolakan itu memiliki argumen dan dasar kuat. Tujuannya adalah hutan Gunung Slamet yang masih baik dan hanya tersisa di wilayah lereng selatan harus diselamatkan. “Makanya, dulu kami menggelar demo penolakan.” 

Sekarang, setelah tak ada lagi kelanjutan proyek , dia mendesak agar merehabilitasi hutan terbuka. “Kembalikan seperti sedia kala. Dari foto google earth saja jelas, masih ada lahan yang terbuka. Kalau itu tidak direvegetasi, kami khawatir akan memunculkan masalah lingkungan misalnya banjir bandang.” 

Kekhawatiran lain, Dani Armanto,  pegiat Komunitas Peduli Slamet, sampaikan. Terbukanya areal hutan rimba di Gunung Slamet, akan meningkatkan kerentanan dan picu persoalan yang lebih kompleks.

“Kerentanan bakal memunculkan masalah yang lebih kompleks. Dengan terbukanya hutan apalagi aksesnya, maka sangat potensial timbul persoalan pembalakan liar. Logikanya sederhana, semakin mudah aksesnya, apalagi tidak dijaga, pencurian kayu akan lebih mudah,” kata  Dani.

Lahan terbuka, dapat membuat orang menanami lokasi setempat dengan pohon invasif yang sama sekali berbeda dengan pohon rimba. Karena itu, Dani pun mendesak agar persoalan itu segera diatasi. “Jangan sampai hutan rimba makin rusak.”

Bukaan hutan di lereng Gunung SLamet untuk eksplorasi PLTP Baturraden. Foto: L. Darmawan/Mongabay Indonesia.

Ekosistem unik

Nur R Fajar, Direktur Biodiversity Society Purwokerto, amini pernyataan para koleganya soal  kerentanan meningkat karena  hutan  terbuka. Karena sebelumnya, lokasi tersebut sulit dijangkau darimana pun. Area tersebut memiliki ekosistem unik dengan banyak jenis burung khas. Apalagi ada Telaga Dringo, sebuah telaga alami di tengah hutan lebat.

Ancaman lain dari terbukanya akses adalah aktivitas para pemburu karena kini lebih mudah mencapai kawasan di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. “Karena terbuka, para pemburu lebih leluasa beroperasi. Dampaknya jelas, banyak burung yang dulu menghuni kawasan ini kini menghilang.” 

Fajar mengatakan,  di areal terbuka untuk  eksplorasi merupakan jantung hutan Gunung Slamet dengan ekosistem langka. Ada telaga yang dikelilingi pepohonan lebat. Namun kini kawasan itu terbuka dan telaganya mulai dangkal. 

Kawasan ini menjadi habitat berbagai fauna unik Gunung Slamet, misal,  katak pohon spesies baru Zhangixalus faritsalhadi. Ada juga burung khas seperti teledekan gunung (Cyornis banyumas) dan poksai kuda (Garrulax rufifrons). “Sayangnya dari pemantauan teman-teman Biodiversity Society, Teledekan Gunung dan Poksai Kuda tidak lagi ditemukan di areal setempat,” katanya.

Bagaimana sebetulnya proyek PLTP Baturraden? Saptono Purwo, Kepala Seksi (Kasi) Energi Cabang Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, mengatakan,  wilayah Slamet Selatan mengaku tidak mengetahui persis kabar PLTP Baturraden. “Hingga kini, saya tidak tahu kelanjutan PLTP Baturraden.” 

Senada, Mochamad Risqon, Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur mengatakan,   areal PLTP Baturraden sebagian masuk ke wilayah KPH Banyumas Timur dan sebagian lain KPH Pekalongan Barat.

“Saya sudah cek PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) yang izinnya untuk eksplorasi panas bumi telah habis tahun 2023 lalu. Tetapi sampai sekarang belum ada perpanjangan.”

Ironis, PLTP Baturraden yang awalnya sebagai bagian penting dari pembangkit ramah lingkungan karena menghasilkan energi bersih justru malah menimbulkan persoalan lingkungan. Lebih ironis lagi sampai sekarang mangkrak dan meninggalkan jejak kerusakan yang tak terselesaikan. 

*****

Air untuk Penghidupan Warga Karangtengah Tiba-tiba Keruh, Ada Apa?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|