- Pemerintah terus mendorong pengembangan bioenergi kayu sebagai upaya transisi energi terbarukan. Pada peta jalan terbaru, bioenergi dari pembakaran kayu, mengambil porsi 12,2% dalam bauran energi terbarukan Indonesia per 2030. Berbagai organisasi masyarakat sipil terus mempertanyakan efektivitas bioenergi kayu ini dan menilai, sumber ini tetap menghasilkan emisi besar, rakus lahan dan bisa mendorong penyingkiran masyarakat adat maupun petani dari ruang hidup mereka. Riset Koalisi Energi tahun 2024 di tiga lokasi kebun energi yakni Sukabumi, Grobogan, dan Bojonegoro menunjukkan itu.
- Penelitian Trend Asia, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi di Jawa Timur menunjukkan, hutan tanaman energi di wilayah Perhutani merugikan petani dan masyarakat dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi.
- Laporan penelitian mencatat, petani hutan kehilangan pendapatan bersih dari panen jagung Rp48 juta per hektar setahun. Sebelum ada HTE, petani menanam jagung di lahan garap di hutan. Namun, sejak 2021, saat lahan tak bisa petani tanami palawija karena HTE, setidaknya sudah enam kali musim tanam jagung terlewatkan.
- Bayu Maulana Putra, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia mendesak, penghentian program co-firing biomassa di PLTU. Co-firing, merupakan solusi palsu transisi energi yang tidak netral karbon, bersifat eksploitatif, serta hanya memperpanjang usia PLTU.
Pemerintah terus mendorong pengembangan bioenergi kayu sebagai upaya transisi energi terbarukan. Pada peta jalan terbaru, bioenergi dari pembakaran kayu, mengambil porsi 12,2% dalam bauran energi terbarukan Indonesia per 2030.
Berbagai organisasi masyarakat sipil terus mempertanyakan efektivitas bioenergi kayu ini dan menilai, sumber ini tetap menghasilkan emisi besar, rakus lahan dan bisa mendorong penyingkiran masyarakat adat maupun petani dari ruang hidup mereka. Riset Koalisi Energi tahun 2024 di tiga lokasi kebun energi yakni Sukabumi, Grobogan, dan Bojonegoro menunjukkan itu.
Perhutani menguasai 2,42 juta hektar atau 18% luas Pulau Jawa ini mengkategorikan “lahan kritis dan tidak produktif” serta menentukan jenis tanaman. Warga hanya terlibat sebagai buruh kontrak borongan.
“Proyek ini perampasan ruang hidup terencana, dan akan menajamkan ketimpangan struktur penguasaan lahan dalam kawasan hutan,” kata Rendi Oman Gara dari Sajogyo Institute dalam diskusi di Kampus Universitas Indonesia, Depok, April lalu,
Kebun energi, katanya, turut menghambat reforma agraria dalam kawasan hutan.
Dia contohkan di Grobogan, Jawa Tengah. Di sana, gamal dan kaliandra sebagai komoditas biomassa sudah menutup kesempatan warga mendapatkan redistribusi lahan melalui reforma agraria.
“Perhutani mengembangkan kebun energi di atas tanah yang sejak pasca reformasi diperjuangkan untuk redistribusi.”
Kalau urut lebih jauh, praktik kebun energi ini memang berdiri di atas kebijakan sektor kehutanan yang salah. Imam Mas’ud, Kepala Divisi Pengelolaan Pengetahuan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengatakan, praktik penetapan kawasan hutan umumnya tidak disertai inventarisasi, identifikasikasi, dan penyelesaian hak-hak komunitas adat lokal.
“Sehingga mengakibatkan wilayah adat dan lahan-lahan petani dikepung dan berada dalam klaim kawasan hutan negara,” katanya.
Menurut hasil konsolidasi peta partisipatif di Jawa oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dari luas 90.000 hektar ruang hidup masyarakat adat dan lokal, 56.000 hektar atau 62% tumpang tindih dengan kawasan hutan.
“Hal ini menandakan keberadaan HTE (hutan tanaman energi) di Jawa yang bekerja di atas kebijakan sektor kehutanan sebagai salah satu bentuk pelegalan perampasan ruang hidup masyarakat,” katanya.
Penelitian Trend Asia, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi di Jawa Timur menunjukkan, hutan tanaman energi di wilayah Perhutani merugikan petani dan masyarakat dari segi ekonomi, sosial, dan ekologi.
Di Hutan Saradan, Kabupaten Madiun, misal, lahan garapan petani menyusut. Proyek HTE Perhutani bekerja sama dengan petani sejak 2019, belum membuahkan hasil.
“Masyarakat saat ini dirugikan. Tidak panen-panen. Petani tidak bisa tanam tanaman pertanian karena gliriside (gamal) sudah besar, sudah gelap gulita,” kata petani, seperti dikutip dari laporan penelitian Trend Asia, JPIK, dan PPLH Mangkubumi.
Laporan penelitian mencatat, petani hutan kehilangan pendapatan bersih dari panen jagung Rp48 juta per hektar setahun. Sebelum ada HTE, petani menanam jagung di lahan garap di hutan. Namun, sejak 2021, saat lahan tak bisa petani tanami palawija karena HTE, setidaknya sudah enam kali musim tanam jagung terlewatkan.
Dalam satu kali musim tanam jagung, rata-rata petani bisa mendapatkan keuntungan Rp24 juta per hektar setahun. Total kerugian petani selama tiga tahun Rp144 juta per hektar.
HTE membuat lahan tidak produktif dan terbengkalai. Situasi ini terjadi karena gliriside tidak panen oleh Perhutani sejak tanam 2019 hingga sekarang.

Setelah uji coba pemanenan di KPH Saradan dan Padangan, terbukti biaya produksi lebih tinggi dari harga jual kayu gliriside. Bahkan dalam hitungan perencanaan Perhutani, setiap pengiriman satu truk gliriside dari KPH Padangan ke Gresik, Perhutani rugi Rp180.000.
Dengan harga jual tiap kilogram gliriside Rp300, dan satu truk berisi 8 ton, pengiriman Rp2,4 juta. Sedangkan biaya produksi Rp2.580.000.
Dalam hitungan petani, justru kerugian lebih besar lagi. Dengan asumsi harga jual Rp750/kg, setiap pengiriman satu truk mendapatkan uang Rp4,7 juta. Biaya produksi Rp5,5 juta; hingga Perhutani rugi Rp800.000 setiap pengiriman.
“KPH Saradan dan KPH Padangan mengalami kegagalan dalam bisnis kayu biomassa. Ongkos produksi dan transportasi angkut setiap truk kayu gliriside lebih besar dari harga jual,” tulis laporan penelitian itu.
Problem juga terjadi di rantai pasok biomassa. Penelitian menunjukkan, rantai pasok bisnis biomassa untuk co-firing terlihat dari klaster hulu di HTE, dan klaster hilir meliputi pabrik dan eksportir kayu pelet.
Perhutani sebagai pengelola HTE Saradan dan Padangan di Madiun, yang menanam kaliandra dan gliriside sebagai bahan baku co-firing PLTU, mestinya bekerja sama dengan PLN.
Namun, menurut penelitian, Perhutani tak bekerja sama dengan PLN. Perusahaan negara itu justru bekerjasama dengan PT KMN, sebuah perusahaan pengolah dan eksportir kayu pelet.
Bayu Maulana Putra, Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia mendesak, penghentian program co-firing biomassa di PLTU. Co-firing, katanya, merupakan solusi palsu transisi energi yang tidak netral karbon, bersifat eksploitatif, serta hanya memperpanjang usia PLTU.
“Co-firing tidak seharusnya masuk dalam rencana transisi energi Indonesia. Secara bersamaan justru berpotensi memperlebar perampasan ruang hidup masyarakat,” katanya.

Militerisme dan kekerasan
Masyarakat tak jarang harus berhadapan dengan aparat ketika berupaya mempertahankan ruang hidup mereka.. Masyarakat adat, misal, yang hidup bergantung hutan. Kerap berhadapan dengan militerisme dan kekerasan. Ancaman ini makin menguat kala terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Dengan perpres ini Walhi mencatat, institusi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan dan TNI dapat terlibat dalam urusan kawasan hutan.
“Kekhawatiran terbesar perpres ini justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat dalam kawasan hutan dengan tujuan untuk mengalokasikan kembali kawasan tersebut untuk kebutuhan lainnya seperti pangan dan energi.”
Konflik-konflik agraria pun bisa meningkat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023 mencatat, 608 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi.
Sebanyak 508 orang mengalami kriminalisasi, 91 orang alami kekerasan dan penganiayaan, enam orang tertembak dan tiga tewas di tangan aparat keamanan maupun keamanan perusahaan. Jumlah itu meningkat dari 2022 dengan 497 kasus kekerasan dan kriminalisasi.
Anggi Prayoga, Manajer Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, praktik kekerasan dan kriminalisasi yang militer dan kepolisian sudah kerap terjadi dalam pengelolaan hutan sejak Orde Baru.
Namun, penerbitan Perpres No. 5/2025 ini makin memperbesar keterlibatan militer. Klaim negara lewat pemerintah jadi kawasan hutan itu tanpa prinsip-prinsip keterbukaan hingga penertiban akan tuntas dan jelas bila kawasan hutan itu sendiri tidak hanya legal namun juga harus legitimate.
“Sudah seharusnya data kawasan hutan dibuka, terutama yang berkaitan dengan Berita Acara Tata Batas, jika tidak, ya kawasan hutan hanya klaim sepihak oleh negara tapi tidak pernah mendapatkan legitimasi dari masyarakat.”
Pemerintah, katanya. perlu mereformasi peran militer dalam mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dalam kawasan hutan. Menurut dia, dosa militer sangat besar dalam eksploitasi sumber daya hutan dan deforestasi.
”Mereka menguasai bisnis-bisnis penting dalam kehutanan, legal maupun ilegal, dan itu tidak pernah direformasi.”

********