Di balik kesederhanaan mereka, Urang Kanekes atau yang lebih dikenal dengan Suku Baduy memiliki gaya hidup tradisional yang berlandaskan pada rasa hormat yang mendalam terhadap alam. Di dalam kearifan lokal ini ada tawaran cara pandang unik dalam menghadapi perubahan iklim.
Meskipun “perubahan iklim” mungkin asing bagi mereka, narasi adat dan kepercayaan tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi merupakan panduan penting untuk memahami dan menanggapi fenomena ini.
Salah satu prinsip utama masyarakat Baduy adalah “pikukuh“, yaitu pedoman hidup yang menekankan pada pelestarian alam, seperti “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak” (gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak), yang mencerminkan komitmen mereka dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Prinsip ini pun berfungsi sebagai mitigasi alami terhadap bencana sekaligus melindungi sumber daya alam yang mendukung kehidupan.
Kearifan Lokal dan Relasi Sosial Suku Baduy
Dalam membaca perubahan pola cuaca, masyarakat Baduy mengandalkan tanda-tanda alam yang sering tercermin dalam cerita rakyat atau ritual adat. Misalnya, musim tanam yang tidak teratur atau perubahan perilaku hewan dianggap sebagai “peringatan” dari leluhur atau alam semesta.
Bagi mereka, pola bercocok tanam tidak hanya bergantung pada perhitungan kalender, tetapi lebih pada pengamatan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka, seperti pergerakan angin, perilaku hewan, atau perubahan suhu udara.
Misalnya, masyarakat Baduy mengandalkan padi huma atau padi kering (=padi ladang) sebagai tulang punggung ketahanan pangan dalam praktik pertanian. Mereka mengetahui waktu yang tepat untuk menanam padi huma berdasarkan tanda-tanda alam yang mereka amati.
Ketika musim tanam tidak teratur atau tanda-tanda alam menunjukkan ketidakteraturan, mereka segera melakukan penyesuaian, seperti mengubah waktu tanam atau memilih tanaman yang lebih sesuai dengan perubahan kondisi tanah dan iklim. Selain itu, leuit (lumbung padi) merupakan simbol ketahanan pangan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga menjaga stabilitas pangan daerah (Belesky, 2014).
Pemahaman ini menjadi dasar adaptasi ekologis mereka. Sistem ini juga mencerminkan hubungan spiritual dan budaya yang kuat antara masyarakat Baduy dengan alam.
Selain itu, ketika sumber daya seperti kesuburan tanah atau air mulai terganggu, masyarakat Baduy cenderung melakukan migrasi ekologis di dalam wilayah adatnya. Migrasi ini dilakukan dengan hati-hati, menjaga keseimbangan ekosistem tanpa mengganggu keharmonisan alam.
Misalnya, jika tanah mereka mulai tidak subur atau sumber air terbatas, mereka tidak segan-segan pindah ke tempat lain dalam wilayah adatnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Praktik migrasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Baduy menganggap alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka dan berupaya menjaga keharmonisan dengan alam melalui gaya hidup yang dinamis.
Dalam konteks perubahan iklim, cara hidup tradisional ini menunjukkan bahwa solusi berkelanjutan tidak selalu harus bergantung pada teknologi modern, tetapi juga pada kearifan lokal yang dapat beradaptasi dengan perubahan alam.
Hubungan sosial yang kuat menjadi kunci keberhasilan masyarakat Baduy dalam menghadapi tantangan lingkungan. Solidaritas masyarakat memungkinkan mereka untuk berbagi sumber daya, hasil panen, dan informasi tentang perubahan cuaca.
Diskusi informal antar warga masyarakat juga dapat memperkuat pemahaman kolektif dan menjadi sarana pendidikan informal untuk menjaga praktik adat yang ramah lingkungan (Tschirhart et al., 2016).
Integrasi Budaya dan Kebijakan Resiliensi Lingkungan
Seperti yang ditunjukkan oleh masyarakat Baduy, hidup seimbang dengan alam terbukti efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Pemerintah dan lembaga terkait seharusnya dapat mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kebijakan dan strategi mitigasi lingkungan untuk menghadapi perubahan iklim.
Kebijakan yang mengakomodasi nilai-nilai budaya dan praktik tradisional tersebut dapat menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan iklim. Misalnya, pemerintah dapat mengembangkan program yang mendukung konservasi berbasis masyarakat dan mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada akhirnya memperkuat ketahanan mereka terhadap perubahan iklim, terutama bagi masyarakat adat.
Selain itu, program pendidikan dan sosialisasi sangat penting untuk melestarikan kearifan lokal dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara hidup yang ramah lingkungan. Melalui pendidikan berbasis masyarakat, masyarakat dapat lebih menyadari pentingnya menjaga keseimbangan alam melalui gaya hidup tradisional, seperti menanam tanaman berdasarkan tanda-tanda alam atau melestarikan sumber daya air.
Upaya ini tidak hanya meningkatkan kesadaran tetapi juga mendorong masyarakat untuk secara aktif mengadopsi dan menerapkan praktik-praktik yang telah terbukti mengurangi dampak perubahan iklim.
Lebih jauh, kolaborasi antara masyarakat lokal dan peneliti sangat penting untuk menggali lebih dalam bagaimana kearifan lokal dapat berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Penelitian yang melibatkan masyarakat tidak hanya menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang ada tetapi juga menghasilkan solusi yang relevan dan terjangkau bagi banyak masyarakat.
Kolaborasi ini memungkinkan kami untuk mengembangkan program penelitian yang dapat diterapkan untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim dan menciptakan ketahanan lingkungan yang berkelanjutan.
Pelajaran Berharga untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Mengamati dan menelusuri praktik adat masyarakat Baduy memberikan wawasan berharga untuk mitigasi perubahan iklim. Pendekatan holistik yang memadukan kearifan lokal dengan strategi modern menciptakan model keberlanjutan yang relevan dengan tantangan lingkungan saat ini (Habiyaremye & Korina, 2021).
Namun, tantangan baru muncul dari pengaruh eksternal seperti pariwisata dan globalisasi, yang perlahan mengancam tradisi mereka. Menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan pembangunan modern merupakan tugas penting.
Eksplorasi lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana generasi muda Baduy memandang perubahan iklim dibandingkan dengan generasi tua; atau sejauh mana narasi tradisional tetap relevan dalam konteks perubahan lingkungan yang semakin kompleks.
Masyarakat Baduy tidak hanya mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak selalu bergantung pada teknologi canggih, tetapi juga pada keharmonisan antara manusia dan alam.
Nilai-nilai ekologis mereka relevan bagi masyarakat lokal dan dapat menjadi inspirasi global untuk menghadapi tantangan lingkungan. Melalui masyarakat Baduy, kita juga belajar bahwa solusi perubahan iklim dapat ditemukan dalam praktik-praktik sederhana yang berakar pada rasa hormat terhadap alam. Keharmonisan ini tidak hanya menjaga bumi untuk saat ini tetapi juga menjadi warisan yang berharga bagi generasi mendatang.
Referensi:
Paul, B. (2014). Regional governance, food security and rice reserves in East Asia. Global Food Security, 3(3), 167-173. https://doi.org/10.1016/j.gfs.2014.09.002
Tschirhart, C., Mistry, J., Berardi, A., Bignante, E., Simpson, M., Haynes, L., Benjamin, R., Albert, G., Xavier, R., Robertson, B., Davis, O., Verwer, C., de Ville, G., & Jafferally, D. (2016). Learning from one another: Evaluating the impact of horizontal knowledge exchange for environmental management and governance. Ecology and Society, 21(2), 41. https://doi.org/10.5751/es-08495-210241
Habiyaremye, A., C., L., & Korina, (2021). Indigenous knowledge systems in ecological pest control and post-harvest rice conservation techniques: Sustainability lessons from Baduy communities. Sustainability, 13(16), 9148. https://doi.org/10.3390/su13169148
*Dr. Ulfa Sevia Azni, S.Sos., Peneliti di Pusat Riset Kesejahteraan Sosial, Desa, dan Konektivitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), artikel ini adalah opini penulis.
***
Foto utama: Warga Baduy Dalam dengan pakaian khas mereka saat berjalan ke Kota Serang, Banten dalam rangkaian ritual adat Seba Baduy, pada April 2018. Foto: Wisuda/Mongabay Indonesia