Para Pemuda Desa Giatkan Ekonomi dari Lestarikan Hutan Petungkriyono

8 hours ago 1
  • Saat sebagian pemuda di Indonesia pilih tinggalkan desa dan merantau ke kota, para pemuda Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Pekalongan, Jawa Tengah justru sebaliknya. Mereka memilih menghidupkan desanya dengan menjadi petani dan merawat hutan.  
  • Cashudi, warga Desa Mendolo sebut, hutan telah menjadi penopang sumber kehidupan mereka. Hasil panen dari hutan, seperti durian, kopi, hingga kapula telah memberi mereka penghidupan hingga ratusan juta rupiah per tahun. 
  • Meski menghasilkan banyak uang, warga sekitar tidak memiliki keinginan untuk memperluas hasil hutan. Bagi mereka, memperluas kebun dengan mengurangi tegakan hanya akan mengganggu ekosistem. 
  • Lestarinya hutan selatan Pekalongan ini menjadikan lokasi tersebut jujugan para wisatawan. Bagi mereka, memperluas kebun dengan merusak hutan hanya akan mengganggu ekosistem. 

Saat sebagian pemuda pilih merantau ke kota, para pemuda Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang, Pekalongan, Jawa Tengah justru sebaliknya. Mereka memilih menghidupkan desa dengan menjadi petani dan merawat hutan.  

“Bertani malah lebih sejahtera, hidup jadi lebih seimbang juga karena semuanya diatur sendiri, kalau buruh diatur bos,” kata  Cashudi,  pemuda Mendolo sembari tertawa kecil, akhir April lalu.

Cashudi bukannya tak pernah merantau. Dia pernah sekali  menjadi kuli bangunan (di  daerah/kota mana?). Itu pun tak lama, hanya sepekan. Bising suara kendaraan di kota, dan jauh dari keluarga dengan haji tak seberapa membuat pemuda 32 tahun ini tak betah. 

Dia  kembali ke kampung.  Bersama 10 pemuda lain sesama mantan perantauan, dia lantas membentuk Paguyuban Petani Muda (PPM). Kini, PPM yang terbentuk tahun 2019 itu  beranggotakan 30 orang. 

Niat awal pembentukan PPM ini untuk membantu meningkatkan perekonomian anggotanya dengan pembibitan komoditas unggulan, pengolahan hasil panen, hingga berbagi jaringan penjualan. Inisiatif itu juga mereka wujudkan dengan membuka paket wisata jelajah hutan di sekitar desa.

Gagasan itu mendapat respons positif para pelancong dengan minat khusus. Karena PPM juga menerapkan sistem kuota untuk mengimplementasikan jasa paket wisata minat khusus ini, banyak pelancong yang tak kebagian jika tak reservasi jauh hari. “Banyak yang minat, karena bisa panen durian di tengah hutan dan mengamati burung,” ujar Cashudi.

Aktivitas wisata itu sangat bergantung dari keberadaan hutan.  PPM pun makin serius menjaga ekosistem hutan Mendolo, bagian dari kawasan hutan Petungkriyono. Lewat pariwisata, Cashudi dkk, kian menyadari  hutan  menjadi sumber penghidupan bagi mereka selain kopi, durian, kapulaga, kemukus dan lain- lain. 

“Wisata ini tidak akan jalan kalau hutan kami rusak. Maka sejak 2022 prioritas kami adalah menjaga ekosistem Hutan Mendolo,” kata Cashudi.

Pada 2023, PPM menanam 700 bibit lokal,   800 bibit tahun lalu.  Pada 2025, mereka kembali merencanakan penanaman 1.000 bibit untuk jenis babi, sapi, rau, bendo, hingga klepu.

Konservasi ini karena kawasan hutan banyak  terbuka terutama  pembukaan lahan untuk perkebunan.   Tutupan hutan yang berkurang, dampaknya warga rasakan lewat volume mata air kiat mengecil  yang mengalir ke Sungai Wisnu. Dampak lain, populasi burung berkurang yang berdampak pada merebaknya hama ulat.

Pohon durian di kawasan hutan yang menjadi komoditas andalan warga. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia.

Ratusan juta dari durian

Pohon durian berjajar rapi dengan jarak satu dan lain sekitar lima meter. Pohon-pohon ini ditanam di lahan miring, bak jadi benteng   antara pemukiman dan hutan yang mengepung permukiman Dukuh Sawahan. 

Durian memang jadi komoditas unggulan warga di sana. Buah  beraroma khas ini menghasilkan ratusan juta dalam setahun untuk tiap keluarga. “Kalau saya dapatnya minimal Rp50 juta karena pohon  nggak banyak. Keluarga lain bisa dapat Rp200 juta dari durian ini,” kata  Cashudi.

Selain mengelola kebun durian, Ketua PPM Mendolo ini juga membantu memasarkan buah ini. Saat panen, dia kumpulkan durian dari warga , lalu menjual ke luar daerah. Selisih harga yang dia dapatkan cukup lumayan untuk menghidupi keluarganya.

Meski menghasilkan banyak uang, tidak ada pikiran bagi warga Sawahan untuk menambah luas kebun durian.  Mereka maksimalkan lahan yang  ada dengan baik.  Pohon  produktif terus mereka rawat. Mereka sadar, kalau memperluas kebun bisa mengganggu ekosistem hutan.

Kopi jadi komoditas kedua warga.  Rata-rata dalam etahun mereka panen dua ton kopi. Mereka juga tak mau menambah kebun kopi. Untuk menambah nilai jual, warga mengolah lagi biji kopi,  tak hanya jual biji.

Dari dua ton kopi hasil panen warga di Hutan Mendolo itu, minimal pendapatan dari komoditas ini Rp100 juta. “Dari pengolahan kopi roasting ini, kami yang muda-muda ini akhirnya juga jadi dapat pekerjaan tambahan, ada pendapatan tambahan juga,”katanya.

Memang, durian dan kopi panen sekali dalam setahun. Untuk keperluan bulanan warga mengandalkan kapulaga yang bisa panen lebih rutin. Kapulaga ini meski tanaman baru tetapi tidak sampai membuka lahan hutan. Jenis rempah-rempah ini ditanam secara tumpangsari di bawah pohon durian dan kopi.

Ratusan juta yang dikantongi warga dari perkebunan di pinggir hutan ini membuat generasi mudanya memilih melanjutkan ekonomi keluarga. Sembari itu, mereka menjaga hutan yang telah terbukti menghidupi mereka. “Sejak mulai konservasi kami juga mulai bikin budidaya madu klanceng, hasilnya lumayan juga buat tambahan,” terang Cashudi.

Budidaya madu klanceng ini dilakukan mengingat banyak pohon di Hutan Mendolo memiliki bunga yang bisa jadi pangan buat tawon klanceng. Hampir semua anggota PPM kini punya koloni serangga penghasil madu ini. Sebagian ditaruh di belakang rumah dekat area hutan, lainnya ada di rumah pembibitan.

Budidaya madu klanceng yang dilakukan PPM Mendolo selaras dengan upaya konservasi hutan yang mereka lakukan karena tanpa bunga dari pohon-pohon disana budidaya ini tak terwujud. Mongabay/Triyo Handoko

Pengamatan burung

Selain membantu berkebun, Muhammad Rizky Ridho juga memiliki kesibukan lain. Setahun terakhir dia banyak menerima permintaan untuk jadi pemandu wisata. Bukan di tempat hiburan tertentu, melainkan di dalam hutan.

Dia  tak menyangka bila hutan jadi jujugan banyak orang untuk mengamati burung. Belum lama ini, pemuda 29 tahun itu memandu dua turis dari Makassar untuk memotret burung di hutan tersebut. “Bayarannya lumayan juga, mereka menginap di rumah juga beberapa hari, kemana-mana saya antar terutama untuk dapat spot burung.” 

Pemuda Padukuhan Mendolo Wetan ini menyebut banyak tamunya mengapresiasi hutan di wilayahnya yang masih terjaga dengan baik. Apresiasi itu jadi motivasi baginya untuk terus menjaga kawasan tersebut agar populasi burung tidak berkurang. 

Atas dasar itu pula, Rizky sempat terlibat dalam tim pendataan jenis burung dan mendokumentasikan fotonya. “Dapat 70 jenis sama fotonya,” katanya. Kini, upaya pendataan kembali dilakukan dengan fokus pada populasi dan letak sarang serta habitatnya.

Alex Rifai, koordinator pemantauan burung katakan, pendataan burung dengan agenda lain secara bersamaan. Misal, konservasi Sungai Wisnu. Sebab, sebagian burung juga berhabitat di sana. “Termasuk pembibitan pohon lokal, dan pendataan Owa juga kami lakukan bersamaan.”

Menurut Alex, melestarikan hutan tidak bisa dilakukan secara parsial. Sebab, sebagai sebuah ekosistem, segala hal yang ada di dalamnya saling berkaitan. “Ketika Sungai Wisnu tercemar pasti tak hanya berdampak ke ikan tapi ke satwa lain juga termasuk ke hutan sendiri.” 

Kawasan Hutan Petungkriyono yang ada di sisi selatan Pekalongan, Jawa Tengah. Foto: Nanang Sujana/Mongabay Indonesia.

Di bagian lain Hutan Petungkriyono, tepatnya di  Hutan Sokokembang, para pemuda banyak  jadi buruh garmen di Kota Pekalongan. Meski begitu, masih ada  yang konsisten merawat hutan, walau usia tak lagi muda.

Salah satunya, Tasuri, warga Padukuhan Sokokembang.   “Tapi bagaimana lagi itu pilihan mereka masing-masing, bagi saya yang penting tidak merusak hutan,” kata pria 62 tahun ini.

Lukni Al-kobib,  pemuda 20 tahun ini juga tertarik dengan hutan lantaran sejak kecil kerap diajak orang tuanya ke sana.

Baginya, sangat penting memastikan hutan di desanya tetap lestari karena  hutan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. “Kalau tidak, hutan tidak akan mampu menyerap air huan yang akhirnya menyebabkan terjadinya banjir atau longsor.”  

*****

Petungkriyono, Rumah ‘Terakhir’ Owa Jawa

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|