- Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2024 ungkap ada indikasi praktik kerja paksa terhadap para awak kapal perikanan (AKP). Survei yang berlangsung selama 2024 itu juga menemukan, ratusan anak terlibat dalam pekerjaan yang penuh bahaya ini. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum bekerja melalui Undang-undang Nomor 20/1999, yakni 18 tahun.
- Di tengah perjuangan itu, industri perikanan tangkap justru dilaporkan masih mempekerjakan usia anak-anak atau di bawah usia 18 tahun sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Aturan tersebut sudah berlaku sejak 1999 atau 26 tahun lalu
- Pembatasan usia bekerja itu merujuk Konvensi ILO Nomor 138 yang mengatur tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini pada 1999 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999
- Penemuan fakta tersebut menjadi bagian dari hasil survei Pekerjaan Layak Organisas Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) di Sektor Perikanan Laut 2024 di Indonesia. Proses survei dilakukan sepanjang 2024 dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Bekerja di atas kapal menjadi salah satu pekerjaan paling menantang dan berisiko tinggi. Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2024 ungkap ada indikasi praktik kerja paksa terhadap para awak kapal perikanan (AKP). Survei yang berlangsung selama 2024 itu juga menemukan, ratusan anak terlibat dalam pekerjaan yang penuh bahaya ini. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum bekerja melalui Undang-undang Nomor 20/1999, yakni 18 tahun.
Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi ILO No 182 yang melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak melalui UU Nomor 1/2000. Temuan itu juga dinilai bertentangan dengan Permen KKP No 33/2021, bahwa setiap awak kapal minimal usia 18 tahun.
Hasil survei yang rilis Maret 2025 itu menyasar 18 pelabuhan di Indonesia. Hasilnya, ada 636 anak yang bekerja pada saat survei sedang berlangsung.
Ngadi, Koordinator Tim Survei BRIN meyakini, temuan itu belum menunjukkan angka sebenarnya. “Karena kan survei tidak bisa menjaring semua anak pada industri perikanan tangkap untuk terlibat langsung,” katanya.
Menurut dia, sebagian temuan itu dari analisis para pekerja yang mereka wawancarai saat mulai pekerjaan di industri ini. Hasilnya, hampir 47% dari para pekerja mengaku bekerja sejak masih berusia kurang 18 tahun. “Hasil ini menggarisbawahi kekhawatiran tentang tingginya prevalensi pekerja anak di sektor ini.”
Survei juga menemukan, sebagian besar pekerja perikanan tangkap tidak terdaftar dalam program jaminan sosial. Berdasarkan hasil survei, 71% responden di 18 pelabuhan tidak memiliki jaminan sosial terkait pekerjaan. Seperti jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan.
Fakta inin menjelaskan, kesadaran para pekerja perikanan tangkap masih kurang terhadap hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Mereka juga seharusnya mendapatkan kartu dengan nomor identifikasi unik yang bisa mereka gunakan kapan saja.
Ngadi mengatakan, ancaman di atas kapal perikanan sering para pekerja hadapi. Berdasarkan survei, belum sepenuhnya para pekerja merasa aman saat bekerja di kapal. Sebanyak 45% pekerja melaporkan kepada tim tentang kondisi berbahaya di atas kapal berkaitan dengan cuaca.
“Mereka perlu memasang jaring saat cuaca ekstrem, atau saat risiko meningkat karena bahaya disebabkan cuaca, seperti badai, gelombang besar, atau petir.”
Keamanan saat sedang bekerja, juga mencakup alat pelindung diri (APD) dan risiko terkait keselamatan. Selama ini, para pekerja masih belum memiliki akses luas pada peralatan keselamatan di atas kapal, tidak ada APD, ketiadaan pakaian hangat yang memadai, atau ketiadaan petunjuk keselamatan yang memadai.

Tak aman bekerja
Menurut Ngadi, sekitar 11% survei sebutkan masalah terkait kondisi teknis kapal dan keselamatan kerja. Mereka melaporkan risiko terkait kondisi teknis di atas kapal, kelebihan muatan menyebabkan laju kapal tak stabil, hingga kapal tak layak berlayar.
Hal lain yang jadi perhatian para pekerja, seperti, fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) berkaitan dengan risiko kecelakaan. Saat ombak sedang besar, para pekerja berisiko terjatuh ke laut saat sedang MCK.
“Kurangnya privasi dan kebersihan juga menjadi perhatian utama.”
Keselamatan juga mencakup kelelahan dan rasa lelah ekstrem. Keduanya mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan kecepatan waktu reaksi. Itu memicu keselamatan AKP dan operasi kapal secara keseluruhan.
Menurut Konvensi ILO No 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan, Pasal 14, jam kerja bagi pekerja perikanan tangkap didefinisikan dalam hal waktu istirahat minimum. Pada kapal penangkap ikan yang beroperasi lebih dari tiga hari, waktu istirahat minimum bagi pekerja perikanan tangkap tidak boleh kurang dari 10 jam dalam 24 jam dan 77 jam dalam tujuh hari.
Terakhir, hasil survei juga mengungkap fakta bahwa kebebasan berserikat dan perundingan bersama masih sangat rendah di atas kapal perikanan. Meskipun, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO No 98 yang mengatur penerapan azas-azas hak untuk berorganisasi dan berunding bersama, melalui UU No 18 Tahun 1956.
Serta, meratifikasi Konvensi No 87 yang mengatur tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berorganisasi, melalui Keputusan Presiden No 83 Tahun 1998. Konvensi tersebut menjamin hak pekerja dan pengusaha untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi pilihan mereka tanpa campur tangan negara.
Faktanya, Indonesia saat ini tidak memiliki perjanjian perundingan bersama (PKB) untuk menetapkan dan mengatur ketentuan kerja bagi pekerja perikanan tangkap atau kelompok pekerja perikanan tangkap tertentu.
Ngadi menyebut ada sejumlah faktor yang bisa menjelaskan kenapa tingkat pembentukan serikat masih rendah pada perikanan tangkap. Salah satunya, masih kurangnya waktu dan kesadaran memahami manfaat keanggotaan serikat pekerja, keberatan membayar iuran keanggotan, dan atau minat yang kurang untuk bergabung menjadi anggota.

Survei ILO dan BRIN ini dengan wawancara 3.396 pekerja perikanan tangkap dari 18 pelabuhan di Indonesia. Rinciannya, 1.152 pekerja perikanan tangkap pada kapal skala kecil, 894 pekerja pada kapal perikanan skala besar, dan 1.350 pekerja pada kapal perikanan skala menengah.
Adapun, ILO dan BRIN menjabarkan kapal yang masuk kategori kecil adalah yang berukuran kurang dari 10 gros ton (GT). Kapal ukuran ini biasa dioperasikan pekerja perikanan tangkap perorangan atau tradisional, beroperasi di dekat pantai atau di perairan dangkal, dengan jarak 12 mil laut dari pantai.
Kemudian, kapal ukuran sedang adalah berukuran 10-30 GT dan biasanya dikelola oleh koperasi kecil yang bergerak di bidang penangkapan ikan semi komersial di perairan dekat pantai. Wilayah jelajahnya berkisar antara 12 hingga 200 mil laut.
Terakhir, kapal besar adalah berukuran lebih dari 30 GT, dan biasanya beroperasi dengan kendali perusahaan komersial yang melakukan penangkapan ikan skala industri di laut lepas, dengan cakupan jelajah di luar 200 mil laut.

Dorong ratifikasi konvensi ILO 188
Francesca Francavilla, ekonom senior ILO yang terlibat dalam survei mengatakan, penelitian ini untuk mencari dan menghadirkan standar pekerjaan layak pada subsektor perikanan tangkap. Hal itu merujuk pada standar nasional yang berlaku pada sebuah negara, dan standar internasional.
Dia menjabarkan, ada 10 konvensi dan satu protokol ILO yang menjadi acuan selama proses survei berjalan. Semuanya menjadi prinsip dasar dan hak di tempat bekerja yang harus diperoleh para pekerja pada subsektor perikanan tangkap.
Termasuk, Konvensi ILO 188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang secara khusus mengatur standar perlindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. Konvensi tersebut disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Konvensi 188 sampai sekarang masih belum Indonesia ratifikasi. Padahal, dokumen ini sangat penting untuk memerangi kerja paksa pada kapal di Indonesia. “Ini penting, karena menyangkut tindakan Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk pekerja dan pengusaha untuk memerangi kerja paksa Indonesia.”
ILO dan BRIN pun memberikan sejumlah rekomendasi, antara lain, harmonisasi regulasi, rekrutmen yang adil, formalitas kerja, pelatihan dan sertifikasi, perlindungan sosial, keselamatan bekerja, kebebasan berserikat, dan penghapusan pekerja anak dan kerja paksa.
*****